Surah Al-Fath Ayat 1-3; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an

Surah Al-Fath Ayat 1-3; Terjemahan dan Tafsir Al Qur'an

Pecihitam.org – Kandungan Surah Al-Fath Ayat 1-3 ini, sebelum membahas kandungan ayat terlebih daahulu kita mengetahui isi surah ini. Surah ini diawali dengan pembicaraan tentang kemenangan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berpengaruh begitu besar pada tersebarnya agama Islam dan kejayaan umat Islam.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Di samping itu, dijelaskan pula bahwa Allah meneguhkan hati umat Islam agar keimanan mereka semakin bertambah kuat. Disebutkan juga, dalam surat ini, siksaan yang diterima orang-orang munafik dan musyrik akibat meragukan bahwa Allah akan membela Rasul-Nya, dan bahwa Nabi Muhammad diutus sebagai saksi dan pembawa kabar gembira demi mewujudnyatakan keimanan kepada Allah.

Setelah itu surah ini berbicara mengenai baiat orang-orang yang percaya dan memenuhi janji Rasulullah, kebohongan orang-orang yang meminta izin untuk tidak ikut berperang bersama Rasulullah karena mengira bahwa Allah tidak akan membela Rasul-Nya, dan permintaan mereka untuk berperang bersama Rasulullah demi mencari harta rampasan perang belaka.

Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Fath Ayat 1-3

Surah Al-Fath Ayat 1
إِنَّا فَتَحۡنَا لَكَ فَتۡحًا مُّبِينًا

Terjemahan: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata,

Tafsir Jalalain: Al-Fath (Kemenangan) إِنَّا فَتَحۡنَا لَكَ فَتۡحًا (Sesungguhnya Kami telah memberikan kemenangan kepadamu) maksudnya Kami telah memastikan kemenangan bagimu atas kota Mekah dan kota-kota lainnya di masa mendatang secara paksa melalui jihadmu مُّبِينًا (yaitu kemenangan yang nyata) artinya, kemenangan yang jelas dan nyata.

Tafsir Ibnu Katsir: Surah ini turun ketika Rasulullah saw. kembali dari Hudaibiyyah pada bulan Dzulqa’idah tahun ke 6 Hijrah. Yaitu, ketika orang-orang musyrik menghalang-halangi beliau masuk ke Masjidil Haram untuk menunaikan umrah di sana. Mereka membuat penghalang antara beliau dengan Masjidil Haram.

Selanjutnya, mereka cenderung mengadakan perdamaian dan gencatan senjata, serta supaya beliau pulang kembali pada tahun ini dan datang kembali pada tahun depan. Maka Rasulullah saw. memenuhi permintaan mereka, meski ada juga sebagian shahabat yang tidak menyukainya, diantaranya: ‘Umar bin al-Khaththab.

Tafsir Kemenag: Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang maksud dari kata “kemenangan” (fath) dalam Ayat ini. Sebagian mereka berpendapat penaklukan Mekah. Ada yang berpendapat, penaklukan negeri-negeri yang waktu itu berada di bawah kekuasaan bangsa Romawi, dan ada pula yang berpendapat, Perdamaian Hudaibiyyah. Kebanyakan ahli tafsir mengikuti pendapat terakhir ini. Di antaranya ialah:

1. Menurut pendapat Ibnu ‘Abbas, kemenangan dalam Ayat ini adalah Perdamaian Hudaibiyyah karena perdamaian itu menjadi sebab terjadinya penaklukan Mekah. 2. DiriwAyatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa ia berkata, “Kalian berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kemenangan dalam Ayat ini ialah penaklukan Mekah, sedangkan kami berpendapat Perdamaian Hudaibiyyah.

Pada riwayat yang lain diterangkan bahwa Surah Al-Fath ini diturunkan pada suatu tempat yang terletak antara Mekah dan Medinah, setelah terjadi Perdamaian Hudaibiyyah, mulai dari permulaan sampai akhir surah. 3. Az-Zuhri mengatakan,

“Tidak ada kemenangan yang lebih besar daripada kemenangan yang ditimbulkan oleh Perdamaian Hudaibiyyah dalam sejarah penyebaran agama Islam pada masa Rasulullah. Sejak terjadinya perdamaian itu, terjadilah hubungan yang langsung antara orang-orang Muslim dan orang-orang musyrik Mekah.

Orang Muslim dapat menginjak kembali kampung halaman dan bertemu dengan keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan. Dalam hubungan dan pergaulan yang demikian itu, orang-orang kafir telah mendengar secara langsung percakapan kaum Muslimin, baik yang dilakukan sesama kaum Muslimin, maupun yang dilakukan dengan orang kafir sehingga dalam masa tiga tahun, banyak di antara mereka yang masuk Islam.

