Surah Al-Mu’minun Ayat 51-56; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an

Surah Al-Mu'minun Ayat 51-56

Pecihitam.org – Kandungan Surah Al-Mu’minun Ayat 51-56 ini, Allah menerangkan bahwa orang-orang kafir itu telah ditipu dan diperdayakan oleh harta dan anak-anak mereka padahal harta kekayaan dan anak-anak yang banyak itu bukanlah tanda bahwa Allah meridai mereka. Mereka membangga-banggakan harta dan kekayaan mereka terhadap kaum Muslimin yang di kala itu dalam keadaan serba kekurangan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Mu’minun Ayat 51-56

Surah Al-Mu’minun Ayat 51
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

Terjemahan: Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Tafsir Jalalain: يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ (Hai Rasul-rasul! Makanlah dari makanan yang baik-baik) makanan-makanan yang halal وَاعْمَلُوا صَالِحًا (dan kerjakanlah amal yang saleh) amal-amal yang fardu dan sunah. إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ (Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan) maka kelak Aku akan memperhitungkannya atas kalian.

Tafsir Ibnu Katsir: Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya yang diutus sebagai Rasul untuk memakan makanan yang halal dan mengerjakan amal shalih. Dan hal itu menunjukkan bahwa makanan yang halal itu bisa membantu untuk mengerjakan amal shalih.

Kemudian para Nabi pun melaksanakan perintah tersebut dengan sebaik-baiknya dan menggabungkan setiap kebaikan; baik berupa ucapan, perbuatan, petunjuk, maupun nasihat. Mudah-mudahan Allah membalas mereka dengan kebaikan. Sa’id bin Jubair dan adh-Dhahhak mengemukakan:

كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ (“Makanlah dari makanan yang baik-baik,”) yakni, yang halal. Dan dalam haditsh disebutkan: “Tidak ada seorang Nabi pun melainkan menggembalakan kambing.” Sahabat bertanya: “Termasuk juga engkau, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Ya, dan aku juga menggembalakan kambing dengan upah beberapa dinar milik penduduk Makkah.”

Dalam hadits shahih juga disebutkan: “Sesungguhnya Dawud as. makan dari hasil jerih payah tangannya sendiri.”

Dalam Shahih Muslim dan Jaami’ at-Tirmidzi serta Musnad Imam Ahmad, dan lafazh ini miliknya (Ahmad), dari Abu Hurairah Rasulullah telah bersabda: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik.

Dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin apa yang diperintahkan juga kepada para Rasul, di mana Dia berfirman: ‘Hai para Rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakan amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Mahamengetahui apa yang kamu kerjakan (Al-Mu’minuun).

Dan Dia juga berfirman: Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu. (Al-Baqarah: 172). Kemudian beliau menceritakan seseorang yang melakukan perjalanan jauh dengan rambut kusut penuh debu, makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya pun haram, dan dia memakan makanan haram, dia menengadahkan tangannya ke langit (seraya berkata):

Ya Rabbku, ya Rabbku. Bagaimana mungkin do’anya dikabulkan?” (At-Tirmidzi mengatakan: “Hadits ini hasan gharib, yang kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Fudhail bin Marzuq.”)

Tafsir Kemenag: Allah memerintahkan kepada para nabi supaya memakan rezeki yang halal dan baik yang dikaruniakan Allah kepadanya dan sekali-kali tidak dibolehkan memakan harta yang haram, selalu mengerjakan perbuatan yang baik, dan menjauhi perbuatan yang keji dan mungkar.

Para nabi itulah orang yang pertama yang harus mematuhi perintah Allah, karena mereka akan menjadi teladan bagi umat di mana mereka diutus untuk menyampaikan risalah Tuhannya. Perintah ini walaupun hanya ditunjukkan kepada para nabi, tetapi ia berlaku pula terhadap umat mereka tanpa terkecuali, karena para nabi itu menjadi panutan bagi umatnya kecuali dalam beberapa hal yang dikhususkan untuk para nabi saja, karena tidak sesuai jika diwajibkan pula kepada umatnya.

