Surah Al-Jatsiyah Ayat 21-23; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an

Surah Al-Jatsiyah Ayat 21-23

Pecihitam.org – Kandungan Surah Al-Jatsiyah Ayat 21-23 ini, Allah menjelaskan bahwa langit dan bumi diciptakan dengan benar, dan memiliki tujuan penciptaan sesuai dengan kehendaknya. Tidak ada satu bendapun diadakan Tuhan tanpa mempunyai tujuan. Tujuan kehadiran satu ciptaan adalah untuk dimanfaatkan oleh ciptaan yang lain, dalam rangka mencapai tujuan ciptaan yang lain itu.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Allah menerangkan keadaan orang-orang kafir Mekah yang sedang tenggelam dalam perbuatan jahat. Semua yang mereka lakukan itu disebabkan oleh dorongan hawa nafsunya karena telah tergoda oleh tipu daya setan. Tidak ada lagi nilai-nilai kebenaran yang mendasari tingkah laku dan perbuatan mereka.

Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Jatsiyah Ayat 21-23

Surah Al-Jatsiyah Ayat 21
أَمۡ حَسِبَ ٱلَّذِينَ ٱجۡتَرَحُواْ ٱلسَّيِّـَٔاتِ أَن نَّجۡعَلَهُمۡ كَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ سَوَآءً مَّحۡيَاهُمۡ وَمَمَاتُهُمۡ سَآءَ مَا يَحۡكُمُونَ

Terjemahan: “Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.

Tafsir Jalalain: أَمۡ (Apakah) lafal Am di sini maknanya sama dengan Hamzah yang menunjukkan makna ingkar حَسِبَ ٱلَّذِينَ ٱجۡتَرَحُواْ (berprasangka orang-orang yang mengerjakan) orang-orang yang melakukan ٱلسَّيِّـَٔاتِ (kejahatan) kekafiran dan kemaksiatan أَن نَّجۡعَلَهُمۡ كَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ سَوَآءً (bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh, yaitu sama) lafal Sawaa-an ini menjadi Khabar مَّحۡيَاهُمۡ وَمَمَاتُهُمۡ (antara kehidupan dan kematian mereka?) menjadi Mubtada dan Ma’thuf, sedangkan Jumlah kalimat ini menjadi Badal dari huruf Kaf yang ada pada lafal Kalladziina, dan kedua Dhamirnya kembali kepada orang-orang kafir.

Makna ayat, apakah mereka berprasangka bahwasanya Kami menjadikan mereka di akhirat sama dengan orang-orang mukmin, yaitu mereka hidup dalam kesejahteraan yang sama dengan kehidupan mereka sewaktu di dunia. Karena mereka telah mengatakan kepada orang-orang mukmin:

“Sungguh jika kami dibangkitkan hidup kembali, niscaya kami akan diberi kebaikan seperti apa yang diberikan kepada kalian.” Lalu Allah berfirman menyangkal dugaan mereka sesuai dengan pengertian ingkar yang terkandung di dalam permulaan ayat.

سَآءَ مَا يَحۡكُمُونَ (Amat buruklah apa yang mereka sangka itu) maksudnya, perkara yang sebenarnya tidaklah demikian, karena sesungguhnya mereka di akhirat berada di dalam azab, berbeda dengan keadaan kehidupan mereka sewaktu di dunia.

Sedangkan orang-orang mukmin di akhirat, mereka mendapatkan pahala yang berlimpah disebabkan amal perbuatan mereka sewaktu di dunia, yaitu berupa amal salat, amal zakat, amal puasa dan amal-amal lainnya. Huruf Maa pada ayat ini adalah Mashdariyah, yakni, seburuk-buruknya keputusan adalah keputusan mereka itu.

Tafsir Ibnu Katsir: Allah menyebutkan bahwa orang-orang yang mukmin itu tidaklah sama dengan orang-orang kafir. Dia berfirman: أَمۡ حَسِبَ ٱلَّذِينَ ٱجۡتَرَحُواْ ٱلسَّيِّـَٔاتِ (“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka.”) yaitu kejahatan yang telah mereka kerjakan dan usahakan.

