Surah Al-Ma’arij Ayat 19-35; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an

Surah Al-Ma'arij Ayat 19-35

Pecihitam.org – Kandungan Surah Al-Ma’arij Ayat 19-35 ini, menerangkan tentang sifat-sifat orang yang takwa, yaitu sedikit sekali tidur di waktu malam karena mengisi waktu dengan salat Tahajud. Mereka dalam melakukan ibadah tahajudnya merasa tenang dan penuh dengan kerinduan dan dalam munajatnya kepada Allah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sengaja memilih waktu yang sunyi dari gangguan makhluk lain seperti dua orang pengantin baru dalam menumpahkan isi hati kepada kesayangannya, tentu memilih tempat dan waktu yang nyaman dan aman bebas dari gangguan siapa pun.

Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Ma’arij Ayat 19-35

Surah Al-Ma’arij Ayat 19
إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ خُلِقَ هَلُوعًا

Terjemahan: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.

Tafsir Jalalain: إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ خُلِقَ هَلُوعًا (Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh-kesah) lafal haluu`an merupakan hal atau kata keterangan keadaan dari lafal yang tidak disebutkan, dan sekaligus sebagai penafsirnya.

Tafsir Ibnu Katsir: Allah Ta’ala berfirman seraya menceritakan tentang manusia dan akhlak tercela yang diciptakan padanya. إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ خُلِقَ هَلُوعًا (“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.”)

Tafsir Kemenag: Dalam ayat ini dijelaskan bahwa manusia memiliki sifat suka berkeluh kesah dan kikir. Namun, sifat ini dapat diubah jika menuruti petunjuk Tuhan yang dinyatakan-Nya dalam ayat 22 sampai 24 surah ini. Manusia yang tidak mempedulikan petunjuk Tuhan dan seruan rasul adalah orang yang sesat. Firman Allah:

Dan kebanyakan manusia tidak akan beriman walaupun engkau sangat menginginkannya. (Yusuf/12: 103) Manusia bisa sesat dari jalan Allah karena sifatnya yang tergesa-gesa, gelisah, dan kikir. Hal ini bukanlah ketentuan dari Allah terhadapnya, tetapi mereka menjadi mukmin atau menjadi kafir karena usaha dan pilihan mereka sendiri. Dialah yang menciptakan kamu, lalu di antara kamu ada yang kafir dan di antara kamu (juga) ada yang mukmin. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (At-Tagabun/64: 2)

Kepada manusia dibentangkan jalan lurus menuju keridaan Allah dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat seperti yang disampaikan Rasulullah, sebagaimana yang termuat dalam Al-Qur’an dan hadis. Di samping itu, terbentang pula jalan yang sesat, jalan yang dimurkai Allah dan menuju ke tempat yang penuh derita dan sengsara di akhirat.

Manusia boleh memilih salah satu dari kedua jalan itu; jalan mana yang akan ditempuhnya, apakah jalan yang lurus atau jalan yang sesat. Kemudian mereka diberi balasan sesuai dengan pilihan mereka.

Tafsir Quraish Shihab: Sesungguhnya manusia itu bersifat hala’: sangat gelisah dan marah bila ditimpa kesusahan dan sangat kikir bila mendapat kebaikan dan kemudahan. Kecuali, pertama, orang-orang yang senantiasa mengerjakan salat dan tetap melakukannya tanpa meninggalkan satu waktu pun. Mereka mendapat perlindungan dan bimbingan dari Allah ke arah kebaikan.

Surah Al-Ma’arij Ayat 20
إِذَا مَسَّهُ ٱلشَّرُّ جَزُوعًا

Terjemahan: “Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah,

Tafsir Jalalain: إِذَا مَسَّهُ ٱلشَّرُّ جَزُوعًا (Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah) atau sewaktu ia ditimpa keburukan berkeluh kesah.

Tafsir Ibnu Katsir: kemudian Dia menafsirkannya melalui firman-Nya: إِذَا مَسَّهُ ٱلشَّرُّ جَزُوعًا (“Apabila dia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah.”) maksudnya jika dia ditimpa oleh suatu hal yang menyusahkan, maka dia akan gusar dan mengeluh. Hatinya pun menjadi hancur karena rasa takut yang luar biasa menyeramkan dan karena putus asa dari mendapatkan kebaikan.

Tafsir Kemenag: Jika manusia ditimpa kesusahan, mereka tidak sabar dan tabah, kadang-kadang berputus asa. Akan tetapi, jika memperoleh rezeki dan karunia yang banyak dari Allah, ia menjadi kikir. Kegelisahan dan kekikiran itu timbul pada diri manusia lantaran mereka tidak beriman dengan sungguh-sungguh kepada Allah. Ia merasa seakan-akan dirinya terpencil, tidak ada sesuatu pun yang dapat menolongnya dalam kesukaran itu.

Namun apabila mendapat rezeki, ia merasa bahwa rezeki itu diperolehnya semata-mata karena usahanya sendiri, tanpa pertolongan dari orang lain. Mereka beranggapan bahwa rezeki dan karunia yang diperolehnya itu bukan karunia dari Allah.

Oleh karena itu, timbullah sifat kikir. Lain halnya dengan orang yang beriman. Ia percaya bahwa segala yang datang kepadanya merupakan ujian dan cobaan dari Allah, baik yang datang itu berupa penderitaan maupun kesenangan.

Cobaan itu diberikan kepadanya untuk menguji dan menambah kuat imannya. Oleh karena itu, ia tetap tabah dan sabar dalam menerima semua cobaan, serta bertobat kepada Allah dengan tobat yang sesungguhnya jika ada kesalahan yang telah dilakukannya. Sebaliknya jika ia menerima rahmat dan karunia dari Allah, ia bersyukur kepada-Nya dan merasa dirinya terikat dengan rahmat itu.

Kemudian ia mengeluarkan hak orang lain atau hak Allah yang ada dalam hartanya itu, sebagaimana yang telah dilakukan Nabi Ayub: Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika dia berdoa kepada Tuhannya, ?(Ya Tuhanku), sungguh, aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang.?

Maka Kami kabulkan (doa)nya, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan (Kami lipat gandakan jumlah mereka) sebagai suatu rahmat dari Kami, dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Kami. (Al-Anbiya?/21: 83-84)

Orang yang beriman tidak akan bersedih hati dan putus asa terhadap urusan dunia yang luput darinya, dan tidak akan berpengaruh pada jiwanya, karena ia yakin kepada Qada dan Qadar Allah. Belum tentu yang dikira buruk itu, buruk pula di sisi Allah, dan yang dikira baik itu, baik pula di sisi-Nya. Mungkin sebaliknya, yang dikira buruk itu, baik di sisi Allah dan yang kelihatannya baik itu adalah buruk di sisi Allah. Ia yakin benar hal yang demikian, karena dinyatakan Allah dalam firman-Nya: Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya. (an-Nisa\\’/4: 19)

Adapun orang kafir tidak mempunyai kepercayaan yang demikian. Mereka tidak percaya bahwa suka dan duka yang didatangkan Allah kepada seseorang merupakan cobaan Allah kepadanya. Mereka beranggapan bahwa hal itu merupakan malapetaka baginya. Ketika dalam keadaan senang dan gembira, mereka hanya melihat seakan-akan diri mereka sajalah yang ada, sedangkan yang lain tidak ada, sebagaimana firman Allah:

Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika ditimpa malapetaka, mereka berputus asa dan hilang harapannya. Dan jika Kami berikan kepadanya suatu rahmat dari Kami setelah ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata, ?Ini adalah hakku, dan aku tidak yakin bahwa hari Kiamat itu akan terjadi.