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: Hai manusia, sesungguhnya Allah Ta’ala adalah baik, Dia tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan kepada orang-orang yang beriman apa yang diperintahkan-Nya kepada Rasul-rasul-Nya.

Maka Rasulullah saw membaca Ayat ini (ya ayyuhar-rusulu kulu minath-thayyibati wa’malu saliha inni bima ta’malu ‘alim, “Wahai para rasul! Makanlah dari (makanan) yang baik-baik, dan kerjakanlah kebajikan. Sungguh, Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.).

Kemudian Rasulullah saw membaca lagi Ayat ya ayyuhalladzina amanu kulu min thayyibati ma razaqnakum?Kemudian Nabi menerangkan keadaan seseorang yang telah melakukan perjalanan panjang (lama), rambutnya tidak teratur dan penuh debu, dan makanannya dari yang haram, minumannya dari yang haram dan pakaiannya dari yang haram pula.

Orang itu berkata sambil menadahkan tangan ke langit, “Ya Tuhanku! Ya Tuhanku! Bagaimana mungkin doanya itu akan terkabul?” (RiwAyat Muslim dan at-Tirmidzi)

Pada Ayat ini Allah mendahulukan perintah memakan makanan yang halal dan baik baru beramal saleh. Hal ini berarti amal yang saleh itu tidak akan diterima oleh Allah kecuali bila orang yang mengerjakannya memakan harta yang halal dan baik dan menjauhi harta yang haram. Menurut riwAyat yang diterima dari Rasulullah, beliau pernah bersabda:

Sesungguhnya Allah tidak menerima ibadah orang yang dalam perutnya terdapat sesuap makanan yang haram. Dan diriwAyatkan dengan sahih pula bahwa Nabi saw bersabda, “Setiap daging yang tumbuh dari makanan yang haram maka neraka lebih berhak membakarnya.” (RiwAyat Muslim dan at-Tirmizi)

Di dalam sebuah hadis yang diriwAyatkan oleh Ibnu Abi hatim dan Ibnu Mardawaih dari Ummi Abdillah saudara perempuan Syaddad bin Aus ra:

Bahwa Ummi Abdillah mengirimkan seteko susu kepada Rasulullah ketika beliau akan berbuka puasa. Susu itu ditolak oleh Rasulullah dan beliau menyuruh pembawa susu itu kembali dan menanyakan kepadanya dari mana susu itu didapatnya.

Ummi Abdillah menjawab, “Itu susu dari kambingku sendiri.” Kemudian susu itu ditolak lagi dan pesuruh Ummi Abdillah disuruh lagi menanyakan dari mana kambing itu didapat. Ummi Abdillah menjawab, ‘ saya beli kambing itu dengan uangku sendiri.”

Kemudian barulah Rasulullah menerima susu itu. Keesokan harinya Ummi Abdillah datang menemui Rasulullah dan bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau selalu menolak susu itu?” Rasulullah menjawab, “Para rasul diperintahkan supaya jangan memakan kecuali yang baik-baik dan jangan berbuat sesuatu kecuali yang baik-baik pula.” (RiwAyat Ibnu Abi hatim dan Ibnu Mardawaih)

Baca Juga:  Surah At-Thur Ayat 29-34; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Demikianlah perintah Allah kepada para Rasul-Nya yang harus dipatuhi oleh umat manusia karena Allah Maha Mengetahui amal perbuatan manusia, tak ada satu pun yang tersembunyi bagi-Nya. Dia akan membalas perbuatan yang baik dengan berlipat ganda dan perbuatan jahat dengan balasan yang setimpal.

Tafsir Quraish Shihab: Kami katakan kepada rasul-rasul Kami untuk disampaikan kepada pengikut-pengikut mereka, “Makanlah dan nikmatilah aneka ragam makanan yang halal dan baik. Syukurilah karunia itu dengan melakukan amal saleh. Sesungguhnya Aku Mahatahu apa yang kalian lakukan dan akan memberi balasannya.