أَن نَّجۡعَلَهُمۡ كَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ سَوَآءً مَّحۡيَاهُمۡ (“Bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka?”) maksudnya Kami menyamakan orang-orang yang berbuat jahat dengan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih di dunia dan di akhirat?

سَآءَ مَا يَحۡكُمُونَ (“Sangat buruklah apa yang mereka sangka itu.”) yakni sungguh sangat buruk prasangka mereka terhadap Kami, dan tidak mungkin Kami menyamakan antara orang-orang yang baik dengan orang-orang yang jahat di alam akhirat kelak dan juga di dunia ini.

Imam ath-Thabrani meriwayatkan dari Masruq, bahwa Tamim ad-Dari pernah bangun [shalat] malam sampai pagi dengan membaca ayat berikut ini secara berulang-ulang: أَمۡ حَسِبَ ٱلَّذِينَ ٱجۡتَرَحُواْ ٱلسَّيِّـَٔاتِ أَن نَّجۡعَلَهُمۡ كَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ (“Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih”) oleh karena itu Allah berfirman: سَآءَ مَا يَحۡكُمُونَ (“sangatlah buruk apa yang mereka sangka itu.”)

Tafsir Kemenag: Allah memerintahkan Rasul-Nya agar menanyakan kepada orang-orang kafir Mekah tentang persengketaan mereka dengan maksud menyangkal dugaan mereka. Mereka menduga bahwa Allah akan memperlakukan dan akan memberikan balasan yang sama kepada mereka seperti yang diberikan kepada orang-orang yang beriman.

Apakah Allah akan mempersamakan orang yang beriman kepada-Nya tetapi tidak melaksanakan syariat-Nya dengan orang yang beriman yang melakukan syariat-Nya. Jawabannya tentu, tidak, sekali-kali tidak, sebagaimana firman Allah:

Tidak sama para penghuni neraka dengan para penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan. (al-hasyr/59: 20) Dalam ayat-ayat lain, diterangkan bahwa tidaklah sama orang-orang yang beriman yang melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhkan larangan-larangan-Nya dengan orang-orang fasik, yaitu orang yang beriman dan mengakui adanya perintah-perintah dan adanya larangan Allah, tetapi tidak melaksanakannya, Allah berfirman: Maka apakah orang yang beriman seperti orang yang fasik (kafir)? Mereka tidak sama. (as-Sajdah/32: 18)

Pada akhir ayat ini, Allah menegaskan bahwa semua dugaan dan sangkaan orang-orang kafir itu adalah dugaan dan sangkaan yang tidak benar dan mustahil terjadi. Karena itu, hendaklah kaum Muslimin waspada terhadap sangkaan itu sehingga tidak terpengaruh olehnya.

Baca Juga:  Surah Al-Jatsiyah Ayat 16-20; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Tafsir Quraish Shihab: Apakah orang-orang yang melakukan kejahatan berupa sikap ingkar dan kemaksiatan itu menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman kepada Allah dan melakukan amal saleh, sehingga Kami menyamakan mereka dalam hidup dan mati? Alangkah buruknya keputusan mereka itu, jika mereka merasa bahwa mereka sama seperti orang-orang yang Mukmin.

Surah Al-Jatsiyah Ayat 22
وَخَلَقَ ٱللَّهُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ بِٱلۡحَقِّ وَلِتُجۡزَىٰ كُلُّ نَفۡسٍۭ بِمَا كَسَبَتۡ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ

Terjemahan: “Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar dan agar dibalasi tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan.

Tafsir Jalalain: وَخَلَقَ ٱللَّهُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ (Dan Allah menciptakan langit dan) menciptakan ٱلۡأَرۡضَ بِٱلۡحَقِّ (bumi dengan tujuan yang benar) lafal Bil haqqi ber-ta’alluq kepada lafal Khalaqa; penciptaan langit dan bumi itu dimaksud untuk menunjukkan kekuasaan dan keesaan-Nya وَلِتُجۡزَىٰ كُلُّ نَفۡسٍۭ بِمَا كَسَبَتۡ (dan agar dibalasi tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya) yaitu kemaksiatan dan ketaatan yang dilakukannya, maka tidaklah sama balasan yang diterima orang kafir dan orang mukmin وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ (dan mereka tidak akan dirugikan.).