Dan jika aku dikembalikan kepada Tuhanku, sesungguhnya aku akan memperoleh kebaikan di sisi-Nya.? Maka sungguh, akan Kami beritahukan kepada orang-orang kafir tentang apa yang telah mereka kerjakan, dan sungguh, akan Kami timpakan kepada mereka azab yang berat. (Fussilat/41: 49-50)

Tafsir Quraish Shihab: Sesungguhnya manusia itu bersifat hala’: sangat gelisah dan marah bila ditimpa kesusahan dan sangat kikir bila mendapat kebaikan dan kemudahan. Kecuali, pertama, orang-orang yang senantiasa mengerjakan salat dan tetap melakukannya tanpa meninggalkan satu waktu pun. Mereka mendapat perlindungan dan bimbingan dari Allah ke arah kebaikan.

Surah Al-Ma’arij Ayat 21
وَإِذَا مَسَّهُ ٱلۡخَيۡرُ مَنُوعًا

Terjemahan: “dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir,

Tafsir Jalalain: وَإِذَا مَسَّهُ ٱلۡخَيۡرُ مَنُوعًا (Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir) sewaktu ia mendapat harta benda ia kikir, tidak mau menunaikan hak Allah yang ada pada hartanya itu.

Tafsir Ibnu Katsir: وَإِذَا مَسَّهُ ٱلۡخَيۡرُ مَنُوعًا (“Dan apabila dia mendapat kebaikan, ia amat kikir.”) maksudnya, jika dia mendapatkan kenikmatan dari Allah, maka ia sangat kikir memberikannya kepada orang lain dan menolak memberikan hak Allah dari nikmat yang didapatkannya tersebut.

Tafsir Kemenag: Jika manusia ditimpa kesusahan, mereka tidak sabar dan tabah, kadang-kadang berputus asa. Akan tetapi, jika memperoleh rezeki dan karunia yang banyak dari Allah, ia menjadi kikir. Kegelisahan dan kekikiran itu timbul pada diri manusia lantaran mereka tidak beriman dengan sungguh-sungguh kepada Allah. Ia merasa seakan-akan dirinya terpencil, tidak ada sesuatu pun yang dapat menolongnya dalam kesukaran itu.

Namun apabila mendapat rezeki, ia merasa bahwa rezeki itu diperolehnya semata-mata karena usahanya sendiri, tanpa pertolongan dari orang lain. Mereka beranggapan bahwa rezeki dan karunia yang diperolehnya itu bukan karunia dari Allah. Oleh karena itu, timbullah sifat kikir. Lain halnya dengan orang yang beriman. Ia percaya bahwa segala yang datang kepadanya merupakan ujian dan cobaan dari Allah, baik yang datang itu berupa penderitaan maupun kesenangan.

Cobaan itu diberikan kepadanya untuk menguji dan menambah kuat imannya. Oleh karena itu, ia tetap tabah dan sabar dalam menerima semua cobaan, serta bertobat kepada Allah dengan tobat yang sesungguhnya jika ada kesalahan yang telah dilakukannya. Sebaliknya jika ia menerima rahmat dan karunia dari Allah, ia bersyukur kepada-Nya dan merasa dirinya terikat dengan rahmat itu.

Kemudian ia mengeluarkan hak orang lain atau hak Allah yang ada dalam hartanya itu, sebagaimana yang telah dilakukan Nabi Ayub: Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika dia berdoa kepada Tuhannya, ?(Ya Tuhanku), sungguh, aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang.?

Maka Kami kabulkan (doa)nya, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan (Kami lipat gandakan jumlah mereka) sebagai suatu rahmat dari Kami, dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Kami. (Al-Anbiya\’/21: 83-84)

Orang yang beriman tidak akan bersedih hati dan putus asa terhadap urusan dunia yang luput darinya, dan tidak akan berpengaruh pada jiwanya, karena ia yakin kepada Qada dan Qadar Allah. Belum tentu yang dikira buruk itu, buruk pula di sisi Allah, dan yang dikira baik itu, baik pula di sisi-Nya. Mungkin sebaliknya, yang dikira buruk itu, baik di sisi Allah dan yang kelihatannya baik itu adalah buruk di sisi Allah. Ia yakin benar hal yang demikian, karena dinyatakan Allah dalam firman-Nya: Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya. (an-Nisa\’/4: 19)

Adapun orang kafir tidak mempunyai kepercayaan yang demikian. Mereka tidak percaya bahwa suka dan duka yang didatangkan Allah kepada seseorang merupakan cobaan Allah kepadanya. Mereka beranggapan bahwa hal itu merupakan malapetaka baginya. Ketika dalam keadaan senang dan gembira, mereka hanya melihat seakan-akan diri mereka sajalah yang ada, sedangkan yang lain tidak ada, sebagaimana firman Allah:

Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika ditimpa malapetaka, mereka berputus asa dan hilang harapannya. Dan jika Kami berikan kepadanya suatu rahmat dari Kami setelah ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata, ?Ini adalah hakku, dan aku tidak yakin bahwa hari Kiamat itu akan terjadi. Dan jika aku dikembalikan kepada Tuhanku, sesungguhnya aku akan memperoleh kebaikan di sisi-Nya.? Maka sungguh, akan Kami beritahukan kepada orang-orang kafir tentang apa yang telah mereka kerjakan, dan sungguh, akan Kami timpakan kepada mereka azab yang berat. (Fussilat/41: 49-50)

Tafsir Quraish Shihab: Mereka selalu tidur sedikit di waktu malam dan sering bangun malam untuk beribadah. Dan pada akhir malam mereka selalu meminta ampunan Tuhan.

Baca Juga:  Surah Al-Hadid Ayat 4-6; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Surah Al-Ma’arij Ayat 22
إِلَّا ٱلۡمُصَلِّينَ

Terjemahan: “kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat,

Tafsir Jalalain: إِلَّا ٱلۡمُصَلِّينَ (Kecuali orang-orang yang mengerjakan salat) yakni, orang-orang yang beriman.

Tafsir Ibnu Katsir: إِلَّا ٱلۡمُصَلِّينَ (“Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat”) yakni manusia dengan beberapa sifat tercelanya, kecuali orang-orang yang dilindungi Allah dan diberi taufiq serta hidayah menuju kebaikan dan juga diberi kemudahan untuk mendapatkannya, mereka itulah orang-orang yang mengerjakan shalat.

