Surah Al-Qiyamah Ayat 16-25; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an

Surah Al-Qiyamah Ayat 16-25

Pecihitam.org – Kandungan Surah Al-Qiyamah Ayat 16-25 ini, dijelaskan bahwa biarpun manusia berusaha mengajukan berbagai alasan guna menutupi segala kesalahannya, dan menyembunyikan segala perbuatan jeleknya, namun semua itu tidak akan berguna karena anggota tubuhnya akan menjadi saksi atas dirinya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Terpengaruh dengan kehidupan duniawi biasanya dibarengi dengan sikap mendustai wahyu, serta melupakan kehidupan hari akhirat dan bahkan tidak percaya dengan kedatangannya.

Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Qiyamah Ayat 16-25

Surah Al-Qiyamah Ayat 16
لَا تُحَرِّكۡ بِهِۦ لِسَانَكَ لِتَعۡجَلَ بِهِۦٓ

Terjemahan: “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya.

Tafsir Jalalain: لَا تُحَرِّكۡ بِهِۦ لِسَانَكَ (Janganlah kamu gerakkan untuk membacanya) membaca Alquran, sebelum malaikat Jibril selesai daripadanya لِتَعۡجَلَ بِهِ (lisanmu karena hendak cepat-cepat menguasainya) karena kamu merasa khawatir bacaannya tidak dapat kamu kuasai.

Tafsir Ibnu Katsir: Ini merupakan pelajaran dari Alllah bai Rasulullah saw. mengenai cara menerima wahyu dari malaikat. Dimana beliau akan segera mengambilnya dan mendahului malaikat dalam membacanya. Maka Allah memerintahkannya, jika malaikat mendatanginya dengan membawa wahyu, maka hendaklah dia mendengarkannya, dan Allah menjamin untuk mengumpulkannya ke dalam hatinya serta menjadikannya mudah melaksanakannya sesuai dengan apa yang disampaikan kepadanya serta memberikan penjelasan, penafsiran, dan keterangan kepadanya.

Dengan demikian, proses pertama adalah pengumpulan wahyu di dalam dada Nabi saw. proses kedua adalah pembacaanya. Dan proses ketiga adalah penafsiran sekaligus penjelasan maknanya. Oleh karena itu Allah berfirman:

لَا تُحَرِّكۡ بِهِۦ لِسَانَكَ لِتَعۡجَلَ بِهِ (“janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca al-Qur’an karena hendak cepat-cepat [menguasai]nya.”) yakni menguasai al-Qur’an, sebagaimana firman-Nya yang artinnya: “Dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca al-Qur’an sebelum disempurnakan pewahyuannya kepadamu, dan katakanlah: ‘Ya Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmmu pengetahuan…’” (ThaaHaa: 114)

Tafsir Kemenag: Dalam ayat ini, Allah melarang Nabi Muhammad menggerakkan lidahnya untuk membaca Al-Qur’an karena hendak cepat-cepat menguasainya. Dalam bahasa lain, Allah melarang Nabi saw menggerak-gerakkan lidah dan bibirnya untuk cepat-cepat menangkap bacaan Jibril karena takut bacaan itu luput dari ingatannya.” Hal ini terjadi ketika Surah thaha turun, dan semenjak ada teguran Allah dalam ayat ke 16 ini, tentu beliau sudah tenang dalam menerima wahyu, dan tidak perlu cepat-cepat menangkapnya.

Pada ayat lain terdapat maksud yang sama, yakni: Maka Mahatinggi Allah, Raja yang sebenar-benarnya. Dan janganlah engkau (Muhammad) tergesa-gesa (membaca) Al-Qur’an sebelum selesai diwahyukan kepadamu, dan katakanlah, “Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.” (thaha/20: 114) Allah melarang Nabi saw meniru bacaan Jibril kalimat demi kalimat sebelum selesai membacakannya, agar Nabi Muhammad dapat menghafal dan memahami dengan baik ayat yang diturunkan itu.

Tafsir Quraish Shihab: Saat wahyu diturunkan, hendaknya kamu, Muhammad, tidak menggerakkan lidahmu untuk membaca al-Qur’ân karena didorong oleh keinginan untuk cepat-cepat membaca dan menghafalnya. Sesungguhnya Kamilah yang akan mengumpulkannya dalam dadamu dan memantapkan bacaannya di lidahmu.

Surah Al-Qiyamah Ayat 17
إِنَّ عَلَيۡنَا جَمۡعَهُۥ وَقُرۡءَانَهُۥ

Terjemahan: “Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.