Surah Al-Mu’minun Ayat 52
لوَإِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُونِ

Terjemahan: Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku.

Tafsir Jalalain: وَ (Dan) ketahuilah إِنَّ هَذِهِ (bahwasanya ini) yakni agama Islam أُمَّتُكُمْ (adalah agama kalian) hai orang-orang yang diajak bicara, maksudnya kalian harus memeluknya أُمَّةً وَاحِدَةً (agama yang satu) lafal أُمَّةً وَاحِدَةً ini menjadi Hal yang bersifat Lazimah atau tetap. Menurut suatu qiraat yang lain lafal Anna haadzihi dibaca Takhfif sehingga menjadi An Haadzihi, sedangkan menurut qiraat yang lainnya lagi dibaca Inna Haadzihi, dan dianggap sebagai jumlah Isti’naf atau kalimat baru, sehingga artinya menjadi, sesungguhnya agama Islam ini وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُونِ (dan Aku adalah Rabb kalian, maka bertakwalah kalian kepada-Ku) artinya takutlah kalian kepada-Ku.

Tafsir ibnu katsir: Firman Allah Ta’ala: وَإِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً (“Sesungguhnya [agama tauhid] ini adalah agama kamu semua, agama yang satu.”) Maksudnya, wahai sekalian para Nabi, agama kalian adalah agama yang satu dan juga millah yang satu pula, yakni dakwah untuk beribadah kepada Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya. Oleh karena itu, Dia berfirman: وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُونِ (“Aku adalah Rabbmu, maka bertakwalah kepada-Ku.”) Pembahasan masalah ini telah dikemukakan pada surat al-Anbiyaa’.

Tafsir kemenag: Pada Ayat ini Allah menerangkan agama para rasul itu adalah agama yang satu yaitu agama tauhid yang menyembah Allah yang Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Tidak ada seorang rasul pun yang menyimpang dari prinsip ini. Kalau dalam suatu agama terdapat sedikit saja penyimpang-an dari prinsip ini maka agama itu bukanlah agama yang dibawa oleh seorang rasul, berarti agama itu telah diubah-ubah oleh pengikutnya dan tidak orisinil lagi.

Mustahil Allah Yang Maha Esa memilih dan mengangkat seorang rasul dengan membawa agama yang bertentangan dengan kebenaran dan kemurnian keesaan-Nya. Meskipun syariat dan peraturan-peraturan yang dibawa para nabi dan rasul berbeda-beda sesuai dengan masa dan tempat di mana mereka diutus, tetapi mengenai dasar tauhid tidak ada sedikit pun perbedaan antara mereka.

Oleh sebab itu Allah menegaskan lagi dalam Ayat ini bahwa Dia adalah Tuhan Semesta Alam, hendaknya semua manusia menyembah dan bertakwa hanya kepada-Nya dan sekali-kali jangan menyekutukan-Nya dengan siapa pun dan sesuatu apapun.

Rasulullah saw bersabda, “Kami para nabi adalah (ibarat) saudara-saudara seayah, agama kami adalah satu.” (RiwAyat al-Bukhari, Muslim dan Dawud).

Tafsir Quraish Shihab: Kami katakan kepada rasul-rasul Kami untuk disampaikan kepada pengikut-pengikutnya, “Sesungguhnya agama yang kalian Aku utus untuk membawanya adalah satu, baik akidah, maupun pokok-pokok ajarannya. Kalian pun adalah satu umat sepanjang masa.”
Di antara pengikut-pengikut mereka itu ada yang mendapat petunjuk dan ada juga yang tersesat. Aku adalah Tuhan yang memerintahkan kalian untuk mengikuti agama itu. Maka takutlah siksa-Ku jika kalian mendurhakai-Ku.

Surah Al-Mu’minun Ayat 53
فَتَقَطَّعُوا أَمْرَهُم بَيْنَهُمْ زُبُرًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ

Terjemahan: Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).