Tafsir Kemenag: Demikian sifat-sifat manusia pada umumnya, kecuali orang-orang yang mengerjakan salat. Salat merupakan rukun Islam kedua; tanda yang membedakan antara orang yang beriman dengan orang kafir. Jika seseorang salat, berarti ia mempunyai hubungan dengan Tuhannya. Dia akan selalu teringat kepada Tuhannya. Sebaliknya jika ia tidak salat, ia akan lupa kepada Tuhannya sehingga hubungannya terputus. Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakanlah salat untuk mengingat Aku. (?aha/20: 14)

Jika orang benar-benar khusyuk dalam salatnya, berarti hati dan pikirannya tertuju kepada Allah semata. Dia merasa berhadapan langsung dengan Allah dalam salatnya. Timbul dalam hatinya takut karena dosa-dosa yang telah diperbuatnya di samping penuh harap akan limpahan pahala, rahmat, dan karunia-Nya.

Oleh karena itu, ia berjanji dalam hatinya akan menjauhi dan menghentikan larangan-larangan-Nya. Hatinya pasrah dan tenteram menyerahkan diri kepada-Nya. Orang yang salat secara demikian, akan terhindar dari perbuatan keji dan perbuatan mungkar. Bacalah Kitab (Al-Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah salat.

Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-?Ankab?t/29: 45)

Dalam ayat ini disebutkan salat dalam arti yang umum, termasuk di dalamnya salat wajib yang lima waktu dan salat-salat sunah. Hal ini berarti bahwa semua salat yang diperintahkan Allah untuk dikerjakan dapat menghilangkan kegelisahan, menenteramkan hati, dan menambah kekuatan iman orang yang mengerjakannya. Sekalipun demikian, tentu salat yang paling diutamakan mengerjakannya ialah salat yang lima waktu.

Kemudian diteruskan bahwa salat itu selalu dikerjakan pada setiap waktu yang ditentukan, terus-menerus, tidak ada yang luput dikerjakan walaupun satu salat. Inilah syarat mengerjakan salat yang dapat menghilangkan kegelisahan hati dan kekikiran.

Tafsir Quraish Shihab: Sesungguhnya manusia itu bersifat hala’: sangat gelisah dan marah bila ditimpa kesusahan dan sangat kikir bila mendapat kebaikan dan kemudahan. Kecuali, pertama, orang-orang yang senantiasa mengerjakan salat dan tetap melakukannya tanpa meninggalkan satu waktu pun. Mereka mendapat perlindungan dan bimbingan dari Allah ke arah kebaikan.

Surah Al-Ma’arij Ayat 23
ٱلَّذِينَ هُمۡ عَلَىٰ صَلَاتِهِمۡ دَآئِمُونَ

Terjemhan: “yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya,

Tafsir Jalalain: ٱلَّذِينَ هُمۡ عَلَىٰ صَلَاتِهِمۡ دَآئِمُون (Yang mereka itu tetap mengerjakan salatnya) terus-menerus mengerjakannya.

Tafsir Ibnu Katsir: ٱلَّذِينَ هُمۡ عَلَىٰ صَلَاتِهِمۡ دَآئِمُون (“Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya.”) ada yang berpendapat, maknanya adalah mereka senantiasa memelihara waktu dan berbagai kewajiban shalat. Demikian yang dikemukakan oleh Ibnu Mas’ud, Masruq dan Ibrahim an-Nakha-i. Dan ada juga yang menyatakan, yang dimaksud dengan daa-imuun di sini berarti tenang dan khusyu’. Dan itu seperti firman Allah yang artinya:

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, [yaitu] orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” (al-Mu’minuun: 1-2). Demikian yang dikemukakan oleh ‘Uqbah bin ‘Amir.

Tafsir Kemenag: Demikian sifat-sifat manusia pada umumnya, kecuali orang-orang yang mengerjakan salat. Salat merupakan rukun Islam kedua; tanda yang membedakan antara orang yang beriman dengan orang kafir. Jika seseorang salat, berarti ia mempunyai hubungan dengan Tuhannya. Dia akan selalu teringat kepada Tuhannya. Sebaliknya jika ia tidak salat, ia akan lupa kepada Tuhannya sehingga hubungannya terputus. Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakanlah salat untuk mengingat Aku. (Thaha/20: 14)

Jika orang benar-benar khusyuk dalam salatnya, berarti hati dan pikirannya tertuju kepada Allah semata. Dia merasa berhadapan langsung dengan Allah dalam salatnya. Timbul dalam hatinya takut karena dosa-dosa yang telah diperbuatnya di samping penuh harap akan limpahan pahala, rahmat, dan karunia-Nya.

Oleh karena itu, ia berjanji dalam hatinya akan menjauhi dan menghentikan larangan-larangan-Nya. Hatinya pasrah dan tenteram menyerahkan diri kepada-Nya.

Orang yang salat secara demikian, akan terhindar dari perbuatan keji dan perbuatan mungkar. Bacalah Kitab (Al-Qur?an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain).

Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-?Ankab?t/29: 45) Dalam ayat ini disebutkan salat dalam arti yang umum, termasuk di dalamnya salat wajib yang lima waktu dan salat-salat sunah. Hal ini berarti bahwa semua salat yang diperintahkan Allah untuk dikerjakan dapat menghilangkan kegelisahan, menenteramkan hati, dan menambah kekuatan iman orang yang mengerjakannya. Sekalipun demikian, tentu salat yang paling diutamakan mengerjakannya ialah salat yang lima waktu.

Kemudian diteruskan bahwa salat itu selalu dikerjakan pada setiap waktu yang ditentukan, terus-menerus, tidak ada yang luput dikerjakan walaupun satu salat. Inilah syarat mengerjakan salat yang dapat menghilangkan kegelisahan hati dan kekikiran.

Tafsir Quraish Shihab: Sesungguhnya manusia itu bersifat hala’: sangat gelisah dan marah bila ditimpa kesusahan dan sangat kikir bila mendapat kebaikan dan kemudahan. Kecuali, pertama, orang-orang yang senantiasa mengerjakan salat dan tetap melakukannya tanpa meninggalkan satu waktu pun. Mereka mendapat perlindungan dan bimbingan dari Allah ke arah kebaikan.

Surah Al-Ma’arij Ayat 24
وَٱلَّذِينَ فِىٓ أَمۡوَٰلِهِمۡ حَقٌّ مَّعۡلُومٌ

Terjemahan: “dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu,

Tafsir Jalalain: وَٱلَّذِينَ فِىٓ أَمۡوَٰلِهِمۡ حَقٌّ مَّعۡلُومٌ (Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu) yakni zakat.

Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah: وَٱلَّذِينَ فِىٓ أَمۡوَٰلِهِمۡ حَقٌّ مَّعۡلُومٌ (“Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang [miskin] yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa.”) yakni pada harta mereka terdapat bagian yang telah ditetapkan bagi orang-orang yang membutuhkan. Dan pembahasan dalam masalah ini telah diberikan dalam surah adz-Dzaariyaat.

