Surah Al-Furqan Ayat 72-74 ; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an

Surah Al-Furqan Ayat 72-74

Pecihitam.org – Kandungan Surah Al-Furqan Ayat 72-74 ini, menerangkan bahwa di antara sifat hamba Allah Yang Maha Pengasih adalah tidak mau dan tidak pernah melakukan sumpah palsu. Apabila lewat di hadapan orang-orang yang suka mengucapkan kata-kata yang tidak karuan dan tidak ada faedahnya sama sekali, dia berlalu tanpa ikut bergabung dengan mereka.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Furqan Ayat 72-74

Surah Al-Furqan Ayat 72
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

Terjemahan: Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.

Tafsir Jalalain: وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ (Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu) yakni kesaksian yang dusta dan batil وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ (dan apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah) seperti perkataan-perkataan yang buruk dan perbuatan-perbuatan yang lainnya مَرُّوا كِرَامًا (mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya) mereka berpaling daripadanya.

Tafsir Ibnu Katsir: Inipun termasuk sifat-sifat ‘Ibaadurrahmaan, dimana mereka tidak menyaksikan az-zuur. Satu pendapat mengatakan: “Az-Zuur yaitu, syirik dan menyembah berhala.” Ada juga yang berpendapat: “Az-Zuur adalah dusta, fasik, kufur, permainan dan kebathilan.”

Muhammad bin al-Hanafiyyah berkata: “Yaitu permainan dan lagu.” ‘Amr bin Qais berkata: “Yaitu majelis-majelis keburukan dan kata-kata busuk.” Sedangkan Malik berkata dari az-Zuhri: “Yaitu meminum khamr, dimana mereka tidak menghadirinya dan tidak menyukainya.”

Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan firman Allah: لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ adalah tidak memberikan persaksian palsu, yaitu berdusta secara sengaja kepada orang lain. Sebagaimana tercantum dalam ash-Shaihain, bahwa Abu Bakrah berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Maukah kuberitahukan kalian tentang dosa besar yang paling besar?” (beliau ucapkan 3 kali).

Kami pun menjawab: “Tentu ya Rasulallah.” Beliau bersabda: “Menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” Beliau [dalam keadaan] bersandar, lalu duduk tegak, dan bersabda: “Hati-hatilah dengan persaksian palsu, hati-hatilah dengan persaksian palsu.” Beliau terus mengulang-ulanginya hingga kami berkata: “Seandainya [semoga] beliau diam [tidak diulang-ulangi lagi].”

Pendapat yang jelas berdasarkan rangkaian kalimat tersebut adalah bahwa yang dimaksud dengan tidak menyaksikan az-zuur adalah tidak menghadirinya. Untuk itu Allah berfirman: وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا (“Dan apabila mereka bertemu dengan orang yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat, mereka lalui [saja] dengan menjaga kehormatan dirinya.”) yaitu mereka tidak menghadiri perbuatan kotor tersebut. Dan apabila kebetulan mereka berpapasan, mereka lalui saja dan tidak mengotori dirinya sedikitpun. Untuk itu Allah berfirman: مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا (“Mereka lalui saja dengan menjaga kehormatan dirinya.”)

Tafsir Kemenag: Ketujuh: Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa di antara sifat hamba Allah Yang Maha Pengasih adalah tidak mau dan tidak pernah melakukan sumpah palsu. Apabila lewat di hadapan orang-orang yang suka mengucapkan kata-kata yang tidak karuan dan tidak ada faedahnya sama sekali, dia berlalu tanpa ikut bergabung dengan mereka.

Dia menyadari bahwa seorang mukmin tidak layak melayani orang-orang yang menyia-nyiakan waktunya yang sangat berharga dengan omong kosong, apalagi bila waktu itu dipergunakan untuk membicarakan hal-hal yang membawa kepada perbuatan dosa seperti mempergunjingkan orang atau menuduh orang-orang yang tidak bersalah dan lain-lain sebagainya.

Bersumpah palsu sangat dilarang dalam agama Islam, karena ketika bersumpah itu, seseorang telah berdusta dan tidak menyatakan yang sebenarnya. Banyak sekali orang yang melakukan sumpah palsu untuk membela orang-orang yang tidak benar agar orang itu dapat merampas atau memiliki hak orang lain dan melakukan kezaliman.

Padahal, kalau ia tidak ikut bersumpah, tentulah yang hak itu akan nyata dan jelas, serta tidak akan terjadi kezaliman atau perampasan hak. Sebagai seorang mukmin, dia harus berdiri di pihak yang benar dan harus merasa bertanggung jawab untuk menegakkan keadilan dan memberantas kezaliman.

