Surah Al-Furqan Ayat 63-67; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an

Surah Al-Furqan Ayat 63-67

Pecihitam.org – Kandungan Surah Al-Furqan Ayat 63-67 ini, menjelaskan sifat-sifat hamba Allah Yang Maha Pengasih dijelaskan mulai ayat 63 ini dan ayat-ayat berikutnya. Sifat-sifat itu semua dapat disimpulkan menjadi 9 sifat yang bila dimiliki oleh seorang muslim, dia akan mendapat keridaan Allah di dunia dan di akhirat.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Furqan Ayat 63-67

Surah Al-Furqan Ayat 63
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا

Terjemahan: Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.

Tafsir Jalalain: وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ (Dan hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah itu) yakni hamba-hamba-Nya yang baik. Lafal ayat ini dan kalimat sesudahnya, berkedudukan menjadi Mubtada, yaitu sampai dengan firman-Nya, “Ulaika Yujzauna” dan seterusnya, tanpa ada jumlah lain yang menyisipinya الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا (yaitu orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati) dengan tenang dan rendah diri.

وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ (dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka) mengajak mereka berbicara mengenai hal-hal yang tidak disukainya قَالُوا سَلَامًا (mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan) perkataan yang menghindarkan diri mereka dari dosa.

Tafsir Ibnu Katsir: Ini adalah sifat hamba-hamba yang beriman: الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا (“Orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati.”) yaitu dengan ketentraman dan kewibawaan, tanpa otoriter dan kesombongan, seperti firman Allah: وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا (“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.” (Luqman: 18)

Mereka adalah orang-orang yang berjalan tanpa kesombongan, tanpa keangkuhan, tanpa kekerasan dan tanpa kekejaman. Yang dimaksud bukanlah mereka berjalan seperti orang sakit yang dibuat-buat dan sekedar ingin dilihat orang lain. Akan tetapi yang dimaksud dengan rendah hati di sini adalah ketentraman dan kewibawaan, sebagaimana diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:

“Apabila kalian mendatangi shalat, maka janganlah kalian mendatanginya dalam keadaan tergesa-gesa. Akan tetapi datangilah dalam keadaan tenang. Apa saja yang kalian dapatkan dari shalat itu, maka shalatlah. Dan apa yang tertinggal, maka sempurnakanlah.” (Muttafaq ‘alaiH)

‘Abdullah bin al-Mubarak berkata dari al-Hasan al-Bashri tentang firman-Nya: وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ (“Dan hamba-hamba Rabb Yang Mahapemurah itu…”). sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah kaum yang merendahkan diri. Pendengaran, penglihatan dan anggota tubuh mereka sederhana, sampai orang-orang jahil menyangka bahwa mereka adalah orang-orang sakit, padahal di antar mereka tidak ada yang terkena penyakit.

Sesungguhnya orang yang tidak merasa mulia dengan kemuliaan Allah, niscaya jiwanya akan terputus atas kehidupan dunia dengan kerugian. Dan barangsiapa yang tidak dapat melihat nikmat Allah melainkan hanya pada makanan dan minuman, sungguh sedikitlah ilmunya dan adzab ada di hadapannya.

Firman-Nya: وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا (“Dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata [yang mengandung] keselamatan.”) jika orang-orang jahil mengumpat mereka dengan ucapan yang buruk, mereka tidak membalasnya dengan ucapan yang buruk pula, akan tetapi mereka memaafkan, membiarkan dan tidak membalas melainkan dengan perkataan yang baik. Sebagaimana Rasulullah saw. tidak membalas perbuatan jahil mereka melainkan dengan kesabaran dan lemah lembut. Mujahid berkata: qaaluu salaaman; yakni mereka mengucapkan kebenaran.”