Tafsir Kemenag: Di samping mengerjakan salat untuk mengingat dan menghambakan diri kepada Allah, manusia diperintahkan agar selalu meneliti harta yang telah dianugerahkan Allah kepadanya; apakah dalam harta itu telah atau belum ada hak orang miskin yang meminta-minta, dan orang miskin yang tidak mempunyai sesuatu apa pun. Jika ada hak mereka, ia segera mengeluarkannya karena dia percaya bahwa selama ada hak orang lain dalam hartanya itu, berarti hartanya belum suci.

Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. (at-Taubah/9: 103) Dari perkataan ?aqq ma?l?m (bagian tertentu) dipahami bahwa yang dimaksud dalam ayat ini ialah sedekah wajib, yaitu zakat. Hal ini diperkuat dengan penyebutannya dalam ayat ini diiringi dengan penyebutan salat.

Di dalam Al-Qur?an terdapat dua puluh tujuh tempat yang menyebutkan secara beriringan perintah mengerjakan salat dengan perintah mengerjakan zakat. Hal ini menunjukkan bahwa keduanya mempunyai hubungan yang erat.

Dengan salat, seorang dapat menyucikan dirinya dari segala perbuatan syirik dan terlarang, serta menyerahkan dan menghambakan diri hanya kepada Allah. Sedangkan dengan zakat, seseorang dapat menyucikan hartanya dari milik orang lain serta menanamkan keyakinan dalam dirinya bahwa harta yang dikaruniakan Allah itu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk jalan yang diridai-Nya.

Harta itu hanya sebagai alat untuk mencari keridaan-Nya, bukan sebagai tujuan hidup. Dengan perkataan lain bahwa zakat adalah hasil dan perwujudan dari berhasilnya salat yang dikerjakan seseorang.

Tafsir Quraish Shihab: Kedua, orang-orang yang dalam hartanya terdapat bagian tertentu untuk orang yang meminta, dan orang yang menjaga kehormatan dirinya dari meminta-minta meskipun sebenarnya membutuhkan.

Surah Al-Ma’arij Ayat 25
لِّلسَّآئِلِ وَٱلۡمَحۡرُومِ

Terjemahan:”bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta),

Tafsir Jalalain: لِّلسَّآئِلِ وَٱلۡمَحۡرُومِ (Bagi orang miskin yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa) yang tidak mau meminta-minta, demi memelihara kehormatannya sekalipun ia tidak punya.

Tafsir Ibnu Katsir: “bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta),

Tafsir Kemenag: Di samping mengerjakan salat untuk mengingat dan menghambakan diri kepada Allah, manusia diperintahkan agar selalu meneliti harta yang telah dianugerahkan Allah kepadanya; apakah dalam harta itu telah atau belum ada hak orang miskin yang meminta-minta, dan orang miskin yang tidak mempunyai sesuatu apa pun.

Jika ada hak mereka, ia segera mengeluarkannya karena dia percaya bahwa selama ada hak orang lain dalam hartanya itu, berarti hartanya belum suci. Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. (at-Taubah/9: 103) Dari perkataan ?aqq ma?l?m (bagian tertentu) dipahami bahwa yang dimaksud dalam ayat ini ialah sedekah wajib, yaitu zakat. Hal ini diperkuat dengan penyebutannya dalam ayat ini diiringi dengan penyebutan salat.

Di dalam Al-Qur?an terdapat dua puluh tujuh tempat yang menyebutkan secara beriringan perintah mengerjakan salat dengan perintah mengerjakan zakat. Hal ini menunjukkan bahwa keduanya mempunyai hubungan yang erat.

Dengan salat, seorang dapat menyucikan dirinya dari segala perbuatan syirik dan terlarang, serta menyerahkan dan menghambakan diri hanya kepada Allah. Sedangkan dengan zakat, seseorang dapat menyucikan hartanya dari milik orang lain serta menanamkan keyakinan dalam dirinya bahwa harta yang dikaruniakan Allah itu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk jalan yang diridai-Nya.

Harta itu hanya sebagai alat untuk mencari keridaan-Nya, bukan sebagai tujuan hidup. Dengan perkataan lain bahwa zakat adalah hasil dan perwujudan dari berhasilnya salat yang dikerjakan seseorang.

Tafsir Quraish Shihab: Kedua, orang-orang yang dalam hartanya terdapat bagian tertentu untuk orang yang meminta, dan orang yang menjaga kehormatan dirinya dari meminta-minta meskipun sebenarnya membutuhkan.

Surah Al-Ma’arij Ayat 26
وَٱلَّذِينَ يُصَدِّقُونَ بِيَوۡمِ ٱلدِّينِ

Terjemahan: “dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan,

Tafsir Jalalain: وَٱلَّذِينَ يُصَدِّقُونَ بِيَوۡمِ ٱلدِّينِ “dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan,

Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah lebih lanjut: وَٱلَّذِينَ يُصَدِّقُونَ بِيَوۡمِ ٱلدِّينِ (“Dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan.”) yakni meyakini hari kebangkitan, hisab, dan pembalasan. Mereka mengerjakan amal orang-orang yang mengharapkan pahala dan takut akan hukuman.

Tafsir Kemenag: Orang yang tidak suka berkeluh kesah adalah orang yang menjalankan salat dan menunaikan zakat. Merekalah yang percaya adanya hari kiamat, adanya hidup setelah mati, dan waktu ditimbang semua amal perbuatan yang telah dikerjakan selama hidup di dunia.

Amal baik dibalas dengan surga, sedangkan perbuatan jahat, yang tidak diridai Allah akan dibalas dengan neraka. Orang yang percaya akan adanya hari akhirat sangat yakin bahwa mereka pada hari itu akan mendapat pahala iman dan amal yang telah mereka lakukan selama hidup di dunia.

Mereka percaya bahwa hidup di akhiratlah hidup yang sebenarnya; sedangkan hidup di dunia hanyalah hidup sementara, untuk mempersiapkan diri bagi hidup di akhirat itu. Oleh karena itu, segala macam cobaan yang datang kepada mereka selama di dunia, dihadapi dengan tabah dan sabar. Mereka tidak pernah berkeluh-kesah, bagaimana pun cobaan yang diderita. Mereka tidak pula akan kikir untuk menolong sesamanya yang hidup dalam kepapaan dan penderitaan.

Baca Juga:  Surah Yusuf Ayat 19-20; Terjemahan dan Tafsir Al Qur'an

Telah menjadi dasar bagi kebahagiaan hidup manusia ialah bahwa usahanya menghindarkan diri dari bahaya dan kemudaratan selalu lebih besar dan lebih didahulukan daripada usahanya untuk memperoleh kebahagiaan dan kemanfaatan.

Akan tetapi, manusia dalam kehidupannya sehari-hari kadang-kadang lupa atau lalai terhadap dasar ini. Dia kadang-kadang cepat terpukau oleh sesuatu yang kelihatannya akan mendatangkan kebaikan atau memberi manfaat baginya.