Baca Juga:  Surah Al-Furqan Ayat 1-2; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Umar bin Khaththab sangat marah kepada orang yang melakukan sumpah palsu dan dia pernah mendera orang yang bersumpah palsu 40 kali dera, mencorengi mukanya dengan warna hitam, mencukur semua rambut kepalanya, dan kemudian mengaraknya di tengah pasar.

Sifat dan sikap hamba-hamba Allah yang terpuji ini digambarkan Allah dalam firman-Nya: Dan apabila mereka mendengar perkataan yang buruk, mereka berpaling darinya dan berkata, “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amal kamu, semoga selamatlah kamu, kami tidak ingin (bergaul) dengan orang-orang bodoh.” (al-Qasas/28: 55).

Tafsir Quraish Shihab: Kedelapan, tidak melakukan sumpah palsu.
Kesembilan, jika menemukan perkataan atau perbuatan yang tidak terpuji dari seseorang, mereka tidak larut melakukannya dan memilih tidak menemaninya.

Surah Al-Furqan Ayat 73
وَالَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ لَمْ يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا

Terjemahan: Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta.

Tafsir Jalalain: وَالَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا (Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan) diberi nasihat dan pelajaran بِآيَاتِ رَبِّهِمْ (dengan ayat-ayat Rabb mereka) yakni Alquran لَمْ يَخِرُّوا عَلَيْهَا (mereka tidak menghadapinya) mereka tidak menanggapinya صُمًّا وَعُمْيَانًا (sebagai orang-orang yang tuli dan buta) tetapi mereka menghadapinya dengan cara mendengarkannya sepenuh hati dan memikirkan isinya serta mengambil manfaat daripadanya

Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah: وَالَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ لَمْ يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا (“Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Rabb mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta.”) ini pun termasuk sifat-sifat orang-orang yang beriman.

Maka firman-Nya ini; artinya berbeda dengan orang kafir yang ketika mendengar ayat-ayat Allah, sama sekali tidak terpengaruh dan terus menerus dalam keadaannya, seakan-akan ia tuli dan buta, tidak mau mendengarkannya.

Mujahid berkata tentang friman-Nya ini: yaitu mereka tidak mendengar, tidak melihat dan tidak memahaminya sedikitpun. Qatadah berkata tentang firman-Nya ini: mereka tidak tuli terhadap kebenaran dan tidak buta tentangnya. Demi Allah, mereka adalah kaum yang memahami kebenaran dan dapat mengambil manfaat dari apa yang didengarnya dari Kitab-Nya [al-Qur’an].

Tafsir Kemenag: Kedelapan: Pada ayat ini, Allah menerangkan sifat para hamba-Nya, yaitu mereka dapat menanggapi peringatan yang diberikan Allah bila mereka mendengar peringatan itu. Hati mereka selalu terbuka untuk menerima nasihat dan pelajaran, pikiran mereka pun selalu merenungkan ayat-ayat Allah untuk dipahami dan diamalkan, sehingga bertambahlah keimanan dan keyakinan mereka bahwa ajaran-ajaran yang diberikan Allah kepada mereka benar-benar ajaran yang tinggi nilai dan mutunya, ajaran yang benar yang tidak dapat dibantah lagi. Tidaklah mengherankan apabila mereka sangat fanatik kepada ajaran itu, karena mereka sangat meyakini kebaikannya.

Sangat jauh perbedaan antara mereka dengan kaum musyrikin yang juga fanatik kepada sembahan-sembahannya. Kefanatikan mereka adalah fanatik buta karena tidak mau menerima kebenaran walaupun telah jelas dan nyata bahwa akidah yang mereka anut itu salah dan bertentangan dengan akal yang sehat. B

agaimana pun kuat dan jelasnya alasan-alasan yang dikemukakan kepada mereka tentang ketidakbenaran faham yang dianut mereka tidak akan mau menerimanya karena hatinya telah tertutup dan matanya telah buta untuk memikirkan mana yang benar dan mana yang salah.

Tafsir Quraish Shihab: Kesepuluh, apabila dinasihati oleh seseorang dan dibacakan ayat-ayat Allah, mereka mendengarkannya dengan seksama.
Kalbu mereka tergugah, dan hati kecil mereka terbuka. Mereka tidak seperti orang-orang yang gelisah ketika mendengar ayat-ayat Allah dan berpaling darinya.