Tafsir Kemenag: Sifat-sifat hamba Allah Yang Maha Pengasih dijelaskan mulai ayat 63 ini dan ayat-ayat berikutnya. Sifat-sifat itu semua dapat disimpulkan menjadi 9 sifat yang bila dimiliki oleh seorang muslim, dia akan mendapat keridaan Allah di dunia dan di akhirat, serta akan ditempatkan di posisi yang tinggi dan mulia yaitu di surga Na’im. Sifat-sifat tersebut ialah:

Pertama: Apabila mereka berjalan, terlihat sikap dan sifat kesederhanaan, mereka jauh dari sifat kesombongan, langkahnya mantap, teratur, dan tidak dibuat-buat dengan maksud menarik perhatian orang atau untuk menunjukkan siapa dia. Itulah sifat dan sikap seorang mukmin bila ia berjalan. Allah berfirman: Dan janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong. (al-Isra’/17: 37)

Kedua: Apabila ada orang yang mengucapkan kata-kata yang tidak pantas atau tidak senonoh terhadap mereka, mereka tidak membalas dengan kata-kata yang serupa. Akan tetapi, mereka menjawab dengan ucapan yang baik, dan mengandung nasihat dan harapan semoga mereka diberi petunjuk oleh Allah Yang Maha Pemurah, Maha Pengasih, dan Penyayang. Demikian pula dengan sikap Rasulullah bila ia diserang dan dihina dengan kata-kata yang kasar, beliau tetap berlapang dada dan tetap menyantuni orang-orang yang tidak berakhlak itu.

Al-hasan al-Basri menjelaskan bahwa orang-orang mukmin senantiasa berlapang hati, dan tidak pernah mengucapkan kata-kata kasar. Bila kepada mereka diucapkan kata-kata yang kurang sopan, mereka tidak emosi dan tidak membalas dengan kata-kata yang tidak sopan pula. Mungkin ada orang yang menganggap bahwa sifat dan sikap seperti itu menunjukkan kelemahan dan tidak tahu harga diri, karena wajar bila ada orang yang bertindak kurang sopan dibalas dengan tindakan kurang sopan pula. Akan tetapi, bila direnungkan secara mendalam, pasti hal itu akan membawa pertengkaran dan perselisihan yang berkepanjangan.

Setiap mukmin harus mencegah perselisihan dan permusuhan yang berlarut-larut. Salah satu cara yang paling tepat dan ampuh untuk membasminya ialah dengan membalas tindakan yang tidak baik dengan tindakan yang baik sehingga orang yang melakukan tindakan yang tidak baik itu akan merasa malu, dan sadar bahwa mereka telah melakukan sesuatu yang tidak wajar. Sikap seperti ini dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya:

Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman yang setia. Dan (sifat-sifat yang baik itu) tidak akan dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. (Fussilat/41: 34-35).

Baca Juga:  Surah Al-A'raf Ayat 148-149; Seri Tadabbur Al-Qur'an

Demikianlah sifat dan sikap orang-orang mukmin di kala mereka berada di siang hari di mana mereka selalu ingat dengan sesama hamba Allah.

Tafsir Quraish Shihab: Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu adalah mereka yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut. Pertama, bersikap rendah hati di dunia ini. Apabila berjalan di muka bumi, mereka selalu berjalan dengan tenang.

Demikian pula dalam segala amal perbuatan. Jika mereka dicaci oleh orang-orang musyrik yang jahil, mereka membiarkannya dan mengatakan kepada mereka, “Kami tidak ada urusan dengan kalian, bahkan kami berdoa untuk keselamatan kalian.”

Surah Al-Furqan Ayat 64
وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا

Terjemahan: Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.

Tafsir Jalalain: وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا (Dan orang-orang yang melalui malam hari dengan bersujud kepada Rabb mereka) lafal Sujjadan merupakan bentuk jamak dari lafal Saajidun وَقِيَامًا (dan berdiri) pada malam harinya mereka mengerjakan salat.

Tafsir Ibnu Katsir: وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا (“Dan orang-orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka.”) yakni dalam rangka mentaati dan beribadah kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya: كَانُوا قَلِيلًا مِّنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ (“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir-akhir malam, mereka memohon ampun.”)(adz-Dzaariyaat: 17-18)

Tafsir Kemenag: Ketiga: Kemudian Allah menjelaskan pula sikap dan sifat mereka ketika berhubungan dengan Tuhan Pencipta alam pada malam hari. Apabila malam telah sunyi sepi, manusia lelap dibuai oleh tidur nyenyak, mereka mengerjakan salat Tahajud dan berdiri menghadap Tuhan Yang Maha Esa.