Demikianlah proses itu berlangsung sampai saat penaklukan Mekah, kaum Muslimin dapat memasuki kota itu tanpa pertumpahan darah. Hudaibiyyah adalah nama sebuah desa, kira-kira 30 km di sebelah barat kota Mekah.

Nama itu berasal dari nama sebuah perigi yang ada di desa tersebut. Nama desa itu kemudian dijadikan sebagai nama suatu perjanjian antara kaum Muslimin dengan orang-orang kafir Mekah, yang terjadi pada bulan Zulkaidah tahun 6 H (Februari 628 M) di desa itu.

Pada tahun keenam Hijriah, Nabi Muhammad beserta kaum Muslimin yang berjumlah hampir 1.500 orang memutuskan untuk berangkat ke Mekah untuk melepaskan rasa rindu mereka kepada Baitullah kiblat mereka, dengan melakukan umrah dan untuk melepaskan rasa rindu kepada sanak keluarga yang telah lama mereka tinggalkan.

Untuk menghilangkan prasangka yang tidak benar dari orang kafir Mekah, maka kaum Muslimin mengenakan pakaian ihram, membawa hewan-hewan untuk disembelih yang akan disedekahkan kepada penduduk Mekah. Mereka pun berangkat tidak membawa senjata, kecuali sekedar senjata yang biasa dibawa orang dalam perjalanan jauh.

Sesampainya di Hudaibiyyah, rombongan besar kaum Muslimin itu bertemu dengan Basyar bin Sufyan al-Ka’bi. Basyar mengatakan kepada Rasulullah bahwa orang-orang Quraisy telah mengetahui kedatangan beliau dan kaum Muslimin. Oleh karena itu, mereka telah mempersiapkan bala tentara dan senjata untuk menyambut kedatangan kaum Muslimin. Mereka sedang berkumpul di dzi thuwa.

Rasulullah saw lalu mengutus ‘Utsman bin ‘Affan menemui pimpinan dan pembesar Quraisy untuk menyampaikan maksud kedatangan beliau beserta kaum Muslimin. Maka berangkatlah ‘Utsman. Kaum Muslimin menunggu-nunggu kepulangan ‘Utsman, tetapi ia tidak juga kunjung kembali.

Hal itu terjadi karena ‘Utsman ditahan oleh pembesar-pembesar Quraisy. Kemudian tersiar berita di kalangan kaum Muslimin bahwa ‘Utsman telah mati dibunuh oleh para pembesar Quraisy. Mendengar berita itu, banyak kaum Muslimin yang telah hilang kesabarannya.

Rasulullah bersumpah akan memerangi kaum kafir Quraisy. Menyaksikan hal itu, kaum Muslimin membaiat beliau bahwa mereka akan berperang bersama Nabi melawan kaum kafir. Hanya satu orang yang tidak membaiat, yaitu Jadd bin Qais al-Ansari.

Baiat para sahabat itu diridai Allah sebagaimana disebutkan dalam Ayat 18 surah ini. Oleh karena itu, baiat itu disebut Bai’atur-Ridhwan yang berarti “baiat yang diridai”. Bai’atur-Ridhwan ini menggetarkan hati orang-orang musyrik Mekah karena takut kaum Muslimin akan menuntut balas bagi kematian ‘Utsman, sebagaimana yang mereka duga.

Oleh karena itu, mereka mengirimkan utusan yang menyatakan bahwa berita tentang pembunuhan ‘Utsman itu tidak benar dan mereka datang untuk berunding dengan Rasulullah saw. Perundingan itu menghasilkan perdamaian yang disebut Perjanjian Hudaibiyyah (Sulhul-Hudaibiyyah). Isi perdamaian itu ialah:

1. Menghentikan peperangan selama 10 tahun. 2. Setiap orang Quraisy yang datang kepada Rasulullah saw tanpa seizin wali yang mengurusnya, harus dikembalikan, tetapi setiap orang Islam yang datang kepada orang Quraisy, tidak dikembalikan kepada walinya.

3. Kabilah-kabilah Arab boleh memilih antara mengadakan perjanjian dengan kaum Muslimin atau dengan orang musyrik Mekah. Sehubungan dengan ini, maka kabilah Khuza’ah memilih kaum Muslimin, sedangkan golongan Bani Bakr memilih kaum musyrik Mekah.

4. Nabi Muhammad dan rombongan tidak boleh masuk Mekah pada tahun perjanjian itu dibuat, tetapi baru dibolehkan pada tahun berikutnya dalam masa tiga hari. Selama tiga hari itu, orang-orang Quraisy akan mengosongkan kota Mekah.

Nabi Muhammad dan kaum Muslimin tidak boleh membawa senjata lengkap memasuki kota Mekah. Setelah perjanjian itu, Rasulullah saw beserta kaum Muslimin kembali ke Medinah. Perjanjian perdamaian itu ditentang oleh sebagian sahabat karena mereka menganggap perjanjian itu merugikan kaum Muslimin dan lebih menguntungkan orang-orang musyrik Mekah.