Maka dikerjakanlah sesuatu itu dengan tidak memperhitungkan atau mempertimbangkan kemudaratan yang akan ditimbulkannya. Akibatnya ia menderita dan sengsara. Itulah hukuman dan azab dari Tuhan atas kelalaian itu. Ada kaidah Usul Fikih yang berbunyi: Menolak kemudaratan itu didahulukan daripada mengambil maslahat.

Tafsir Quraish Shihab: Ketiga, orang-orang yang mempercayai hari pembalasan lalu bersiap-siap dengan bekal untuk menghadapinya dan orang-orang yang takut kepada azab Tuhan mereka lalu bertakwa dan menjauhi hal-hal yang menyebabkan datangnya azab. Sesungguhnya tidak seorang pun yang dapat merasa aman dari kedatangan siksa Tuhan mereka.

Surah Al-Ma’arij Ayat 27
وَٱلَّذِينَ هُم مِّنۡ عَذَابِ رَبِّهِم مُّشۡفِقُونَ

Terjemahan: “dan orang-orang yang takut terhadap azab Tuhannya.

Tafsir Jalalain: وَٱلَّذِينَ هُم مِّنۡ عَذَابِ رَبِّهِم مُّشۡفِقُونَ (Dan orang-orang yang takut terhadap azab Rabbnya) mereka takut akan azab-Nya.

Tafsir Ibnu Katsir: Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman: وَٱلَّذِينَ هُم مِّنۡ عَذَابِ رَبِّهِم مُّشۡفِقُونَ (“Dan orang-orang yang takut terhadap adzab Rabb-nya.”) yakni mereka takut dan khawatir.

Tafsir Kemenag: Orang yang tidak suka berkeluh kesah adalah orang yang menjalankan salat dan menunaikan zakat. Merekalah yang percaya adanya hari kiamat, adanya hidup setelah mati, dan waktu ditimbang semua amal perbuatan yang telah dikerjakan selama hidup di dunia. Amal baik dibalas dengan surga, sedangkan perbuatan jahat, yang tidak diridai Allah akan dibalas dengan neraka.

Orang yang percaya akan adanya hari akhirat sangat yakin bahwa mereka pada hari itu akan mendapat pahala iman dan amal yang telah mereka lakukan selama hidup di dunia. Mereka percaya bahwa hidup di akhiratlah hidup yang sebenarnya; sedangkan hidup di dunia hanyalah hidup sementara, untuk mempersiapkan diri bagi hidup di akhirat itu.

Oleh karena itu, segala macam cobaan yang datang kepada mereka selama di dunia, dihadapi dengan tabah dan sabar. Mereka tidak pernah berkeluh-kesah, bagaimana pun cobaan yang diderita. Mereka tidak pula akan kikir untuk menolong sesamanya yang hidup dalam kepapaan dan penderitaan.

Telah menjadi dasar bagi kebahagiaan hidup manusia ialah bahwa usahanya menghindarkan diri dari bahaya dan kemudaratan selalu lebih besar dan lebih didahulukan daripada usahanya untuk memperoleh kebahagiaan dan kemanfaatan.

Akan tetapi, manusia dalam kehidupannya sehari-hari kadang-kadang lupa atau lalai terhadap dasar ini. Dia kadang-kadang cepat terpukau oleh sesuatu yang kelihatannya akan mendatangkan kebaikan atau memberi manfaat baginya.

Maka dikerjakanlah sesuatu itu dengan tidak memperhitungkan atau mempertimbangkan kemudaratan yang akan ditimbulkannya. Akibatnya ia menderita dan sengsara. Itulah hukuman dan azab dari Tuhan atas kelalaian itu. Ada kaidah Usul Fikih yang berbunyi: Menolak kemudaratan itu didahulukan daripada mengambil maslahat.

Tafsir Quraish Shihab: Ketiga, orang-orang yang mempercayai hari pembalasan lalu bersiap-siap dengan bekal untuk menghadapinya dan orang-orang yang takut kepada azab Tuhan mereka lalu bertakwa dan menjauhi hal-hal yang menyebabkan datangnya azab. Sesungguhnya tidak seorang pun yang dapat merasa aman dari kedatangan siksa Tuhan mereka.

Surah Al-Ma’arij Ayat 28
إِنَّ عَذَابَ رَبِّهِمۡ غَيۡرُ مَأۡمُونٍ

Terjemahan: “Karena sesungguhnya azab Tuhan mereka tidak dapat orang merasa aman (dari kedatangannya).

Tafsir Jalalain: إِنَّ عَذَابَ رَبِّهِمۡ غَيۡرُ مَأۡمُونٍ (Karena sesungguhnya azab Rabb mereka tidak dapat orang merasa aman) dari kedatangannya.

Tafsir Ibnu Katsir: إِنَّ عَذَابَ رَبِّهِمۡ غَيۡرُ مَأۡمُونٍ (“Karena sesungguhnya adzab Rabb mereka tidak dapat orang merasa aman.”) yakni, tidak ada seorang pun dari orang-orang yang memahami perintah Allah yang merasa aman dari siksa itu kecuali yang mendapatkan pemahaman dari Allah Tabaaraka wa ta’ala.

Tafsir Kemenag: Tidak satu pun di antara manusia yang merasa dirinya aman dari kedatangan azab Tuhannya. Oleh karena itu, ia berusaha agar dia terjauh dari azab itu dengan bertakwa kepada-Nya. Azab Tuhan hanya akan ditimpakan kepada orang yang tidak bertakwa kepada-Nya.

Semua orang yang beriman dengan sebenar-benarnya, mendirikan salat wajib, menunaikan zakat, dan percaya kepada adanya hari akhirat, hari dilaksanakan keadilan yang sesungguhnya, akan tenteram hatinya dan tidak merasa khawatir akan kedatangan azab Allah, sekalipun mereka belum dapat memastikan apakah mereka termasuk penghuni surga atau penghuni neraka. Yang menenteramkan hati orang yang beriman itu ialah iman dan amal saleh yang telah dikerjakan. Firman Allah:

Barang siapa beriman kepada Allah, kepada hari kemudian, dan berbuat kebajikan, maka tidak ada rasa khawatir padanya dan mereka tidak bersedih hati. (al-Ma’idah/5: 69) Dan firman-Nya: Tidak! Barang siapa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. (al-Baqarah/2: 112)

Tafsir Quraish Shihab: Ketiga, orang-orang yang mempercayai hari pembalasan lalu bersiap-siap dengan bekal untuk menghadapinya dan orang-orang yang takut kepada azab Tuhan mereka lalu bertakwa dan menjauhi hal-hal yang menyebabkan datangnya azab. Sesungguhnya tidak seorang pun yang dapat merasa aman dari kedatangan siksa Tuhan mereka.

Surah Al-Ma’arij Ayat 29
وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِفُرُوجِهِمۡ حَٰفِظُونَ

Terjemahan: “Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya,

Tafsir Jalalain: وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِفُرُوجِهِمۡ حَٰفِظُونَ (Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya.).