Mereka tinggalkan kesenangan dan kenyamanan tidur, mereka resapkan dengan sepenuh jiwa dan raga bagaimana nikmat dan tenteramnya bermunajat dengan Tuhan. Mereka mengerjakan salat malam salat Tahajud seperti yang dilakukan Rasulullah karena dengan salat di malam hari itu jiwa mereka menjadi suci dan bersih.

Iman mereka bertambah, keyakinan menjadi mantap bahwa tiada Tuhan selain Dia, rahmat dan kasih sayang-Nya Maha Luas meliputi semua makhluk-Nya. Di sanalah mereka memohon dan berdoa dengan penuh khusyuk dan tawaduk agar diampuni dosa dan kesalahan mereka dan dilimpahkan rahmat dan keridaan-Nya. Setelah melakukan salat malam itu, barulah mereka tidur dengan perasaan bahagia penuh tawakal dan takwa.

Ibnu ‘Abbas berkata, “Barang siapa yang melakukan salat dua rakaat atau lebih sesudah salat Isya berarti dia telah salat sepanjang malam.” Dalam ayat lain, Allah menjelaskan pula sifat-sifat orang-orang mukmin yang mengerjakan salat malam ini:

Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (as-Sajdah/32: 16).

Dan firman-Nya: (Apakah kamu oran(64) Ketiga: Kemudian Allah menjelaskan pula sikap dan sifat mereka ketika berhubungan dengan Tuhan Pencipta alam pada malam hari. Apabila malam telah sunyi sepi, manusia lelap dibuai oleh tidur nyenyak, mereka mengerjakan salat Tahajud dan berdiri menghadap Tuhan Yang Maha Esa.

Mereka tinggalkan kesenangan dan kenyamanan tidur, mereka resapkan dengan sepenuh jiwa dan raga bagaimana nikmat dan tenteramnya bermunajat dengan Tuhan. Mereka mengerjakan salat malam salat Tahajud seperti yang dilakukan Rasulullah karena dengan salat di malam hari itu jiwa mereka menjadi suci dan bersih.

Iman mereka bertambah, keyakinan menjadi mantap bahwa tiada Tuhan selain Dia, rahmat dan kasih sayang-Nya Maha Luas meliputi semua makhluk-Nya. Di sanalah mereka memohon dan berdoa dengan penuh khusyuk dan tawaduk agar diampuni dosa dan kesalahan mereka dan dilimpahkan rahmat dan keridaan-Nya. Setelah melakukan salat malam itu, barulah mereka tidur dengan perasaan bahagia penuh tawakal dan takwa.

Ibnu ‘Abbas berkata, “Barang siapa yang melakukan salat dua rakaat atau lebih sesudah salat Isya berarti dia telah salat sepanjang malam.” Dalam ayat lain, Allah menjelaskan pula sifat-sifat orang-orang mukmin yang mengerjakan salat malam ini:

Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (as-Sajdah/32: 16).

Dan firman-Nya: (Apakah kamu orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? (az-Zumar/39: 9).

Dan firman-Nya: “Mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam; dan pada akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (adz-dzariyat/51: 17?18)

musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? (az-Zumar/39: 9).

Dan firman-Nya: “Mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam; dan pada akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (adz-dzariyat/51: 17?18).

Tafsir Quraish Shihab: Kedua, mereka yang melalui malam hari dengan beribadah, salat dan selalu berzikir kepada Allah.

Surah Al-Furqan Ayat 65
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا

Terjemahan: Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, jauhkan azab jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal”.

Tafsir Jalalain: وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا (Dan orang-orang yang berkata, “Ya Rabb kami! Jauhkanlah azab Jahanam dari kami, sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal”) yang abadi.

Baca Juga:  Surah Al-Furqan Ayat 30-31; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Tafsir Ibnu Katsir: Firman-Nya: وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا (“Dan orang-orang yang berkata: ‘Ya Rabb kami, jauhkanlah adzab jahanam dari kami, sesungguhnya adzab-Nya itu adalah kebinasaan yang kekal.”) yakni tetap dan terus-menerus tiada henti.