Tafsir Jalalain: فَتَقَطَّعُو (Kemudian mereka memecah belah) para pengikut Rasul itu أَمْرَهُ (perkara mereka) yakni agama mereka بَيْنَهُمْ زُبُرًا (menjadi beberapa pecahan di antara mereka) lafal Zuburan ini menjadi Hal dari Fa’ilnya lafal تَقَطَّعُوا, artinya, menjadi sekte-sekte yang bertentangan, seperti yang terjadi di kalangan orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani serta lain-lainnya. كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ (Tiap-tiap golongan terhadap apa yang ada pada sisi mereka) agama yang mereka pegang فَرِحُونَ (merasa bangga) merasa puas dan gembira.

Tafsir Ibnu Katsir: Firman-Nya: فَتَقَطَّعُوا أَمْرَهُم بَيْنَهُمْ زُبُرًا (“Kemudian mereka [pengikut-pengikut Rasul itu] menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan.”) Yakni, umat-umat yang para Nabi diutus kepada mereka: كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ (“Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka [masing-masing].”) Maksudnya, mereka merasa gembira dengan kesesatan yang mereka alami, karena mereka mengira bahwa mereka itu mendapat petunjuk.

Tafsir Kemenag: Pada Ayat ini Allah menerangkan bahwa umat para rasul itu telah menyimpang dari ajaran rasul-rasul mereka sehingga terpecah belah menjadi beberapa golongan. Masing-masing golongan menganggap bahwa golongannyalah yang benar, sedang golongan yang lain adalah salah.

Demikianlah sejarah agama-agama samawi yang dibawa para nabi dan rasul. Pada mulanya agama-agama itu tetap suci dan murni, tak sedikit pun dimasuki oleh dasar-dasar kesyirikan, tetapi dengan berangsur-angsur sedikit demi sedikit paham tauhid yang murni itu dimasuki oleh paham-paham lain yang berbau syirik atau menyimpang sama sekali dari dasar tauhid. Akibatnya, manusia terjatuh ke jurang kesesatan, bahkan ada di antara mereka yang menyembah manusia, binatang, dan benda-benda seperti patung dan berhala.

Baca Juga:  Surah Al Baqarah Ayat 61-66; Terjemahan dan Tafsir

Namun demikian, kita dapat mengetahui suci dan murninya suatu agama jika masih berpegang teguh kepada paham tauhid. Bila dalam agama itu tidak terdapat sedikit pun penyimpangan dari dasar tauhid, maka agama itu pastilah agama yang asli dan murni. Tetapi bila terdapat di dalamnya paham yang menyimpang dari dasar itu, maka agama itu tidak murni lagi dan telah kemasukan paham-paham yang sesat.

Paham-paham yang sesat inilah yang telah dianut oleh kaum musyrikin Mekah sekalipun mereka mendakwahkan bahwa mereka adalah pengikut Nabi Ibrahim. Mereka telah jauh tersesat dari ajaran Nabi Ibrahim, tetapi mereka tetap membanggakan bahwa agama merekalah yang benar,

walaupun yang mereka sembah adalah benda-benda mati yang tidak bermanfaat sedikit pun dan tidak pula berdaya menolak kemudaratan. Mereka menentang dengan keras ajaran tauhid yang dibawa Nabi Muhammad saw dan mengancam akan bertindak tegas terhadap siapa saja yang menentang mereka.

Tafsir Quraish Shihab: Umat manusia kemudian memutus kesatuan agama itu. Mereka ada yang mendapat petunjuk, ada juga yang tersesat, yang mengikuti kecenderungan hawa nafsu. Akibatnya, mereka terpecah belah menjadi beberapa kelompok yang saling bermusuhan. Masing-masing kelompok merasa senang dan puas dengan apa yang ada padanya, dan menyangka bahwa hanya dialah yang benar.

Surah Al-Mu’minun Ayat 54
فَذَرْهُمْ فِي غَمْرَتِهِمْ حَتَّى حِينٍ

Terjemahan: Maka biarkanlah mereka dalam kesesatannya sampai suatu waktu.