Tafsir Ibnu Katsir: firman Allah: وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِفُرُوجِهِمۡ حَٰفِظُونَ (“dan orang-orang yang memelihara kemaluannya.”) yakni menjaganya dari hal-hal yang haram dan menghindarkan untuk meletakkannya tidak pada apa yang diizinkan oleh Allah Ta’ala.

Tafsir Kemenag: Dalam dua ayat ini diterangkan sifat manusia yang hatinya tenteram, tidak berkeluh kesah dan tidak kikir, yaitu orang yang menjaga kehormatannya dan tidak melakukan perbuatan zina. Mereka hanya melakukan apa yang telah dihalalkan, hanya menggauli istri-istri mereka atau dengan budak-budak perempuan yang telah mereka miliki.

Perkataan fa innahum gairu mal?m?n (maka sesungguhnya mereka tidak tercela) memberi pengertian bahwa hak mencampuri istri atau budak-budak yang dimiliki, bukanlah hak tanpa batas, melainkan harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan agama.

Menurut agama Islam, hubungan suami istri adalah hubungan yang suci, hubungan yang diridai Allah, hubungan cinta kasih, hubungan yang dilatarbelakangi oleh keinginan mengikuti sunah Rasulullah, dan ingin memperoleh keturunan. Hubungan suami-istri mempunyai unsur-unsur ibadah. Hubungan ini dilukiskan dalam firman Allah:

Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. (Al-Baqarah/2: 187) Rasulullah saw bersabda: Dari ?Abdullah bin ?Amr bahwa Rasulullah saw bersabda, ?Dunia itu adalah sesuatu yang menyenangkan, sebaik-baik harta benda kehidupan dunia itu ialah istri yang saleh.? (Riwayat Muslim)

Ayat ini memberikan petunjuk kepada suami-istri bahwa dalam melakukan hubungan dengan istri atau suami, tuan dengan budak perempuan, hendaklah dilakukan sedemikian rupa, sehingga dalam hubungan itu terdapat unsur-unsur ibadah, akhlak yang mulia, tata cara yang baik, dan sebagainya, sehingga dapat menjaga kemuliaan dan martabatnya sebagai seorang muslim.

Tidak sekadar memenuhi hawa nafsu, keperluan biologis, atau seperti yang dilakukan oleh binatang, melainkan untuk tujuan yang agung. Surah Al-Ma?arij ini Makkiyyah, jadi waktu itu belum ada ketentuan pernikahan seperti yang kemudian diatur dalam Surah an-Nisa?/4: 24-25.

Kata-kata au ma malakat aimanuhum yang terdapat dalam beberapa surah, sering diterjemahkan ?atau budak-budak perempuan yang mereka miliki? Ayat ini memerlukan penjelasan, seperti dikemukakan oleh beberapa mufasir secara lebih mendalam, bahwa ma malakat aimanuhum ialah perempuan yang sudah bercerai dengan suaminya, yang sekarang menjadi miliknya (biasanya dari tawanan perang), dan harus dalam arti tawanan dalam perang jihad, di bawah perintah imam yang saleh dan adil dalam menghadapi lawan yang hendak menindas orang beriman.

Tawanan perempuan itu boleh digauli, tetapi harus dengan dinikahi terlebih dulu, dan perkawinan itu bukan karena didorong oleh nafsu, melainkan untuk memelihara kesucian pihak perempuan, yang dalam hal ini berarti pihak suami menghindari perbuatan zina dan sekaligus mengangkat martabat perempuan dari status budak bekas tawanan perang (yang memang sudah berlaku umum waktu itu) menjadi perempuan mereka, tidak lagi berstatus budak.

Kebiasaan tawanan perang semacam ini sekarang sudah tidak berlaku lagi Jika seorang muslim telah dapat melakukan hubungan dengan istrinya atau dengan budaknya sesuai dengan tuntutan agama Islam, berarti ia telah dapat menguasai puncak hawa nafsunya, karena puncak hawa nafsu itu terletak dalam hubungan seperti antara laki-laki dan wanita. Jika mereka telah dapat melakukan yang demikian, maka mereka akan lebih dapat melakukan hal-hal yang lain yang lebih rendah tingkatnya.

Tafsir Quraish Shihab: Keempat, orang-orang yang menjaga kemaluannya sehingga tidak dikalahkan oleh nafsu syahwat mereka. Tetapi terhadap istri-istri dan budak-budak yang mereka miliki mereka tidak menjaganya. Sebab tidak ada cela bagi mereka untuk menyalurkan nafsu syahwat kepada mereka. Maka, barangsiapa mencari kesenangan kepada selain istri dan budak, sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang melampaui batas halal menuju yang haram.

Surah Al-Ma’arij Ayat 30
إِلَّا عَلَىٰٓ أَزۡوَٰجِهِمۡ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُمۡ فَإِنَّهُمۡ غَيۡرُ مَلُومِينَ

Terjemahan: “kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.

Tafsir Jalalain: إِلَّا عَلَىٰٓ أَزۡوَٰجِهِمۡ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُمۡ فَإِنَّهُمۡ غَيۡرُ مَلُومِينَ (Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki) yakni budak-budak perempuan (maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela.).

Tafsir Ibnu Katsir: Oleh karena itu Allah berfirman: إِلَّا عَلَىٰٓ أَزۡوَٰجِهِمۡ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُمۡ فَإِنَّهُمۡ غَيۡرُ مَلُومِينَ ( “kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.)

Tafsir Kemenag: Dalam dua ayat ini diterangkan sifat manusia yang hatinya tenteram, tidak berkeluh kesah dan tidak kikir, yaitu orang yang menjaga kehormatannya dan tidak melakukan perbuatan zina. Mereka hanya melakukan apa yang telah dihalalkan, hanya menggauli istri-istri mereka atau dengan budak-budak perempuan yang telah mereka miliki.

Perkataan fa innahum gairu mal?m?n (maka sesungguhnya mereka tidak tercela) memberi pengertian bahwa hak mencampuri istri atau budak-budak yang dimiliki, bukanlah hak tanpa batas, melainkan harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan agama.

Menurut agama Islam, hubungan suami istri adalah hubungan yang suci, hubungan yang diridai Allah, hubungan cinta kasih, hubungan yang dilatarbelakangi oleh keinginan mengikuti sunah Rasulullah, dan ingin memperoleh keturunan. Hubungan suami-istri mempunyai unsur-unsur ibadah. Hubungan ini dilukiskan dalam firman Allah:

Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. (Al-Baqarah/2: 187) Rasulullah saw bersabda: Dari ?Abdullah bin ?Amr bahwa Rasulullah saw bersabda, ?Dunia itu adalah sesuatu yang menyenangkan, sebaik-baik harta benda kehidupan dunia itu ialah istri yang saleh.? (Riwayat Muslim)

Baca Juga:  Surah As-Saffat Ayat 50-61; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Ayat ini memberikan petunjuk kepada suami-istri bahwa dalam melakukan hubungan dengan istri atau suami, tuan dengan budak perempuan, hendaklah dilakukan sedemikian rupa, sehingga dalam hubungan itu terdapat unsur-unsur ibadah, akhlak yang mulia, tata cara yang baik, dan sebagainya, sehingga dapat menjaga kemuliaan dan martabatnya sebagai seorang muslim.