Apabila dilihat sepintas lalu, memang benar anggapan sebagian para sahabat itu, seperti yang tersebut pada butir dua dan butir empat. Dalam perjanjian itu ditetapkan bahwa setiap orang musyrik yang datang kepada nabi tanpa seizin walinya harus dikembalikan, sebaliknya kalau orang Muslimin datang kepada orang Quraisy tidak dikembalikan.

Baca Juga:  Surah Al-Fath Ayat 8-10; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Di samping itu, kaum Muslimin dilarang masuk kota Mekah pada tahun itu. Sekalipun dibolehkan pada tahun berikutnya, namun hanya dalam waktu tiga hari, sedang kota Mekah adalah kampung halaman mereka sendiri.

Pada waktu itu, kaum Muslimin merasa telah mempunyai kekuatan yang cukup untuk memerangi dan mengalahkan orang-orang musyrik, mengapa tidak langsung saja memerangi mereka? Lain halnya dengan Rasulullah saw dan para sahabat yang lain, yang memandangnya dari segi politik dan mempunyai pandangan yang jauh ke depan.

Sesuai dengan ilham dari Allah, beliau yakin bahwa perjanjian itu akan merupakan titik pangkal kemenangan yang akan diperoleh kaum Muslimin pada masa-masa yang akan datang. Sekalipun butir dua dan empat dari perjanjian itu seakan-akan merugikan kaum Muslimin, beliau yakin bahwa tidak akan ada kaum Muslimin yang menjadi kafir kembali, karena mereka telah banyak mendapat ujian dari Tuhan mereka.

Keyakinan beliau itu tergambar dalam sikap beliau setelah terjadinya perjanjian itu. Jika dipelajari, maka apa yang diyakini oleh Rasulullah saw dapat dipahami, di antaranya ialah: 1. Dengan adanya Perjanjian Hudaibiyyah, berarti orang-orang musyrik Mekah secara tidak langsung telah mengaku secara de facto pemerintahan kaum Muslimin di Medinah.

Selama ini, mereka menyatakan bahwa Nabi dan kaum Muslimin tidak lebih dari sekelompok pemberontak yang ingin memaksakan kehendaknya kepada mereka. 2. Dengan dibolehkannya Rasulullah saw bersama kaum Muslimin memasuki kota Mekah pada tahun yang akan datang untuk melaksanakan ibadah di sekitar Ka’bah, terkandung pengertian bahwa orang-orang musyrik Mekah telah mengakui agama Islam sebagai agama yang berhak menggunakan Ka’bah sebagai rumah ibadah mereka dan hal ini juga berarti bahwa mereka telah mengakui agama Islam sebagai salah satu dari agama-agama yang ada di dunia.

3. Dengan terjadinya perjanjian itu, berarti kaum muslimin telah memperoleh jaminan keamanan dari orang-orang musyrik Mekah. Hal ini memungkinkan mereka menyusun dan membina masyarakat Islam dan melakukan dakwah Islamiyah ke seluruh penjuru tanah Arab, tanpa mendapat gangguan dari orang-orang musyrik Mekah.

Selama ini, setiap usaha Rasulullah saw selalu mendapat rintangan dan gangguan dari mereka. Sejak itu pula, Rasulullah dapat mengirim surat untuk mengajak raja-raja yang berada di kawasan Jazirah Arab dan sekitarnya untuk masuk Islam, seperti Kisra Persia, Muqauqis dari Mesir, Heraklius kaisar Romawi, raja Gassan, pembesar-pembesar Yaman, raja Najasyi (Negus) dari Ethiopia dan sebagainya. Pada tahun kedelapan Hijriah, orang Quraisy menyerang Bani Khuza’ah, sekutu kaum Muslimin.

Dalam Perjanjian Hudaibiyyah disebutkan bahwa penyerangan kepada salah satu dari sekutu kaum Muslimin berarti penyerangan kepada kaum Muslimin. Hal ini berarti bahwa pihak yang menyerang telah melanggar secara sepihak perjanjian yang telah dibuat.

Oleh karena itu, pada tahun kedelapan Hijriah tanggal 10 Ramadan, berangkatlah Rasulullah bersama 10.000 kaum Muslimin menuju Mekah. Setelah mendengar kedatangan kaum Muslimin dalam jumlah yang demikian besar, maka orang-orang Quraisy menjadi gentar dan takut, sehingga Abu Sufyan, pemimpin Quraisy waktu itu, segera menemui Rasulullah di luar kota Mekah. Ia menyatakan kepada Rasulullah saw bahwa ia dan seluruh kaumnya menyerahkan diri kepada beliau dan ia sendiri menyatakan masuk Islam saat itu juga.