Tafsir Kemenag: Keempat: Mereka selalu mengingat hari akhirat dan hari perhitungan. Mereka yakin bahwa semua amal perbuatan manusia akan dipertanggungjawabkan di hari itu, yang baik diberi ganjaran berlipat ganda, dan yang jahat akan dibalas dengan balasan yang setimpal.

Di kala mereka bermunajat dengan Tuhan di malam hari tergambarlah dalam pikiran mereka bagaimana dahsyatnya suasana di waktu itu seakan-akan mereka benar-benar melihat bagaimana ganasnya api neraka yang selalu menanti para hamba Allah yang durhaka untuk menjadi mangsa dan santapannya.

Di kala itu meneteslah air mata mereka dan mereka memohon dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan agar dibebaskan dari siksaan api neraka yang pedih itu.

Orang-orang yang demikian kuat keyakinannya kepada hari akhirat tentu akan mempergunakan kesempatan hidup di dunia ini untuk berbuat amal kebajikan sebanyak-banyaknya dan tidak akan melakukan perbuatan jahat karena yakin perbuatannya itu akan dibalas dengan siksaan yang pedih. Betapa pun baiknya suatu peraturan yang dibuat manusia dan betapa ketatnya pengawasan dalam pelaksanaannya, tetapi manusia yang tidak sadar akan pengawasan Allah dapat saja meloloskan diri dari ikatan peraturan dan undang-undang itu.

Akan tetapi, manusia yang beriman, andaikata tidak ada peraturan dan undang-undang, tidak akan melakukan satu kejahatan pun, karena dia sadar walaupun dapat bebas dari hukuman di dunia, namun tidak akan dapat melepaskan diri dari azab di akhirat. Kesadaran dan keinsyafan inilah yang tertanam dengan kuat di dalam hati setiap muslim yang mendapat julukan “hamba Allah Yang Maha Penyayang.”

Ayat ini menjelaskan bagaimana seorang mukmin benar-benar takut jatuh ke dalam siksaan neraka karena siksaannya amat pedih dan dahsyat. Neraka itu merupakan seburuk-buruk tempat yang disediakan bagi hamba Allah yang ingkar dan durhaka.

Orang-orang kafir kekal di dalamnya selama-lamanya, menderita berbagai macam siksaan. Meskipun kulit mereka telah hangus terbakar dan panasnya api neraka telah menembus ke dalam daging dan tulang belulang, namun mereka tetap hidup untuk merasakan siksaan itu sebagai tersebut dalam firman-Nya:

Sungguh, orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti dengan kulit yang lain, agar mereka merasakan azab. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. (an-Nisa’/4: 56).

Tafsir Quraish Shihab: Ketiga, mereka yang rasa takutnya lebih dominan daripada harapan, seperti halnya orang-orang yang bertakwa. Karena itu mereka takut akan siksa akhirat. Kebiasaan mereka adalah berdoa kepada Allah agar diselamatkan dari siksa jahanam. Sebab siksa jahanam itu, jika menimpa seseorang yang melakukan kejahatan, tidak akan melepaskannya.

Surah Al-Furqan Ayat 66
إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا

Terjemahan: Sesungguhnya jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.

Tafsir Jalalain: إِنَّهَا سَاءَتْ (Sesungguhnya ia adalah seburuk-buruk) sejelek-jelek مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا (tempat menetap dan tempat kediaman) yakni Jahanam adalah tempat menetap dan tempat tinggal yang paling buruk.

Tafsir Ibnu Katsir: Firman-Nya: إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا (“Sesungguhnya Jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.”) yakni seburuk-buruk tempat pemandangan dan seburuk-buruk tempat menetap.

Tafsir Kemenag: Keempat: Mereka selalu mengingat hari akhirat dan hari perhitungan. Mereka yakin bahwa semua amal perbuatan manusia akan dipertanggungjawabkan di hari itu, yang baik diberi ganjaran berlipat ganda, dan yang jahat akan dibalas dengan balasan yang setimpal.