Tidak sekadar memenuhi hawa nafsu, keperluan biologis, atau seperti yang dilakukan oleh binatang, melainkan untuk tujuan yang agung. Surah Al-Ma?arij ini Makkiyyah, jadi waktu itu belum ada ketentuan pernikahan seperti yang kemudian diatur dalam Surah an-Nisa?/4: 24-25.

Kata-kata au ma malakat aimanuhum yang terdapat dalam beberapa surah, sering diterjemahkan ?atau budak-budak perempuan yang mereka miliki? Ayat ini memerlukan penjelasan, seperti dikemukakan oleh beberapa mufasir secara lebih mendalam, bahwa ma malakat aimanuhum ialah perempuan yang sudah bercerai dengan suaminya, yang sekarang menjadi miliknya (biasanya dari tawanan perang), dan harus dalam arti tawanan dalam perang jihad, di bawah perintah imam yang saleh dan adil dalam menghadapi lawan yang hendak menindas orang beriman.

Tawanan perempuan itu boleh digauli, tetapi harus dengan dinikahi terlebih dulu, dan perkawinan itu bukan karena didorong oleh nafsu, melainkan untuk memelihara kesucian pihak perempuan, yang dalam hal ini berarti pihak suami menghindari perbuatan zina dan sekaligus mengangkat martabat perempuan dari status budak bekas tawanan perang (yang memang sudah berlaku umum waktu itu) menjadi perempuan mereka, tidak lagi berstatus budak.

Kebiasaan tawanan perang semacam ini sekarang sudah tidak berlaku lagi Jika seorang muslim telah dapat melakukan hubungan dengan istrinya atau dengan budaknya sesuai dengan tuntutan agama Islam, berarti ia telah dapat menguasai puncak hawa nafsunya, karena puncak hawa nafsu itu terletak dalam hubungan seperti antara laki-laki dan wanita. Jika mereka telah dapat melakukan yang demikian, maka mereka akan lebih dapat melakukan hal-hal yang lain yang lebih rendah tingkatnya.

Tafsir Quraish Shihab: Keempat, orang-orang yang menjaga kemaluannya sehingga tidak dikalahkan oleh nafsu syahwat mereka. Tetapi terhadap istri-istri dan budak-budak yang mereka miliki mereka tidak menjaganya. Sebab tidak ada cela bagi mereka untuk menyalurkan nafsu syahwat kepada mereka. Maka, barangsiapa mencari kesenangan kepada selain istri dan budak, sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang melampaui batas halal menuju yang haram.

Surah Al-Ma’arij Ayat 31
فَمَنِ ٱبۡتَغَىٰ وَرَآءَ ذَٰلِكَ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡعَادُونَ

Terjemahan: “Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.

Tafsir Jalalain: فَمَنِ ٱبۡتَغَىٰ وَرَآءَ ذَٰلِكَ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡعَادُونَ (Barang siapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas) melanggar batas kehalalan menuju kepada keharaman.

Tafsir Ibnu Katsir: فَمَنِ ٱبۡتَغَىٰ وَرَآءَ ذَٰلِكَ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡعَادُونَ (“Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. Barangsiapa mencari di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.”) penafsiran ayat ini telah diberikan di awal surah al-Mu’minuun, sehingga tidak perlu diulang kembali di sini.

Tafsir Kemenag: Barang siapa yang berbuat di luar ketentuan-ketentuan tersebut, misalnya berzina, melakukan homoseksual atau lesbian, mereka adalah orang-orang yang melampaui batas. Dalam ayat yang sebelum ini, diterangkan bahwa di antara syarat menghilangkan suka berkeluh kesah dan sifat kikir ialah menjaga kehormatan dan kemuliaan diri, yaitu hanya dengan mencampuri istri atau budak yang dimiliki.

Selain dari itu, dengan menjauhi perbuatan-perbuatan yang dapat mendorong atau mempercepat orang melakukan perbuatan yang terlarang itu, seperti pergaulan bebas antara laki-laki dan wanita, dan sebagainya. Oleh karena itu, Allah menegaskan dalam firman-Nya:

Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu, lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. (an-N?r/24: 30)

Dalam ayat ini dapat dipahami bahwa Allah memerintahkan agar kaum Muslimin memelihara pandangannya adalah untuk menjaga diri dari perbuatan zina.

Tafsir Quraish Shihab: Keempat, orang-orang yang menjaga kemaluannya sehingga tidak dikalahkan oleh nafsu syahwat mereka. Tetapi terhadap istri-istri dan budak-budak yang mereka miliki mereka tidak menjaganya. Sebab tidak ada cela bagi mereka untuk menyalurkan nafsu syahwat kepada mereka. Maka, barangsiapa mencari kesenangan kepada selain istri dan budak, sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang melampaui batas halal menuju yang haram.

Surah Al-Ma’arij Ayat 32
وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِأَمَٰنَٰتِهِمۡ وَعَهۡدِهِمۡ رَٰعُونَ

Terjemahan: “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.

Tafsir Jalalain: وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِأَمَٰنَٰتِهِمۡ (Dan orang-orang yang terhadap amanat-amanat mereka) menurut suatu qiraat lafal amaanaatihim dibaca dalam bentuk mufrad atau tunggal, sehingga bacaannya menjadi amaanatihim, yakni perkara agama dan duniawi yang dipercayakan kepadanya untuk menunaikannya وَعَهۡدِهِمۡ (dan janji mereka) yang telah diambil dari mereka dalam hal tersebut رَٰعُونَ (mereka memeliharanya) benar-benar menjaganya.

Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah: وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِأَمَٰنَٰتِهِمۡ وَعَهۡدِهِمۡ رَٰعُونَ (“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat [yang dipikulnya] dan janjinya.”) maksudnya, jika mereka dipercaya maka mereka akan berkhianat. Jika berjanji, mereka tidak pernah mengingkari. Dan inilah sifat orang-orang mukmin, sedangkan kebalikannya adalah sifat orang-orang munafik.

Tafsir Kemenag: Dalam ayat ini, Allah menerangkan syarat-syarat lain yang dapat menghilangkan sifat suka berkeluh-kesah dan kikir, yaitu memelihara amanat yang dipercayakan kepadanya, baik berupa amanat Allah, seperti wajib beriman, mengerjakan salat, menunaikan zakat, mengerjakan haji, berjihad, dan sebagainya, maupun amanat manusia terhadap dirinya, seperti memelihara kemaluan, memenuhi janji, dan sebagainya.