Tafsir Jalalain: إِنَّ عَلَيۡنَا جَمۡعَهُۥ (Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya) di dadamu, maksudnya membuat kamu dapat menghafalnya وَقُرۡءَانَهُۥ (dan bacaannya) yakni membuatmu pandai membacanya; atau membuat mudah dibaca olehmu.

Tafsir Ibnu Katsir: Kemudian Allah berfirman: إِنَّ عَلَيۡنَا جَمۡعَهُۥ (“Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah pengumpulannya.”) yaitu di dadamu. وَقُرۡءَانَهُۥ (“dan pembacaannya”) yakni membacanya. (“apabila Kami telah selesai membacanya.”) yakni jika malaikat telah selesai membaca wahyu dari Allah Ta’ala

Tafsir Kemenag: Allah menjelaskan bahwa larangan mengikuti bacaan Jibril ketika ia sedang membacakannya adalah karena sesungguhnya atas tanggungan Allah-lah mengumpulkan wahyu itu di dalam dada Muhammad dan membuatnya pandai membacanya.

Allah-lah yang bertanggung jawab bagaimana supaya Al-Qur’an itu tersimpan dengan baik dalam dada atau ingatan Muhammad, dan memantapkannya dalam kalbunya. Allah pula yang memberikan bimbingan kepadanya bagaimana cara membaca ayat itu dengan sempurna dan teratur, sehingga Muhammad hafal dan tidak lupa selama-lamanya.

Apabila Jibril telah selesai membacakan ayat-ayat yang harus diturunkan, hendaklah Muhammad saw membacanya kembali. Nanti ia akan mendapatkan dirinya selalu ingat dan hafal ayat-ayat itu. Tegasnya pada waktu Jibril membaca, hendaklah Muhammad diam dan mendengarkan bacaannya.

Dari sudut lain, ayat ini juga berarti bahwa bila telah selesai dibacakan kepada Muhammad ayat-ayat Allah, hendaklah ia segera mengamalkan hukum-hukum dan syariat-syariatnya. Semenjak perintah ini turun, Rasulullah senantiasa mengikuti dan mendengarkan dengan penuh perhatian wahyu yang dibacakan Jibril. Setelah Jibril pergi, barulah beliau membacanya dan bacaannya itu tetap tinggal dalam ingatan beliau.

Diterangkan dalam hadis riwayat al-Bukhari bahwa Ibnu ‘Abbas berkata: Setelah perintah itu turun, Rasulullah selalu mendengarkan dan memperhatikan ketika Jibril datang, setelah Jibril pergi beliau membacanya sebagaimana diajarkan Jibril. (Riwayat al-Bukhari dari Ibnu ‘Abbas). .

Tafsir Quraish Shihab: Saat wahyu diturunkan, hendaknya kamu, Muhammad, tidak menggerakkan lidahmu untuk membaca al-Qur’ân karena didorong oleh keinginan untuk cepat-cepat membaca dan menghafalnya. Sesungguhnya Kamilah yang akan mengumpulkannya dalam dadamu dan memantapkan bacaannya di lidahmu.

Surah Al-Qiyamah Ayat 18
فَإِذَا قَرَأۡنَٰهُ فَٱتَّبِعۡ قُرۡءَانَهُۥ

Terjemahan: “Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.

Tafsir Jalalain: فَإِذَا قَرَأۡنَٰهُ فَٱتَّبِعۡ (Apabila Kami telah selesai membacakannya) kepada kamu melalui bacaan malaikat Jibril قُرۡءَانَهُۥ (maka ikutilah bacaannya itu) artinya, dengarlah dengan seksama bacaan Jibril kepadamu terlebih dahulu. Sesungguhnya Nabi saw. setelah itu mendengarkannya terlebih dahulu dengan seksama, kemudian membacanya.

Tafsir Ibnu Katsir: فَإِذَا قَرَأۡنَٰهُ (“apabila Kami telah selesai membacanya.”) yakni jika malaikat telah selesai membaca wahyu dari Allah Ta’ala. فَٱتَّبِعۡ قُرۡءَانَهُ (“Maka ikutilah bacaan itu.”) yakni dengarkanlah kemudian bacakan kepadanya sebagaimana dia [malaikat] telah membacakannya kepadamu.

Tafsir Kemenag: Allah menjelaskan bahwa larangan mengikuti bacaan Jibril ketika ia sedang membacakannya adalah karena sesungguhnya atas tanggungan Allah-lah mengumpulkan wahyu itu di dalam dada Muhammad dan membuatnya pandai membacanya.