Di kala mereka bermunajat dengan Tuhan di malam hari tergambarlah dalam pikiran mereka bagaimana dahsyatnya suasana di waktu itu seakan-akan mereka benar-benar melihat bagaimana ganasnya api neraka yang selalu menanti para hamba Allah yang durhaka untuk menjadi mangsa dan santapannya. Di kala itu meneteslah air mata mereka dan mereka memohon dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan agar dibebaskan dari siksaan api neraka yang pedih itu.

Orang-orang yang demikian kuat keyakinannya kepada hari akhirat tentu akan mempergunakan kesempatan hidup di dunia ini untuk berbuat amal kebajikan sebanyak-banyaknya dan tidak akan melakukan perbuatan jahat karena yakin perbuatannya itu akan dibalas dengan siksaan yang pedih.

Betapa pun baiknya suatu peraturan yang dibuat manusia dan betapa ketatnya pengawasan dalam pelaksanaannya, tetapi manusia yang tidak sadar akan pengawasan Allah dapat saja meloloskan diri dari ikatan peraturan dan undang-undang itu. Akan tetapi, manusia yang beriman, andaikata tidak ada peraturan dan undang-undang, tidak akan melakukan satu kejahatan pun, karena dia sadar walaupun dapat bebas dari hukuman di dunia, namun tidak akan dapat melepaskan diri dari azab di akhirat.

Kesadaran dan keinsyafan inilah yang tertanam dengan kuat di dalam hati setiap muslim yang mendapat julukan “hamba Allah Yang Maha Penyayang.”

Ayat ini menjelaskan bagaimana seorang mukmin benar-benar takut jatuh ke dalam siksaan neraka karena siksaannya amat pedih dan dahsyat. Neraka itu merupakan seburuk-buruk tempat yang disediakan bagi hamba Allah yang ingkar dan durhaka.

Orang-orang kafir kekal di dalamnya selama-lamanya, menderita berbagai macam siksaan. Meskipun kulit mereka telah hangus terbakar dan panasnya api neraka telah menembus ke dalam daging dan tulang belulang, namun mereka tetap hidup untuk merasakan siksaan itu sebagai tersebut dalam firman-Nya:

Baca Juga:  Makna dan Penarsiran Hati dalam alQuran, Ini Penjelasannya

Sungguh, orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti dengan kulit yang lain, agar mereka merasakan azab. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. (an-Nisa’/4: 56).

Tafsir Quraish Shihab: Sesungguhnya jahanam itu adalah tempat menetap dan tempat kediaman yang paling buruk bagi penghuninya.

Surah Al-Furqan Ayat 67
وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا

Terjemahan: Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.

Tafsir Jalalain: وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا (Dan orang-orang yang apabila membelanjakan) hartanya kepada anak-anak mereka لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا (mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir) dapat dibaca Yaqturuu dan Yuqtiruu, artinya tidak mempersempit perbelanjaannya وَكَانَ (dan adalah) nafkah mereka بَيْنَ ذَلِكَ (di antara yang demikian itu) di antara berlebih-lebihan dan kikir قَوَامًا (mengambil jalan pertengahan) yakni tengah-tengah.

Tafsir Ibnu Katsir: Firman-Nya: وَالَّذِينَ إِذَا أَنفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا … (“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan [harta], mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak [pula] kikir…”) yakni mereka tidak terlalu boros dalam mengeluarkan infaq, mereka mengaturnya sesuai dengan kebutuhan, tidak membiarkan keluarga mereka, menurunkan hak-hak keluarga mereka, mereka berlaku adil dan baik, dan sebaik-baik perkara adalah pertengahan, tidak boros/lebih dan tidak kikir/kurang. وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا (“Dan adalah [pembelanjaan itu] di tengah-tengah antara yang demikian.”) sebagaimana firman-Nya:

وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ (“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya…”)(al-Israa’: 29). Al-Hasan al-Bashri berkata: “Tidak ada istilah berlebihan dalam berinfaq di jalan Allah.”