Tafsir Jalalain: فَذَرْهُمْ (Maka biarkanlah mereka) biarkanlah orang-orang kafir Mekah itu فِي غَمْرَتِهِمْ (dalam kesesatannya) حَتَّى حِينٍ (sampai suatu waktu) hingga saat kematian mereka.

Tafsir Ibnu Katsir: Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman seraya memberikan peringatan dan ancaman: فَذَرْهُمْ فِي غَمْرَتِهِمْ (“Maka biarkanlah mereka dalam kesesatannya,”) yakni, dalam kelengahan dan kesesatan mereka: حَتَّى حِينٍ (“Sampai suatu waktu.”) Yakni, sampai saat kehancuran dan kebinasaan mereka.

Tafsir Kemenag: Pada Ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar membiarkan orang-orang yang keras kepala yang tidak mau menerima kebenaran itu sampai tiba saatnya Allah akan menyiksa mereka baik di dunia maupun di akhirat nanti, di mana mereka akan menyaksikan sendiri bagaimana hebat dan dahsyatnya siksaan yang disediakan untuk mereka.

Adapun siksaan di dunia ialah malapetaka yang menimpa mereka pada waktu Perang Badar dimana mereka mengalami kekalahan besar dan kehancuran. Perintah seperti ini terdapat pula pada Ayat lain, seperti firman Allah: Karena itu berilah penangguhan kepada orang-orang kafir itu. Berilah mereka itu kesempatan untuk sementara waktu. (ath-thariq/86: 17)

Dan firman-Nya: Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong) mereka, kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatannya). (al-hijr/15: 3).

Tafsir Quraish Shihab: Oleh karena itu, hai Muhammad, biarkan orang-orang kafir berada dalam kebodohan dan kedunguan selama kamu telah menasihati mereka, sampai Allah memutuskan hukuman buat mereka dengan siksaan yang akan segera tiba.

Surah Al-Mu’minun Ayat 55
أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُم بِهِ مِن مَّالٍ وَبَنِينَ

Terjemahan: Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa),

Tafsir Jalalain: أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُم (Apakah mereka mengira bahwa sesungguhnya apa-apa yang Kami berikan kepada mereka) artinya, Kami limpahkan kepada mereka بِهِ مِن مَّالٍ وَبَنِينَ (berupa harta benda dan anak-anak) di dunia ini.

Tafsir Ibnu Katsir: Firman-Nya lebih lanjut: أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُم بِهِ مِن مَّالٍ وَبَنِينَ (“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu [berarti bahwa],) Artinya, apakah orang-orang yang tertipu itu mengira bahwa apa yang Kami (Allah) berikan kepada mereka itu; baik berupa harta kekayaan maupun anak, merupakan penghormatan Kami terhadap mereka dan kemuliaan mereka dalam pandangan Kami? Tidak, sama sekali tidak. Kenyataannya tidak seperti yang mereka akui, tetapi Kami melakukan hal tersebut terhadap mereka sebagai penguluran dan penundaan.

Tafsir Kemenag: Pada Ayat ini Allah menerangkan bahwa orang-orang kafir itu telah ditipu dan diperdayakan oleh harta dan anak-anak mereka padahal harta kekayaan dan anak-anak yang banyak itu bukanlah tanda bahwa Allah meridai mereka. Mereka membangga-banggakan harta dan kekayaan mereka terhadap kaum Muslimin yang di kala itu dalam keadaan serba kekurangan, seperti tersebut dalam firman Allah:

Dan mereka berkata, “Kami memiliki lebih banyak harta dan anak-anak (daripada kamu) dan kami tidak akan diazab.” (Saba/34: 35)

Sebenarnya Allah memberikan kelapangan rezeki kepada orang kafir hanya semata-mata untuk menjerumuskan mereka ke lembah kemaksiatan dan kedurhakaan karena sikap mereka yang sangat congkak dan sombong terhadap ajaran yang dibawa Nabi Muhammad saw.