Amanat ialah suatu perjanjian untuk memelihara sesuatu yang dilakukan oleh hamba kepada Tuhannya, dirinya sendiri, dan orang lain. Sanggup memelihara amanat termasuk salah satu dari sifat orang muslim, dan sifat ini pulalah yang membedakan orang mukmin dari orang munafik.

Nabi Muhammad bersabda: Nabi Muhammad bersabda, ?Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga, yaitu: apabila ia berkata, ia berdusta, apabila ia berjanji, ia ingkar (menyalahinya), dan apabila ia diberi amanat, ia berkhianat.? (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Tafsir Quraish Shihab: Keenam, orang-orang yang memelihara amanat Tuhan, amanat manusia dan tidak mengkhianati komitmen mereka kepada Tuhan dan manusia. Ketujuh, orang-orang yang melaksanakan persaksian dengan benar tanpa menyembunyikan sesuatu yang diketahuinya. Dan, kedelapan, orang-orang yang memelihara salat mereka dengan melaksanakannya sebaik mungkin.

Surah Al-Ma’arij Ayat 33
وَٱلَّذِينَ هُم بِشَهَٰدَٰتِهِمۡ قَآئِمُونَ

Terjemahan: “Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya.

Tafsir Jalalain: وَٱلَّذِينَ هُم بِشَهَٰدَٰتِهِمۡ (Dan orang-orang yang terhadap kesaksiannya) menurut suatu qiraat dibaca dalam bentuk jamak, sehingga bacaannya menjadi syahaadaatihim قَآئِمُونَ (mereka menunaikannya) mereka menegakkannya dan tidak menyembunyikannya.

Tafsir Ibnu Katsir: وَٱلَّذِينَ هُم بِشَهَٰدَٰتِهِمۡ قَآئِمُونَ (“Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya.”) yakni orang-orang yang senantiasa menjaga kesaksiannya, tidak memberikan tambahan atau pengurangan padanya serta tidak pula menyembunyikannya

Tafsir Kemenag: Maksud kalimat ?orang yang berpegang teguh dengan kesaksiannya? yang terdapat dalam ayat ini ialah orang yang mau melaksanakan kesaksian bila diperlukan dan bila menjadi saksi, ia melakukannya dengan benar, tidak berbohong, tidak mengubah atau menyembunyikan sesuatu dalam kesaksiannya itu. Firman Allah:

Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena barang siapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (al-Baqarah/2: 283)

Manusia juga diperintahkan untuk melaksanakan kesaksian guna menegakkan keadilan dengan tujuan mencari keridaan Allah, bukan untuk suatu maksud yang berlawanan dengan ajaran-Nya. Persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. (Al-Alaq/65: 2).

Tafsir Quraish Shihab: Keenam, orang-orang yang memelihara amanat Tuhan, amanat manusia dan tidak mengkhianati komitmen mereka kepada Tuhan dan manusia. Ketujuh, orang-orang yang melaksanakan persaksian dengan benar tanpa menyembunyikan sesuatu yang diketahuinya. Dan, kedelapan, orang-orang yang memelihara salat mereka dengan melaksanakannya sebaik mungkin.

Surah Al-Ma’arij Ayat 34
وَٱلَّذِينَ هُمۡ عَلَىٰ صَلَاتِهِمۡ يُحَافِظُونَ

Terjemahan: “Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.

Tafsir Jalalain: وَٱلَّذِينَ هُمۡ عَلَىٰ صَلَاتِهِمۡ يُحَافِظُونَ (Dan orang-orang yang memelihara salatnya) yaitu dengan mengerjakan pada waktunya.

Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah: وَٱلَّذِينَ هُمۡ عَلَىٰ صَلَاتِهِمۡ يُحَافِظُونَ (“Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.”) yakni selalu memelihara waktu, rukun, hal-hal wajib shalat, dan sunnah-sunnahnya. Dimana Dia mengawali firman-Nya dengan menyebut shalat dan mengakhirinya dengan uraian tentang shalat juga. Dan ini menunjukkan perhatian terhadap shalat serta isyarat akan kemuliaannya, sebagaimana yang telah dikemukakan di awal surah al-Mu’minuun.

Tafsir Kemenag: Selain yang telah disebutkan di atas, masih ada satu hal lagi yang dapat menghilangkan sifat suka berkeluh kesah dan sifat kikir, yaitu selalu memelihara salat. Pengertian memelihara salat dalam ayat ini ialah:

1. Berusaha melengkapi syarat-syarat salat dengan baik dan sempurna, seperti meneliti pakaian yang dipakai sehingga tidak terdapat najis, berwudu dengan baik, dan mengenyampingkan segala sesuatu yang dapat menghilangkan atau mengurangi kekhusyukan.

2. Berusaha melaksanakan semua rukun salat dengan baik dan sempurna. 3. Berusaha khusyuk. 4. Berusaha melaksanakan salat wajib yang lima waktu. 5. Berusaha melaksanakan salat pada awal waktunya.

Tafsir Quraish Shihab: Keenam, orang-orang yang memelihara amanat Tuhan, amanat manusia dan tidak mengkhianati komitmen mereka kepada Tuhan dan manusia. Ketujuh, orang-orang yang melaksanakan persaksian dengan benar tanpa menyembunyikan sesuatu yang diketahuinya. Dan, kedelapan, orang-orang yang memelihara salat mereka dengan melaksanakannya sebaik mungkin.

Surah Al-Ma’arij Ayat 35
أُوْلَٰٓئِكَ فِى جَنَّٰتٍ مُّكۡرَمُونَ

Terjemahan: “Mereka itu (kekal) di surga lagi dimuliakan.

Tafsir Jalalain: أُوْلَٰٓئِكَ فِى جَنَّٰتٍ مُّكۡرَمُونَ (Mereka itu dimasukkan ke dalam surga lagi dimuliakan.).

Tafsir Ibnu Katsir: Oleh karena itu dalam surah tersebut Allah berfirman yang artinya: “Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, [yaitu] yang akan mewarisi surga firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” (al-Mu’minuun: 10-11). Sedangkan di dalam surah ini, Dia berfirman: أُوْلَٰٓئِكَ فِى جَنَّٰتٍ مُّكۡرَمُونَ (“Mereka itu [kekal] di surga lagi dimuliakan.”) yakni dimuliakan dengan berbagai macam kenikmatan dan kesenangan.

Tafsir Kemenag: Manusia yang mempunyai sifat-sifat di atas akan mendapat balasan surga di akhirat dan orang yang bersifat demikian akan dapat mengikis sifat suka berkeluh kesah dan sifat kikir dari hatinya.

Tafsir Quraish Shihab: Orang-orang yang memiliki sifat-sifat terpuji di atas berada di surga dalam keadaan terhormat dari sisi Allah.

Shadaqallahul ‘adzhim. Alhamdulillah, kita telah pelajari bersama kandungan Surah Al-Ma’arij Ayat 19-35 berdasarkan Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Kemenag dan Tafsir Quraish Shihab. Semoga menambah khazanah ilmu Al-Qur’an kita.

M Resky S