Tafsir Ibnu Katsir: وَخَلَقَ ٱللَّهُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ بِٱلۡحَقِّ (“Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar.”) yakni dengan penuh keadilan. وَلِتُجۡزَىٰ كُلُّ نَفۡسٍۭ بِمَا كَسَبَتۡ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ (“Dan agar dibalasi tiap-tiap diri terhadap apa yang dikerjakannya dan mereka tidak akan dirugikan.”)

Tafsir Kemenag: Allah menjelaskan bahwa langit dan bumi diciptakan dengan benar, dan memiliki tujuan penciptaan sesuai dengan kehendaknya. Tidak ada satu bendapun diadakan Tuhan tanpa mempunyai tujuan. Tujuan kehadiran satu ciptaan adalah untuk dimanfaatkan oleh ciptaan yang lain, dalam rangka mencapai tujuan ciptaan yang lain itu.

Apabila suatu kegiatan tidak memiliki tujuan, maka yang terjadi adalah la’ib, permainan. Kata sebaliknya bathil, kebalikan kata haq banyak digunakan untuk menjelaskan hal yang sama, sebagaimana ayat di bawah: Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan sia-sia. Itu anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang yang kafir itu karena mereka akan masuk neraka. (shad/38: 27)

Seperti yang kita saksikan, sifat fisis bumi, seperti massa, struktur, suhu, dan seterusnya begitu tepat bagi kehidupan. Namun, sifat-sifat itu saja tidak cukup untuk memungkinkan adanya kehidupan di bumi, faktor penting lain adalah susunan atmosfer [lihat Surah Ibrahim/14:19 dan Surah al-Jatsiyah/45: 3].

Tidak ada satu pun kekuatan lain yang dapat mengubah kehendak Allah. Ketentuan yang demikian berlaku bagi seluruh ciptaan-Nya sesuai dengan keadilan dan sunah-Nya. Di antara keadilan Allah ialah memberikan balasan yang setimpal kepada para hamba-Nya atas amal dan perbuatannya pada hari pembalasan.

Barang siapa yang melakukan perbuatan yang baik akan menerima ganjarannya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan-Nya, demikian pula barang siapa yang melakukan perbuatan jahat akan menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan jahatnya itu.

Mengapa dikatakan bahwa pemberian balasan yang setimpal itu sesuai dengan keadilan Allah. Karena Allah menciptakan manusia sebagai makhluk-Nya, dilengkapi dengan kecenderungan dan kemampuan untuk berbuat baik dan berbuat jahat. Kedua-duanya atau salah satu daripada kedua potensi itu dapat berkembang pada diri seseorang.

Perkembangannya itu banyak ditentukan oleh keadaan, lingkungan, dan waktu. Di samping itu, Allah menganugerahi manusia akal pikiran. Dengan akal pikirannya itu manusia mempunyai kesanggupan-kesanggupan untuk menilai rangsangan-rangsangan yang mempengaruhi tindakan dan perilakunya.

Sebelum seseorang menentukan sikap untuk melakukan suatu perbuatan atau tidak melakukannya, maka dalam dirinya terjadi gejolak dalam mempertimbangkan dan menetapkan suatu pilihan, sikap mana atau tindakan mana yang akan diambilnya dari kedua tindakan itu.

Pada saat-saat yang demikian itu, manusia diberi kemerdekaan memilih antara yang baik dan yang buruk. Dalam pergolakan yang demikian, maka jiwa manusia mendapat tekanan-tekanan yang disebut tekanan-tekanan kejiwaan. Apabila ia memilih dan memutuskan melakukan suatu kebaikan, maka perbuatan itu terjadi berdasarkan pilihannya sendiri.

Bila ia memilih keputusan melakukan keburukan, maka itu pun terjadi karena pilihannya sendiri pula. Saat-saat yang seperti itu adalah saat-saat yang menentukan apakah ia sengaja melakukan suatu perbuatan atau ia tidak sengaja melakukannya. Dan juga membedakan antara perbuatan yang dilakukan; apakah perbuatan itu dilakukan dengan sadar atau tidak. Itulah sebabnya dikatakan bahwa balasan Allah terhadap hamba-Nya sesuai dengan amal dan perbuatannya, itulah gambaran keadilan Allah.