Dengan harta dan anak-anak yang banyak itu mereka akan menjadi lupa daratan seakan-akan merekalah yang benar dan berkuasa. Apa saja yang mereka lakukan adalah hak mereka walaupun dengan perbuatan itu mereka menginjak-injak hak orang lain dan menganiaya kaum yang lemah. Tetapi pada suatu saat Allah pasti akan menyiksa mereka, karena menjadi sunnatullah bahwa kezaliman dan penganiayaan itu tidak akan kekal, bahkan akan hancur dan musnah. Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya:

Maka janganlah harta dan anak-anak mereka membuatmu kagum. Sesungguhnya maksud Allah dengan itu adalah untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia dan kelak akan mati dalam keadaan kafir. (at-Taubah/9: 55)

Dan firman-Nya: Dan jangan sekali-kali orang-orang kafir itu mengira bahwa tenggang waktu yang Kami berikan kepada mereka lebih baik baginya. Sesungguhnya tenggang waktu yang Kami berikan kepada mereka hanyalah agar dosa mereka semakin bertambah; dan mereka akan mendapat azab yang menghinakan. (Ali ‘Imran/3: 178)

Qatadah, seorang mufassir telah memberikan ulasannya mengenai Ayat ini sebagai berikut, “Allah telah memperdayakan orang-orang kafir itu dengan harta dan anak-anak mereka. Hai anak Adam, janganlah kamu menganggap seseorang terhormat karena harta kekayaan dan anak-anaknya, tetapi hormatilah dia karena iman dan amal saleh.” DiriwAyatkan dari Ibnu Mas`ud bahwa Rasulullah saw bersabda:

Baca Juga:  Surah Al-Hasyr Ayat 21-24; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Sesungguhnya Allah telah membagi-bagi akhlak di antara kamu sebagai-mana Dia telah membagi-bagikan rezeki di antara kamu. Sesungguhnya Allah memberikan nikmat dunia kepada orang yang diridai-Nya dan kepada orang yang tidak diridai-Nya.

Dan Dia tidak memberikan keteguhan beragama melainkan kepada yang Ia rida. Dan barangsiapa yang Allah berikan kepadanya keteguhan beragama, berarti Allah meridainya.

Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidak Islam seorang hamba kecuali bila telah Islam pula batin dan lidahnya, tidak beriman dia kecuali tetangganya merasa aman terhadap kejahatannya. Para sahabat bertanya, “Apakah kejahatannya itu, ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Penipuan dan kezalimannya.” (RiwAyat Ahmad).

Tafsir Quraish Shihab: Apakah orang-orang yang durhaka itu mengira bahwa ketika Kami membiarkan mereka menikmati kekayaan dan anak yang Kami berikan,

Surah Al-Mu’minun Ayat 56
نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَل لَّا يَشْعُرُونَ

Terjemahan: Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.

Tafsir Jalalain: (Kami bersegera) menyegerakan (memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka) tidak, sesungguhnya tidak demikian (sebenarnya mereka tidak sadar) bahwasanya hal itu adalah pengluluh atau Istidraj buat mereka.

Tafsir Ibnu Katsir: نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَل لَّا يَشْعُرُونَ (“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu [berarti bahwa], Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka. Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.”) Artinya, apakah orang-orang yang tertipu itu mengira bahwa apa yang Kami (Allah) berikan kepada mereka itu; baik berupa harta kekayaan maupun anak, merupakan penghormatan Kami terhadap mereka dan kemuliaan mereka dalam pandangan Kami? Tidak, sama sekali tidak. Kenyataannya tidak seperti yang mereka akui, tetapi Kami melakukan hal tersebut terhadap mereka sebagai penguluran dan penundaan.

Oleh karena itu, Dia berfirman: بَل لَّا يَشْعُرُونَ (“Tetapi sebenarnya mereka tidak sadar.”) Dia juga berfirman, yang artinya: (“Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka.”) (QS. All `Imran: 178).

Tafsir Kemenag: Pada Ayat ini Allah menerangkan bahwa orang-orang kafir itu telah ditipu dan diperdayakan oleh harta dan anak-anak mereka padahal harta kekayaan dan anak-anak yang banyak itu bukanlah tanda bahwa Allah meridai mereka.