Bagi orang-orang yang tidak mendengarkan ayat-ayat Allah, ayat-ayat tersebut tidak menembus pendengaran mereka dan penglihatan mereka pun tertutup darinya.

Surah Al-Furqan ayat 74
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

Terjemahan: Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.

Baca Juga:  Surah Al-Furqan Ayat 55-60; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Tafsir Jalalain: وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا (Dan orang-orang yang berkata, “Ya Rabb kami! Anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami) ia dapat dibaca secara jamak sehingga menjadi Dzurriyyaatinaa, dapat pula dibaca secara Mufrad, yakni Dzurriyyatinaa قُرَّةَ أَعْيُنٍ (sebagai penyenang hati kami) artinya kami melihat mereka selalu taat kepada-Mu وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا (dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”) yakni pemimpin dalam kebaikan.

Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah: وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ (“Dan orang-orang yang berkata: ‘Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati [kami],”) yaitu orang-orang yang meminta kepada Allah untuk dikeluarkan dari tulang sulbi mereka, keturunan yang taat dan hanya beribadah kepada-Nya, yang tidak ada sekutu bagi-Nya.

Ibnu ‘Abbas berkata: “Yaitu orang yang beramal ketaatan kepada Allah, hingga menjadi penyejuk mata mereka di dunia dan di akhirat.” ‘Ikrimah berkata: “Mereka tidak dikehendaki menjadi orang yang pandai atau orang tampan, akan tetapi mereka diinginkan menjadi orang-orang yang taat.” Al-Hasan al-Bashri ditanya tentang ayat ini, lalu beliau menjawab:

“Yaitu Allah memperlihatkan hamba-Nya yang Muslim dan istrinya, saudaranya dan anaknya dalam ketaatan kepada Allah. Tidak, demi Allah, tidak ada sesuatu yang dapat menyejukkan mata seorang muslim dibanding ia melihat anak yang dilahirkannya dan saudara yang mengasihinya sebagai orang yang taat kepada Allah swt.”

Ibnu Juraij berkata tentang firmannya: وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ (“Dan orang-orang yang berkata: ‘Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati [kami],”) mereka beribadah kepada-Mu, lalu memperbaiki pengabdiannya kepada-Mu, serta tidak bersikap membangkang kepada kami.

‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam berkata: “Yaitu mereka meminta kepada Allah Ta’ala untuk istri dan keturunan mereka agar diberi hidayah kepada Islam.”

Imam Ahmad berkata: Telah berkata kepada kami Ma’mar bin Basyir telah bercerita kepada kami, dari ‘Abdullah bin al-Mubarak, dari Shafwan bin ‘Amr, dari ‘Abdurrahman bin Jubair bin Nufair, dari ayahnya, ia berkata: Suatu hari kami duduk kepada Miqdad bin al-Aswad, di mana seorang laki-laki lewat dan berkata:

“Beruntunglah bagi kedua orang ini, keduanya telah melihat Rasulullah saw. Kami mengharapkan agar kami dapat melihat apa yang anda lihat dan kami dapat menyaksikan apa yang telah anda saksikan.” Maka Miqdad pun marah, aku menjadi kagum karena tidak ada yang ia katakan melainkan kebaikan,

kemudian ia [Miqdad] menghadap kepadanya dan berkata: “Mengapa seseorang berharap untuk berada dalam suatu keadaan, padahal Allah swt. telah menghadirkannya pada keadaan itu; seseorang tidak akan mengetahui kalau ia berada ketika itu, bagaimana jadinya? Demi Allah, banyak kaum yang berada pada masa Rasulullah saw. yang pada akhirnya Allah mencampakkan mereka, terjerembab dalam jahanam. Karena mereka tidak menerima dan tidak membenarkan [tidak mengimani Rasulullah saw.].

apakah kalian tidak bersyukur kepada Allah, dimana Allah telah mengeluarkan kalian dari kandungan ibu kalian, kalian tidak mengenal kecuali Rabb kalian [bukan berhala zaman jahiliyyah] lagi membenarkan apa yang dibawa oleh Nabi kalian, sedangkan bencana telah menimpa orang lain [di masa jahiliyyah]? Allah swt. telah mengutus Muhammad saw. pada masa yang amat buruk keadaannya.

Dibangkitkan sebagai Nabi pada masa fatrah, yaitu masa jahiliyyah yang pada masa itu mereka beranggapan, tidak ada agama yang paling baik daripada pemujaan terhadap berhala. Maka beliau datang dengan membawa al-Furqan yang dapat memisahkan yang haq dan yang bathil, memisahkan antara ayah dan anaknya jika orang itu melihat ayahnya atau anaknya atau saudaranya itu sebagai orang kafir.