Iyas bin Mu’awiyah berkata: “Apa yang dibolehkan dalam [melaksanakan] perintah Allah Ta’ala adalah berlebihan [dalam infaq].” Selainnya berkata: “Istilah berlebih-lebihan dalam membelanjakan harta hanya untuk maksiat kepada Allah swt.

Tafsir Kemenag: Kelima: Sifat baik lainnya dari orang-orang mukmin adalah mereka dalam menafkahkan harta tidak boros dan tidak pula kikir, tetapi tetap memelihara keseimbangan antara kedua sifat yang buruk itu. Sifat boros pasti akan membawa kemusnahan harta benda dan kerusakan masyarakat.

Seseorang yang boros walaupun kebutuhan pribadi dan keluarganya telah terpenuhi dengan hidup secara mewah, tetap akan menghambur-hamburkan kekayaannya pada kesenangan lain, seperti main judi, main perempuan, minum-minuman keras, dan lain sebagainya.

Dengan demikian, dia merusak diri sendiri dan masyarakat sekelilingnya. Padahal, kekayaan yang dititipkan Allah kepadanya harus dipelihara sebaik-baiknya sehingga dapat bermanfaat untuk dirinya, keluarga, dan masyarakat.

Sifat kikir dan bakhil pun akan membawa kepada kerugian dan kerusakan. Orang yang bakhil selalu berusaha menumpuk kekayaan walaupun dia sendiri hidup sebagai seorang miskin dan dia tidak mau mengeluarkan uangnya untuk kepentingan masyarakat.

Kalau untuk kepentingan dirinya dan keluarganya saja, dia merasa segan mengeluarkan uang, apalagi untuk kepentingan orang lain. Dengan demikian, akan tertumpuklah kekayaan itu pada diri seorang atau beberapa gelintir manusia yang serakah dan tamak. Orang yang sifatnya seperti ini diancam Allah dengan api neraka sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, dia (manusia) mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Pasti dia akan dilemparkan ke dalam (neraka) Hutamah. (al-Humazah/104: 1-4).

Demikianlah sifat orang mukmin dalam menafkahkan hartanya. Dia tidak bersifat boros sehingga tidak memikirkan hari esok dan tidak pula bersifat kikir sehingga menyiksa dirinya sendiri karena hendak mengumpulkan kekayaan. Keseimbangan antara kedua macam sifat yang tercela itulah yang selalu dipelihara dan dijaga. Kalau kaya, dia dapat membantu masyarakatnya sesuai dengan kekayaannya, dan kalau miskin, dia dapat menguasai hawa nafsu dirinya dengan hidup secara sederhana.

Yazid bin Abi habib berkata, “Demikianlah sifat para sahabat Nabi Muhammad saw. Mereka bukan makan untuk bermewah-mewah dan menikmati makanan yang enak-enak, mereka berpakaian bukan untuk bermegah-megah dengan keindahan.

Akan tetapi, mereka makan sekadar untuk menutup rasa lapar dan untuk menguatkan jasmani karena hendak beribadah melaksanakan perintah Allah. Mereka berpakaian sekadar untuk menutup aurat dan memelihara tubuh mereka terhadap angin dan panas.

‘Abdul Malik bin Marwan, pada waktu mengawinkan Fathimah (putrinya) dengan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, bertanya kepada calon menantunya, “Bagaimana engkau memberi nafkah kepada anakku?” Umar menjawab, “Aku memilih yang baik di antara dua sifat yang buruk” (maksudnya sifat yang baik di antara dua sifat yang buruk yaitu boros dan kikir). Kemudian dia membacakan ayat ini.

Tafsir Quraish Shihab: Keempat, di antara tanda-tanda hamba Tuhan Yang Maha Penyayang adalah bersikap sederhana dalam membelanjakan harta, baik untuk diri mereka maupun keluarga. Mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir dalam pembelanjaan itu, tetapi di tengah-tengah keduanya.

Shadaqallahul ‘adzhim. Alhamdulillah, kita telah pelajari bersama kandungan Surah Al-Furqan Ayat 61-67 berdasarkan Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Kemenag dan Tafsir Quraish Shihab. Semoga menambah khazanah ilmu Al-Qur’an kita.

M Resky S