Mereka membangga-banggakan harta dan kekayaan mereka terhadap kaum Muslimin yang di kala itu dalam keadaan serba kekurangan, seperti tersebut dalam firman Allah: Dan mereka berkata, “Kami memiliki lebih banyak harta dan anak-anak (daripada kamu) dan kami tidak akan diazab.” (Saba/34: 35)

Sebenarnya Allah memberikan kelapangan rezeki kepada orang kafir hanya semata-mata untuk menjerumuskan mereka ke lembah kemaksiatan dan kedurhakaan karena sikap mereka yang sangat congkak dan sombong terhadap ajaran yang dibawa Nabi Muhammad saw.

Dengan harta dan anak-anak yang banyak itu mereka akan menjadi lupa daratan seakan-akan merekalah yang benar dan berkuasa. Apa saja yang mereka lakukan adalah hak mereka walaupun dengan perbuatan itu mereka menginjak-injak hak orang lain dan menganiaya kaum yang lemah. Tetapi pada suatu saat Allah pasti akan menyiksa mereka, karena menjadi sunnatullah bahwa kezaliman dan penganiayaan itu tidak akan kekal, bahkan akan hancur dan musnah. Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya:

Maka janganlah harta dan anak-anak mereka membuatmu kagum. Sesungguhnya maksud Allah dengan itu adalah untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia dan kelak akan mati dalam keadaan kafir. (at-Taubah/9: 55)

Dan firman-Nya: Dan jangan sekali-kali orang-orang kafir itu mengira bahwa tenggang waktu yang Kami berikan kepada mereka lebih baik baginya. Sesungguhnya tenggang waktu yang Kami berikan kepada mereka hanyalah agar dosa mereka semakin bertambah; dan mereka akan mendapat azab yang menghinakan. (Ali ‘Imran/3: 178)

Qatadah, seorang mufassir telah memberikan ulasannya mengenai Ayat ini sebagai berikut, “Allah telah memperdayakan orang-orang kafir itu dengan harta dan anak-anak mereka. Hai anak Adam, janganlah kamu menganggap seseorang terhormat karena harta kekayaan dan anak-anaknya, tetapi hormatilah dia karena iman dan amal saleh.” DiriwAyatkan dari Ibnu Mas`ud bahwa Rasulullah saw bersabda:

Sesungguhnya Allah telah membagi-bagi akhlak di antara kamu sebagai-mana Dia telah membagi-bagikan rezeki di antara kamu. Sesungguhnya Allah memberikan nikmat dunia kepada orang yang diridai-Nya dan kepada orang yang tidak diridai-Nya. Dan Dia tidak memberikan keteguhan beragama melainkan kepada yang Ia rida.

Dan barangsiapa yang Allah berikan kepadanya keteguhan beragama, berarti Allah meridainya. Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidak Islam seorang hamba kecuali bila telah Islam pula batin dan lidahnya, tidak beriman dia kecuali tetangganya merasa aman terhadap kejahatannya. Para sahabat bertanya, “Apakah kejahatannya itu, ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Penipuan dan kezalimannya.” (RiwAyat Ahmad).

Tafsir Quraish Shihab: berarti Kami meridai mereka, lalu melimpahkan mereka berbagai kenikmatan dalam waktu singkat dan dalam jumlah yang banyak? Mereka sungguh-sungguh bagaikan binatang yang tidak dapat merasa karena tidak menggunakan akal pikirannya. Kami sama sekali tidak meridai mereka. Nikmat-nikmat itu hanya merupakan istidraj (penundaan hukuman) Kami untuk mereka.

Shadaqallahul ‘adzhim. Alhamdulillah, kita telah pelajari bersama kandungan Surah Al-Mu’minun Ayat 51-56 berdasarkan Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Kemenag dan Tafsir Quraish Shihab Semoga menambah khazanah ilmu Al-Qur’an kita.

M Resky S