Allah Ta’ala telah membukakan pintu hatinya untuk mengetahui bahwa jika ia celaka dalam keadaan itu, pasti ia masuk neraka dan hatinya tidak akan tenteram jika ia mengetahui bahwa orang-orang yang dikasihinya berada di neraka.

Baca Juga:  Surah Al-A'raf Ayat 54; Seri Tadabbur Al-Qur'an

Tentang hal itu Allah berfirman: وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ (“Dan orang-orang yang berkata: ‘Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati [kami],”) sanad atsar ini shahih, tetapi rawi lain tidak meriwayatkannya.

Firman Allah: وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا (“Dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”) Ibnu ‘Abbas, al-Hasan, as-Suddi, Qatadah dan ar-Rabi’ bin Anas berkata: “Yaitu para imam yang ditauladani dalam kebaikan.” Selain mereka berkata: “Para penunjuk yang mendapatkan petunjuk lagi para penyeru kebaikan.”

Mereka begitu senang bahwa ibadah mereka bersambung kepada beribadahnya anak-anak dan keturunan mereka serta hidayah yang mereka dapatkan bisa bermanfaat kepada yang lainnya hingga banyaklah pahala dan baiklah tempat kembalinya.

Untuk itu, tercantum dalam shahih Muslim bahwa Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Apabila anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal: anak shalih yang mendoakannya, ilmu yang bermanfaat setelahnya atau shadaqah yang mengalir pahalanya.”

Tafsir Kemenag: Kesembilan: Di antara sifat-sifat hamba Allah ialah mereka selalu bermunajat dan memohon kepada-Nya agar dianugerahi keturunan yang saleh dan baik. Istri dan anak-anaknya benar-benar menyenangkan hati dan menyejukkan perasaan karena keluarga mereka terdiri dari orang-orang yang saleh dan bertakwa kepada Tuhan. Dengan demikian, akan bertambah banyaklah di muka bumi ini hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Di samping itu, mereka bermunajat kepada Allah agar keturunannya menjadi orang-orang yang bertakwa seluruhnya, menjadi penyeru manusia untuk bertakwa, dan menjadi pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa. Ini adalah cahaya iman yang telah memenuhi hati mereka dan meneranginya dengan petunjuk dan hidayah sehingga mereka ingin sekali supaya orang-orang yang bertakwa yang mendapat petunjuk kian lama kian bertambah juga.

Keinginan mereka agar anak cucu dan keturunannya menjadi pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa bukanlah karena ingin kedudukan yang tinggi atau kekuasaan mutlak, tetapi semata-mata karena keinginan yang tulus ikhlas agar penduduk dunia ini dipenuhi oleh orang-orang yang beriman dan bertakwa. Juga bertujuan agar anak cucu mereka melanjutkan perjuangannya menegakkan keadilan dan kebenaran.

Dengan demikian, walaupun mereka sendiri telah mati, tetapi mereka tetap menerima pahala perjuangan anak cucu mereka sesuai dengan sabda Rasulullah:

“Apabila seseorang mati, maka putuslah segala amalnya kecuali dari tiga macam: sedekah yang dapat dimanfaatkan orang, ilmu pengetahuan yang ditinggalkannya yang dapat diambil manfaatnya oleh orang lain sesudah matinya, anak yang saleh yang selalu mendoakannya.” (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah).

Demikianlah sembilan sifat baik yang dimiliki oleh hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang. Bila sifat-sifat itu telah dimiliki oleh seseorang, maka mereka berhak mendapat julukan demikian itu. Orang-orang yang mendapat julukan pasti akan disayang Allah dan di akhirat nanti akan mendapat karunia dan rahmat yang sangat mulia dan besar.

Tafsir Quraish Shihab: Kesebelas, mereka selalu memohon kepada Tuhan agar istri-istri dan anak-anak mereka dijadikan sebagai penyenang hati karena kebaikan yang mereka lakukan. Mereka juga berdoa agar dijadikan sebagai pemimpin dalam kebaikan yang diikuti oleh orang-orang yang saleh.

Shadaqallahul ‘adzhim. Alhamdulillah, kita telah pelajari bersama kandungan Surah Al-Furqan Ayat 72-74 berdasarkan Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Kemenag dan Tafsir Quraish Shihab. Semoga menambah khazanah ilmu Al-Qur’an kita.

M Resky S