Dengan pernyataan Abu Sufyan itu, maka Rasulullah saw bersama kaum Muslimin memasuki kota Mekah dengan suasana aman, damai, dan tenteram, tanpa pertumpahan darah. Dengan demikian, sempurnalah kemenangan Rasulullah saw dan kaum Muslimin, yang terjadi dua tahun setelah Perjanjian Hudaibiyyah.

Sejak itu pula, agama Islam tersebar dengan mudah ke segala penjuru Jazirah Arab. Sejak itu pula, pemerintahan Islam mulai melebarkan sayapnya ke daerah-daerah yang dikuasai oleh negara-negara besar pada waktu itu, seperti daerah-daerah kerajaan Romawi dan kerajaan Persia.

Tafsir Quraish Shihab: Surah ini diawali dengan pembicaraan tentang kemenangan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berpengaruh begitu besar pada tersebarnya agama Islam dan kejayaan umat Islam. Di samping itu, dijelaskan pula bahwa Allah meneguhkan hati umat Islam agar keimanan mereka semakin bertambah kuat.

Disebutkan juga, dalam surah ini, siksaan yang diterima orang-orang munafik dan musyrik akibat meragukan bahwa Allah akan membela Rasul-Nya, dan bahwa Nabi Muhammad diutus sebagai saksi dan pembawa kabar gembira demi mewujudnyatakan keimanan kepada Allah.

Setelah itu surah ini berbicara mengenai baiat orang-orang yang percaya dan memenuhi janji Rasulullah, kebohongan orang-orang yang meminta izin untuk tidak ikut berperang bersama Rasulullah karena mengira bahwa Allah tidak akan membela Rasul-Nya, dan permintaan mereka untuk berperang bersama Rasulullah demi mencari harta rampasan perang belaka.

Pada bagian lain diterangkan bahwa orang-orang yang meminta izin itu diajak untuk memerangi kaum yang mempunyai kakuatan besar dan bahwa tidak ada dosa bagi siapa yang tidak ikut berperang dengan alasan yang benar.

Dijelaskan pula mengenai kebaikan besar yang telah dijanjikan Allah kepada orang-orang yang diridai-Nya pada Bay’at al-Ridlwân, kehancuran orang-orang munafik ketika memerangi orang-orang Mukmin, hikmah larangan Allah bagi orang-orang kafir untuk memerangi orang-orang Mukmin dan larangan bagi orang-orang Mukmin untuk memerangi orang-orang kafir pada hari penaklukan kota Mekah (Fath Makkah).

Sebagai khatimah, surah ini ditutup dengan penjelasan bahwa Allah telah membenarkan mimpi Rasul-Nya yang akan memasuki Masjidil Haram bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad dan para pengikutnya yang beriman bersikap keras terhadap orang-orang kafir dan berkasih sayang terhadap sesamanya, sifat dan tanda-tanda orang-orang Mukmin yang ada dalam kitab Tawrât dan Injîl, serta janji Allah kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh untuk diampuni dosanya dan diberi pahala yang besar.]]

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu, hai Muhammad, kemenangan yang nyata, yaitu kemenangan kebenaran melawan kebatilan, agar Allah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang dan menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu dengan tersebarnya dakwahmu. Selain itu, juga agar Allah meneguhkan kamu di atas jalan yang lurus dan menolong kamu dari musuh-musuh yang menentang kerasulanmu dengan pertolongan yang kuat.

Surah Al-Fath Ayat 2
لِّيَغۡفِرَ لَكَ ٱللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنۢبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعۡمَتَهُۥ عَلَيۡكَ وَيَهۡدِيَكَ صِرَٰطًا مُّسۡتَقِيمًا

Terjemahan: “supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus,

Tafsir Jalalain: لِّيَغۡفِرَ لَكَ ٱللَّهُ (Supaya Allah memberi ampunan kepadamu) berkat jihadmu itu (terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang) supaya umatmu mau berjihad karena akan mendapat ampunan seperti kamu.

Pengertian Ayat ini mengandung penakwilan, mengingat para nabi maksum dari segala perbuatan dosa yang hal ini telah ditetapkan berdasarkan dalil aqli dan naqli. Dengan demikian maka huruf Lam pada permulaan Ayat ini menunjukkan makna Illatul Ghaaiyyah dan lafal yang dimasukinya merupakan Musabbab bukan Sebab,

مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنۢبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ (serta menyempurnakan) melalui kemenangan tersebut نِعۡمَتَهُۥ (nikmat-Nya) pemberian nikmat-Nya وَيَهۡدِيَكَ (atasmu dan memimpin kamu) melalui kemenangan itu صِرَٰطًا (kepada jalan) yakni tuntunan مُّسۡتَقِيمًا (yang lurus) artinya Allah memantapkan kamu pada agama Islam.