Tafsir Quraish Shihab: Allah telah menciptakan langit dan bumi dengan penuh hikmah dan aturan, supaya bukti-bukti mengenai ketuhanan dan kemahakuasaan Allah menjadi tampak jelas. Selain itu, juga supaya setiap jiwa diberi balasan atas kebaikan dan kejahatan yang dilakukannya. Balasan mereka tidak akan dikurangi sedikit pun.

Surah Al-Jatsiyah Ayat 23
أَفَرَءَيۡتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلۡمٍ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمۡعِهِۦ وَقَلۡبِهِۦ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِۦ غِشَٰوَةً فَمَن يَهۡدِيهِ مِنۢ بَعۡدِ ٱللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ

Baca Juga:  Surah Al-Hijr Ayat 1-3; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Terjemahan: “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?

Tafsir Jalalain: أَفَرَءَيۡتَ (Apakah kamu pernah melihat) maksudnya ceritakanlah kepadaku مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ (orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya) maksudnya, yang disukai oleh hawa nafsunya, yaitu batu demi batu ia ganti dengan yang lebih baik sebagai sesembahannya وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلۡمٍ (dan Allah membiarkan-Nya sesat berdasarkan ilmu-Nya) berdasarkan pengetahuan Allah swt.

Dengan kata lain Dia telah mengetahui, bahwa orang itu termasuk orang yang disesatkan sebelum ia diciptakan وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمۡعِهِۦ وَقَلۡبِهِۦ (dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya) maka, karena itu ia tidak dapat mendengar petunjuk dan tidak mau memikirkannya وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِ (dan meletakkan tutupan atas penglihatannya) mengambil kegelapan hingga ia tidak dapat melihat petunjuk.

Pada ayat ini diperkirakan adanya Maf’ul kedua bagi lafal Ra-ayta, yaitu lafal ayat tadi, yang artinya; apakah ia mendapat petunjuk? (Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah) membiarkannya sesat? Maksudnya, tentu saja ia tidak dapat petunjuk.

غِشَٰوَةً فَمَن يَهۡدِيهِ مِنۢ بَعۡدِ ٱللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَِ (Maka mengapa kalian tidak mengambil pelajaran?) atau mengapa kalian tidak mau mengambilnya sebagai pelajaran buat kalian. Lafal Tadzakkaruuna asalnya salah satu dari huruf Ta-nya diidgamkan kepada huruf Dzal.

Tafsir Ibnu Katsir: أَفَرَءَيۡتَ مَنِ ٱتَّخَذَ إِلَٰهَهُۥ هَوَىٰهُ (“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya?”) maksudnya orang itu bertindak berdasarkan hawa nafsunya. Jadi apa yang ia anggap baik, maka ia akan kerjakan, dan apa yang ia anggap jelk, akan ia tinggalkan. Hal itu pula yang telah dijadikan dalil oleh kaum Mu’tazilah bagi pendapatnya tentang tahsin [menganggap baik] dan taqbih [menganggap buruk] menurut akal.

Diriwayatkan dari Malik, penafsiran bahwa tidaklah ia condong kepada sesuatu melainkan ia menyembahnya.

Firman-Nya: وَأَضَلَّهُ ٱللَّهُ عَلَىٰ عِلۡمٍ (“Dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya.”) yang demikian itu mencakup dua hal; pertama, Allah menyesatkannya karena pengetahuan-Nya bahwa ia memang berhak menerima hal itu. Kedua, Allah menyesatkannya setelah sampainya ilmu pengetahuan kepadanya serta tegaknya hujjah atasnya. Yang kedua mengharuskan kemungkinan yang pertama, dan tidak sebaliknya.

Firman Allah: وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمۡعِهِۦ وَقَلۡبِهِۦ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِۦ غِشَٰوَةً (“Dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya.”) maksudnya ia tidak dapat mendengar apa yang bermanfaat baginya dan tidak menyadari sesuatu pun yang dapat menjadi petunjuk baginya serta tidak dapat melihat hujjah yang dapat ia jadikan sebagai penerang.

Oleh karena itu, Allah berfirman: فَمَن يَهۡدِيهِ مِنۢ بَعۡدِ ٱللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ (“Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah [membiarkannya sesat?]? Maka, mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”)

Tafsir Kemenag: Muqatil mengatakan bahwa ayat ini turun berhubungan dengan peristiwa percakapan Abu Jahal dengan al-Walid bin al-Mugirah. Pada suatu malam Abu Jahal tawaf di Baitullah bersama Walid. Kedua orang itu membicarakan keadaan Nabi Muhammad.

Abu Jahal berkata, “Demi Allah, sebenarnya aku tahu bahwa Muhammad itu adalah orang yang benar. “Al-Walid berkata kepadanya, “Biarkan saja, apa pedulimu dan apa alasan pendapatmu itu?” Abu Jahal menjawab, “Hai Abu Abdisy Syams, kita telah menamainya orang yang benar, jujur, dan terpercaya dimasa mudanya, tetapi sesudah ia dewasa dan sempurna akalnya, kita menamakannya pendusta lagi pengkhianat. Demi Allah, sebenarnya aku tahu bahwa dia itu adalah benar.”

Al-Walid berkata, “Apakah gerangan yang menghalangimu untuk membenarkan dan mempercayai seruannya?” Abu Jahal menjawab, “Nanti gadis-gadis Quraisy akan menggunjingkan bahwa aku pengikut anak yatim Abu thalib, padahal aku dari suku yang paling tinggi. Demi Al-Lata da Al-Uzza, saya tidak akan menjadi pengikutnya selama-lamanya.” Kemudian turunlah ayat ini.

Selanjutnya, pada ayat ini Allah menerangkan keadaan orang-orang kafir Mekah yang sedang tenggelam dalam perbuatan jahat. Semua yang mereka lakukan itu disebabkan oleh dorongan hawa nafsunya karena telah tergoda oleh tipu daya setan.

Tidak ada lagi nilai-nilai kebenaran yang mendasari tingkah laku dan perbuatan mereka. Apa yang baik menurut hawa nafsu mereka itulah yang mereka perbuat. Seakan-akan mereka menganggap hawa nafsu mereka itu sebagai tuhan yang harus mereka ikuti perintahnya. Mereka telah lupa bahwa kehadiran mereka di dunia yang fana ini ada maksud dan tujuannya.

Ada misi yang harus mereka bawa yaitu sebagai khalifah Allah di muka bumi. Mereka telah menyia-nyiakan kedudukan yang diberikan Allah kepada mereka sebagai makhluk Tuhan yang paling baik bentuknya dan mempunyai kemampuan yang paling baik pula.

Mereka tidak menyadari bahwa mereka harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya kepada Allah kelak dan bahwa Allah akan membalas setiap perbuatan dengan balasan yang setimpal. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah:

Baca Juga:  Surah Al-Anfal Ayat 25; Terjemahan dan Tafsir Al Qur'an

Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (az-Zalzalah/99: 7-8) Sebenarnya hawa nafsu yang ada pada manusia itu merupakan anugerah yang tidak ternilai harganya yang diberikan Allah kepada manusia.

Di samping Allah memberikan akal dan agama kepada manusia agar dengan keduanya manusia dapat mengendalikan hawa nafsunya. Jika seseorang mengendalikan hawa nafsunya sesuai dengan pertimbangan akal yang sehat dan tidak bertentangan dengan tuntunan agama, maka orang yang demikian itu telah berbuat sesuai dengan fitrahnya.

Tetapi apabila seseorang memperturutkan hawa nafsunya tanpa pertimbangan akal yang sehat dan tidak lagi berpedoman kepada tuntutan agama, maka orang itu telah diperbudak oleh hawa nafsunya. Hal itu berarti bahwa ia telah berbuat menyimpang dari fitrahnya dan terjerumus dalam kesesatan.

Berdasarkan keterangan di atas, maka dalam mengikuti hawa nafsunya, manusia terbagi atas dua kelompok. Kelompok pertama ialah kelompok yang dapat mengendalikan hawa nafsunya; mereka itulah orang yang bertakwa.