Tafsir Ibnu Katsir: Imam Ahmad meriwayatkan dari dari Anas bin Malik, ia bercerita: “Telah turun kepada Nabi saw. ِّيَغۡفِرَ لَكَ ٱللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنۢبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ (“Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang.”) dalam perjalanan beliau [ketika] kembali dari Hudaibiyyah.

Nabi saw. bersabda: ‘Telah turun kepadaku tadi malam sebuah Ayat yang lebih aku sukai dari apa yang ada di atas bumi.’ Kemudian beliau membacakannya, maka mereka berkata:

Baca Juga:  Surah Al-Fath Ayat 25-26 ; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

‘Sungguh merupakan sesuatu yang menenangkan lagi menggembirakan, wahai Nabi Allah. Allah swt. telah menjelaskan apa yang akan dilakukan terhadapmu dan juga terhadap kami?’ maka turunlah kepada beliau Ayat:

(“Supaya Dia memasukkan mukmin laki-laki dan perempuan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai –sampai Ayat- keberuntungan yang besar di sisi Allah.’”(al-Fath: 5) (diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam kitab ash-Shahihain dari riwayat Qatadah)

Imam Ahmad meriwAyatkan, Ishaq bin ‘Isa memberitahu kami, dari Majma’ bin Ya’qub, ia bercerita: “Aku pernah mendengar ayahku menyampaikan hadits dari pamannya –‘Abdurrahman bin Zaid al-Anshari-, dari pamannya, Majma’ bin Haritsah al-Anshari, ia adalah salah satu Qurra’ yang membaca al-Qur’an. Ia bercerita:

‘Aku turun menyaksikan Hudaibiyyah, ketika kami kembali darinya, tiba-tiba orang-orang membuat unta-unta mereka berlarian. Lalu sebagian mereka bertanya kepada sebagian lainnya: ‘Apa yang terjadi dengan orang-orang?’ Mereka menjawab:

‘Telah diturunkan wahyu kepada Rasulullah saw.’ lalu kami pergi bersama orang-orangg, dan kami melihat ternyata beliau masih berada di atas binatang tunggangannya di Kurra’ Ghadim. Kemudian orang-orang berkumpul di sekeliling beliau, lalu beliau membacakan kepada kami Ayat: (“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.”)

Kemudian ada seorang shahabat Rasulullah saw. bertanya: ‘Apakah itu kemenangan ya Rasulallah?’ beliau menjawab: ‘Benar sekali. Demi Rabb yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, ini benar-benar kemenangan.’

Maka dibagikanlah ghanimah perang Khaibar kepada orang-orang yang ikut dalam perjanjian Hudaibiyyah dan tidak ada seorangpun yang mendapat bagian kecuali ikut menyaksikan perjanjian Hudaibiyyah. Kemudian Rasulullah saw. membaginya menjadi 18 bagian.

Sedangkan bala tentara berjumlah 1500 orang, 300 orang di antaranya adalah penunggang kuda. Maka, beliau memberikan kepada tiap penunggang kuda dua bagian dan kepada pejalan kaki satu bagian.’” Demikian hadits yang diriwAyatkan oleh Abu Dawud dalam bab al-Jihaad, dari Muhammad bin ‘Isa dari Majma’ bin Ya’qub.

Ibnu Jarir meriwAyatkan dari ‘Abdurrahman bin Abi ‘Alqamah, ia bercerita: “Aku pernah mendengar ‘Abdullah bin Mas’ud berkata: ‘Ketika kami dalam perjalanan dari Hudaibiyyah, kami tertidur, dan kami tidak tertidur melainkan matahari telah terbit, maka kamipun bangun, sedang Rasulullah saw. masih tertidur.

Kemudian kami katakan: ‘Bangunkanlah beliau.’ Maka Rasulullahpun bangun seraya berkata: ‘Kerjakanlah apa yang harus kalian kerjakan [shalat shubuh]. Dan demikianlah yang harus dikerjakan oleh orang yang tertidur atau lupa.’”

Lebih lanjut, Ibnu Mas’ud menceritakan: “Dan kami kehilangan unta Rasulullah saw. lalu kami mencarinya hingga akhirnya kami menemukannya dalam keadaan talinya tertambat pada sebuah pohon.

Kemudian aku mendatangi Rasulullah dengan unta tersebut. Selanjutnya beliau menaikinya. Ketika kami tengah berjalan, tiba-tiba beliau menerima wahyu. Rasulullah saw. jika wahyu turun pada beliau, maka beliau berada dalam keadaan takut. Dan setelah beliau gembira, maka beliau memberitahu kami bahwasannya telah diturunkan kepada beliau Ayat:

innaa fatahnaalaka fatham mubiinaa (“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.’” Hadits ini telah diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan an-Nasa-i dari jalur lain, dari Jami’ bin Syidad dengan lafazhnya.

Imam Ahmad meriwAyatkan, ‘Abdurrahman memberitahu kami, Sufyan memberitahu kami, dari Ziyad bin ‘Ilaqah, ia bercerita: “Aku pernah mendengar Mughirah bin Syu’bah berkata: ‘Rasulullah saw. pernah mengerjakan shalat sampai kedua kakinya membengkak. Kemudian aku tanyakan kepada beliau:

‘Bukankah Allah telah memberikan ampunan kepadamu terhadap dosa-dosa yang telah berlalu dan yang akan datang?’ Beliau menjawab: ‘Apakah aku tidak boleh menjadi seorang hamba yang [pandai] bersyukur?’ (diriwAyatkan oleh al-Bukhari dan Muslim serta beberapa perawi kecuali Abu Dawud, dari Ziyad).

Firman Allah:(“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.”) maksudnya dalam keadaan jelas dan gamblang. Yang dimaksud disini adalah perjanjian Hudaibiyyah, yang telah mendatangkan kebaikan yang melimpah.

Orang-orang beriman saling berkumpul satu dengan lainnya. Orang mukmin pun berbincang dengan orang kafir, serta tersebarlah ilmu yang bermanfaat dan juga iman.

Firman Allah: ِّيَغۡفِرَ لَكَ ٱللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنۢبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ (“Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang”) ini merupakan salah satu keistimewaan Rasulullah saw. yang tidak diberikan kepada orang lain kecuali kepada beliau. Tidak ada di dalam satu hadits shahihpun tentang pahala amal perbuatan bagi selain Rasulullah saw. yang menyebutkan ampunan atas dosa-dosa yang telah berlalu maupun yang akan datang.

Ini merupakan suatu penghormatan yang besar bagi Rasulullah saw.. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada beliau dalam segala keadaannya yang senantiasa dalam ketaatan, kebaikan, dan istiqamah yang tidak didapat oleh seorangpun melainkan oleh beliau, baik orang-orang terdahulu maupun yang akan datang kemudian.

Beliau adalah manusia paling sempurna, pemimpin mereka, baik di dunia maupun di akhirat. Beliau merupakan makhluk Allah Ta’ala yang paling taat dan paling menghormati perintah dan larangan-Nya. Ketika unta beliau ditemukan setelah ditangkap oleh orang penangkap gajah, beliau bersabda:

“Demi Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya. Pada hari ini tidaklah mereka meminta sesuatu kepadaku, yang dengannya mereka akan mengagungkan kehormatan-kehormatan Allah, melainkan aku akan memperkenankan permintaan mereka tersebut.”

Setelah Rasulullah saw. mentaati Allah dalam hal itu dan memenuhi perjanjian tersebut, Allah berfirman kepada beliau: innaa fatahnaa laka fatham mubiinaa.liyaghfira lakallaaHu maa taqaddama min dzambika wa maa ta-akhkhara wa yutimma ni’mataHuu ‘alaika (“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu”) yakni di dunia dan di akhirat.

وَيَهۡدِيَكَ صِرَٰطًا مُّسۡتَقِيمًا (“Dan menunjukkanmu kepada jalan yang lurus.”) yakni melalui apa yang telah disyariatkan-Nya untukmu berupa syariat yang agung dan agama yang lurus.

Tafsir Kemenag: Ayat ini menerangkan bahwa dengan terjadinya Perjanjian Hudaibiyyah, berarti Allah telah menyempurnakan nikmat-Nya yang tiada terhingga kepada Rasulullah saw. Nikmat-nikmat itu ialah:

1. Mengampuni dosa-dosa Rasulullah saw yang dilakukan sebelum dan sesudah terjadi Perjanjian Hudaibiyyah. Tentu saja yang dimaksud dosa dalam Ayat ini ialah yang tidak mengurangi atau merusak fungsi kenabiannya karena Muhammad saw sebagai nabi dan rasul terpelihara dari perbuatan dosa besar.

2. Tersebarnya agama Islam ke seluruh Jazirah Arab, bahkan ke beberapa daerah kerajaan Romawi. Hal itu menjadikan Rasulullah saw sebagai orang yang bertanggung jawab mengurus persoalan agama dan juga sebagai kepala negara. Dalam sejarah, jarang terjadi hal yang demikian. Di antara nabi dan rasul yang merangkap sebagai kepala negara, hanya Nabi Daud dan putra beliau, Nabi Sulaiman.

3. Membimbing Rasulullah saw ke jalan yang lurus dan diridai-Nya. 4. Menolong Rasulullah dari gangguan dan serangan musuh sehingga tidak satu pun yang dapat menyerang dan membunuhnya.