Sedangkan kelompok kedua ialah orang yang dikuasai hawa nafsunya. Mereka itulah orang-orang yang berdosa dan selalu bergelimang dalam lumpur kejahatan. Ibnu ‘Abbas berkata, “Setiap kali Allah menyebut hawa nafsu dalam Al-Qur’an, setiap kali itu pula Ia mencelanya.”

Allah berfirman: Dan sekiranya Kami menghendaki niscaya Kami tinggikan (derajat)nya dengan (ayat-ayat) itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan mengikuti keinginannya (yang rendah), maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya dijulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia menjulurkan lidahnya (juga).

Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berpikir. (al-A’raf/7: 176) Pada ayat lain : Dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. (shad/38: 26)

Dalam ayat ini, Allah memuji orang-orang yang dapat menguasai hawa nafsunya dan menjanjikan baginya tempat kembali yang penuh kenikmatan. Allah berfirman: Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, maka sungguh, surgalah tempat tinggal(nya). (an-Nazi’at/79: 40-41)

Banyak hadis-hadis Nabi saw yang mencela orang-orang yang memperturutkan hawa nafsunya. Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘As bahwa Nabi saw berkata. Tidak beriman seseorang dari antara kamu sehingga hawa nafsunya itu tunduk kepada apa yang saya bawa (petunjuk).(Riwayat al-Khathib al-Bagdadi)

Syaddad bin Aus meriwayatkan hadis dari Nabi saw : ?) Orang yang cerdik ialah orang yang menguasai hawa nafsunya dan berbuat untuk kepentingan masa sesudah mati. Tetapi orang yang zalim ialah orang yang memperturutkan hawa nafsunya dan mengharap-harap sesuatu yang mustahil dari Allah. (Riwayat at-Tirmidhi dan Ibnu Majah)

Orang yang selalu memperturutkan hawa nafusnya biasanya kehilangan kontrol dirinya. Itulah sebabnya ia terjerumus dalam kesesatan karena ia tidak mau memperhatikan petunjuk yang diberikan kepadanya, dan akibat perbuatan jahat yang telah dilakukannya karena memperturutkan hawa nafsu.

Keadaan orang yang memperturutkan hawa nafsunya itu diibaratkan seperti orang yang terkunci mati hatinya sehingga tidak mampu lagi menilai mana yang baik mana yang buruk, dan seperti orang yang telinganya tersumbat sehingga tidak mampu lagi memperhatikan tanda-tanda kekuasaan Allah yang terdapat di langit dan di bumi, dan seperti orang yang matanya tertutup tidak dapat melihat dan mengetahui kebenaran adanya Allah Yang Maha Pencipta segala sesuatu.

Selanjutnya, Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar tidak membenarkan sikap orang-orang kafir Mekah dengan mengatakan bahwa tidak ada kekuasaan yang akan memberikan petunjuk selain Allah setelah mereka tersesat dari jalan yang lurus.

Pada akhir ayat ini, Allah mengingatkan mereka mengapa mereka tidak mengambil pelajaran dari alam semesta, kejadian pada diri mereka sendiri, dan azab yang menimpa umat-umat terdahulu sebagai bukti bahwa Allah Mahakuasa lagi berhak disembah.

Tafsir Quraish Shihab: Tidakkah kamu memperhatikan, wahai Rasulullah, orang yang menyembah hawa nafsunya, tunduk dan patuh kepadanya, dan ia sesat dari jalan kebenaran, padahal ia mengatahui jalan kebenaran itu, dan Allah telah menutup pendengarannya, sehingga tidak dapat menerima nasihat, dan menutup hatinya, sehingga tidak mau meyakini kebenaran, serta menutup penglihatannya, sehingga tidak dapat melihat suatu peringatan? Siapakah yang dapat memberinya petunjuk setelah Allah berpaling darinya? Apakah kalian tidak memperhatikan sehingga tidak dapat mengambil pelajaran?

Shadaqallahul ‘adzhim. Alhamdulillah, kita telah pelajari bersama kandungan Surah Al-Jatsiyah Ayat 21-23 berdasarkan Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Kemenag dan Tafsir Quraish Shihab. Semoga menambah khazanah ilmu Al-Qur’an kita.

M Resky S