Menurut Mujahid, Sufyan ats-sauri, Ibnu Jarir, al-Wahidi, dan beberapa ulama lain, yang dimaksud dengan memberi pengampunan dalam Ayat ini ialah mengampuni dosa-dosa Rasulullah saw sebelum dan sesudah beliau diangkat menjadi rasul. Az-Zamakhsyari, dalam tafsir al-Kasysyaf, mengatakan,

“Allah menjadikan penaklukan kota Mekah itu sebagai sebab bagi pengampunan dosa Muhammad, karena Allah menjadikannya sebagai penyebab Rasulullah mendapat empat hal, yaitu: pengampunan dosa, penyempurnaan nikmat, petunjuk ke jalan yang lurus, dan kemenangan yang gemilang.” .

Tafsir Quraish Shihab: Surah ini diawali dengan pembicaraan tentang kemenangan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berpengaruh begitu besar pada tersebarnya agama Islam dan kejayaan umat Islam. Di samping itu, dijelaskan pula bahwa Allah meneguhkan hati umat Islam agar keimanan mereka semakin bertambah kuat.

Baca Juga:  Surah Al-Anbiya Ayat 30-33 ; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Disebutkan juga, dalam surah ini, siksaan yang diterima orang-orang munafik dan musyrik akibat meragukan bahwa Allah akan membela Rasul-Nya, dan bahwa Nabi Muhammad diutus sebagai saksi dan pembawa kabar gembira demi mewujudnyatakan keimanan kepada Allah.

Setelah itu surah ini berbicara mengenai baiat orang-orang yang percaya dan memenuhi janji Rasulullah, kebohongan orang-orang yang meminta izin untuk tidak ikut berperang bersama Rasulullah karena mengira bahwa Allah tidak akan membela Rasul-Nya, dan permintaan mereka untuk berperang bersama Rasulullah demi mencari harta rampasan perang belaka.

Pada bagian lain diterangkan bahwa orang-orang yang meminta izin itu diajak untuk memerangi kaum yang mempunyai kakuatan besar dan bahwa tidak ada dosa bagi siapa yang tidak ikut berperang dengan alasan yang benar.

Dijelaskan pula mengenai kebaikan besar yang telah dijanjikan Allah kepada orang-orang yang diridai-Nya pada Bay’at al-Ridlwân, kehancuran orang-orang munafik ketika memerangi orang-orang Mukmin, hikmah larangan Allah bagi orang-orang kafir untuk memerangi orang-orang Mukmin dan larangan bagi orang-orang Mukmin untuk memerangi orang-orang kafir pada hari penaklukan kota Mekah (Fath Makkah).

Sebagai khatimah, surah ini ditutup dengan penjelasan bahwa Allah telah membenarkan mimpi Rasul-Nya yang akan memasuki Masjidil Haram bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad dan para pengikutnya yang beriman bersikap keras terhadap orang-orang kafir dan berkasih sayang terhadap sesamanya, sifat dan tanda-tanda orang-orang Mukmin yang ada dalam kitab Tawrât dan Injîl, serta janji Allah kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh untuk diampuni dosanya dan diberi pahala yang besar.]]

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu, hai Muhammad, kemenangan yang nyata, yaitu kemenangan kebenaran melawan kebatilan, agar Allah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang dan menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu dengan tersebarnya dakwahmu. Selain itu, juga agar Allah meneguhkan kamu di atas jalan yang lurus dan menolong kamu dari musuh-musuh yang menentang kerasulanmu dengan pertolongan yang kuat.

Surah Al-Fath Ayat 3
وَيَنصُرَكَ ٱللَّهُ نَصۡرًا عَزِيزًا

Terjemahan: “dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat (banyak).

Tafsir Jalalain: وَيَنصُرَكَ ٱللَّهُ (Dan supaya Allah menolongmu) melalui agama Islam itu نَصۡرًا عَزِيزًا (dengan pertolongan yang mulia) tidak pernah hina atau pertolongan yang kuat dan tidak dapat dikalahkan.

Tafsir Ibnu Katsir: وَيَنصُرَكَ ٱللَّهُ نَصۡرًا عَزِيزًا (“Dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat.”) yakni, disebabkan karena ketundukanmu kepada perintah Allah swt. maka Dia akan mengangkatmu dan menolongmu dalam melawan musuh-musuhmu. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih:

“Tidaklah Allah menambahkan bagi orang yang memberi maaf, melainkan kemuliaan [baginya]. Dan tiada seorang hamba pun yang merendahkan hati karena Allah melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.”

Dan dari ‘Umar bin al-Khaththab, ia berkata: “Aku tidak menghukum seorangpun yang bermaksiat kepada Allah pada dirimu, sebagaimana jika kamu mentaati Allah Yang Mahasuci lagi Mahatinggi pada dirinya.”

Tafsir Kemenag: Ayat ini menerangkan bahwa dengan terjadinya Perjanjian Hudaibiyyah, berarti Allah telah menyempurnakan nikmat-Nya yang tiada terhingga kepada Rasulullah saw. Nikmat-nikmat itu ialah:

1. Mengampuni dosa-dosa Rasulullah saw yang dilakukan sebelum dan sesudah terjadi Perjanjian Hudaibiyyah. Tentu saja yang dimaksud dosa dalam Ayat ini ialah yang tidak mengurangi atau merusak fungsi kenabiannya karena Muhammad saw sebagai nabi dan rasul terpelihara dari perbuatan dosa besar.

2. Tersebarnya agama Islam ke seluruh Jazirah Arab, bahkan ke beberapa daerah kerajaan Romawi. Hal itu menjadikan Rasulullah saw sebagai orang yang bertanggung jawab mengurus persoalan agama dan juga sebagai kepala negara. Dalam sejarah, jarang terjadi hal yang demikian. Di antara nabi dan rasul yang merangkap sebagai kepala negara, hanya Nabi Daud dan putra beliau, Nabi Sulaiman.

3. Membimbing Rasulullah saw ke jalan yang lurus dan diridai-Nya. 4. Menolong Rasulullah dari gangguan dan serangan musuh sehingga tidak satu pun yang dapat menyerang dan membunuhnya.

Menurut Mujahid, Sufyan ats-sauri, Ibnu Jarir, al-Wahidi, dan beberapa ulama lain, yang dimaksud dengan memberi pengampunan dalam Ayat ini ialah mengampuni dosa-dosa Rasulullah saw sebelum dan sesudah beliau diangkat menjadi rasul. Az-Zamakhsyari, dalam tafsir al-Kasysyaf, mengatakan,

“Allah menjadikan penaklukan kota Mekah itu sebagai sebab bagi pengampunan dosa Muhammad, karena Allah menjadikannya sebagai penyebab Rasulullah mendapat empat hal, yaitu: pengampunan dosa, penyempurnaan nikmat, petunjuk ke jalan yang lurus, dan kemenangan yang gemilang.” .

Tafsir Quraish Shihab: Surah ini diawali dengan pembicaraan tentang kemenangan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berpengaruh begitu besar pada tersebarnya agama Islam dan kejayaan umat Islam. Di samping itu, dijelaskan pula bahwa Allah meneguhkan hati umat Islam agar keimanan mereka semakin bertambah kuat.

Disebutkan juga, dalam surah ini, siksaan yang diterima orang-orang munafik dan musyrik akibat meragukan bahwa Allah akan membela Rasul-Nya, dan bahwa Nabi Muhammad diutus sebagai saksi dan pembawa kabar gembira demi mewujudnyatakan keimanan kepada Allah.

Setelah itu surah ini berbicara mengenai baiat orang-orang yang percaya dan memenuhi janji Rasulullah, kebohongan orang-orang yang meminta izin untuk tidak ikut berperang bersama Rasulullah karena mengira bahwa Allah tidak akan membela Rasul-Nya, dan permintaan mereka untuk berperang bersama Rasulullah demi mencari harta rampasan perang belaka.

Pada bagian lain diterangkan bahwa orang-orang yang meminta izin itu diajak untuk memerangi kaum yang mempunyai kakuatan besar dan bahwa tidak ada dosa bagi siapa yang tidak ikut berperang dengan alasan yang benar.

Dijelaskan pula mengenai kebaikan besar yang telah dijanjikan Allah kepada orang-orang yang diridai-Nya pada Bay’at al-Ridlwân, kehancuran orang-orang munafik ketika memerangi orang-orang Mukmin, hikmah larangan Allah bagi orang-orang kafir untuk memerangi orang-orang Mukmin dan larangan bagi orang-orang Mukmin untuk memerangi orang-orang kafir pada hari penaklukan kota Mekah (Fath Makkah).

Sebagai khatimah, surah ini ditutup dengan penjelasan bahwa Allah telah membenarkan mimpi Rasul-Nya yang akan memasuki Masjidil Haram bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad dan para pengikutnya yang beriman bersikap keras terhadap orang-orang kafir dan berkasih sayang terhadap sesamanya, sifat dan tanda-tanda orang-orang Mukmin yang ada dalam kitab Tawrât dan Injîl, serta janji Allah kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh untuk diampuni dosanya dan diberi pahala yang besar.]]

Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu, hai Muhammad, kemenangan yang nyata, yaitu kemenangan kebenaran melawan kebatilan, agar Allah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang dan menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu dengan tersebarnya dakwahmu. Selain itu, juga agar Allah meneguhkan kamu di atas jalan yang lurus dan menolong kamu dari musuh-musuh yang menentang kerasulanmu dengan pertolongan yang kuat.

Shadaqallahul ‘adzhim. Alhamdulillah, kita telah pelajari bersama kandungan Surah Al-Fath Ayat 1-3 berdasarkan Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Kemenag dan Tafsir Quraish Shihab. Semoga menambah khazanah ilmu Al-Qur’an kita.

M Resky S