Baca Juga:  Surah Asy Syams; Terjemahan, Tafsir dan Asbabun Nuzul (Lengkap)

Allah-lah yang bertanggung jawab bagaimana supaya Al-Qur’an itu tersimpan dengan baik dalam dada atau ingatan Muhammad, dan memantapkannya dalam kalbunya. Allah pula yang memberikan bimbingan kepadanya bagaimana cara membaca ayat itu dengan sempurna dan teratur, sehingga Muhammad hafal dan tidak lupa selama-lamanya.

Apabila Jibril telah selesai membacakan ayat-ayat yang harus diturunkan, hendaklah Muhammad saw membacanya kembali. Nanti ia akan mendapatkan dirinya selalu ingat dan hafal ayat-ayat itu. Tegasnya pada waktu Jibril membaca, hendaklah Muhammad diam dan mendengarkan bacaannya.

Dari sudut lain, ayat ini juga berarti bahwa bila telah selesai dibacakan kepada Muhammad ayat-ayat Allah, hendaklah ia segera mengamalkan hukum-hukum dan syariat-syariatnya. Semenjak perintah ini turun, Rasulullah senantiasa mengikuti dan mendengarkan dengan penuh perhatian wahyu yang dibacakan Jibril. Setelah Jibril pergi, barulah beliau membacanya dan bacaannya itu tetap tinggal dalam ingatan beliau.

Diterangkan dalam hadis riwayat al-Bukhari bahwa Ibnu ‘Abbas berkata: Setelah perintah itu turun, Rasulullah selalu mendengarkan dan memperhatikan ketika Jibril datang, setelah Jibril pergi beliau membacanya sebagaimana diajarkan Jibril. (Riwayat al-Bukhari dari Ibnu ‘Abbas). .

Tafsir Quraish Shihab: Apabila utusan Kami telah membacakan al-Qur’ân kepadamu, maka ikutilah bacaannya itu dengan menyimaknya terlebih dahulu. Lalu Kamilah yang akan menjelaskan jika di dalamnya kamu temui kesulitan.

Surah Al-Qiyamah Ayat 19
ثُمَّ إِنَّ عَلَيۡنَا بَيَانَهُۥ

Terjemahan: “Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.

Tafsir Jalalain: ثُمَّ إِنَّ عَلَيۡنَا بَيَانَهُ (Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya) dengan memberikan pemahaman mengenainya kepadamu. Kaitan atau hubungan korelasi antara ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya ialah bahwasanya ayat-ayat sebelumnya itu mengandung makna berpaling dari ayat-ayat Allah. Sedangkan pada ayat ini terkandung pengertian bersegera menguasai ayat-ayat Allah dengan cara menghafalnya.

Tafsir Ibnu Katsir: ثُمَّ إِنَّ عَلَيۡنَا بَيَانَهُ (“Kemudian sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah penjelasannya.”) yakni setelah dia menghafal dan membacanya, maka Kami yang akan menjelaskan, menerangkan, dan mengilhamkan maknanya untukmu sesuai dengan apa yang Kami kehendaki dan syariatkan.

Tafsir Kemenag: Ayat ini menjelaskan adanya jaminan Allah bahwa sesungguhnya atas tanggungan Allah-lah penjelasannya. Maksudnya setelah Jibril selesai membacakan Al-Qur’an itu kepada Nabi Muhammad saw, maka Allah langsung memberikan penjelasan kepada beliau melalui ilham-ilham yang ditanamkan ke dalam dada Nabi saw, sehingga pengertian ayat ini secara sempurna sebagaimana yang dikehendaki Allah dapat diketahui Nabi saw.

Allah pula yang menyampaikan kepada Nabi segala rahasia, hukum-hukum, dan pengetahuan Al-Qur’an itu secara sempurna. Dengan begitu, tidak dapat diragukan sedikit pun bahwa sesungguhnya Al-Qur’an itu dari sisi Allah.

Tafsir Quraish Shihab: Apabila utusan Kami telah membacakan al-Qur’ân kepadamu, maka ikutilah bacaannya itu dengan menyimaknya terlebih dahulu. Lalu Kamilah yang akan menjelaskan jika di dalamnya kamu temui kesulitan.

Surah Al-Qiyamah Ayat 20
كَلَّا بَلۡ تُحِبُّونَ ٱلۡعَاجِلَةَ

Terjemahan: “Sekali-kali janganlah demikian. Sebenarnya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia,

Tafsir Jalalain: كَلَّا بَلۡ (Sekali-kali jangan) lafal Kallaa menunjukkan makna Istiftah, yakni ingatlah تُحِبُّونَ ٱلۡعَاجِلَةَ (sebenarnya kalian mencintai kehidupan dunia) dapat dibaca Tuhibbuuna dan Yuhibbuuna, kalau dibaca Yuhibbuuna artinya, mereka mencintai kehidupan dunia.

Tafsir Ibnu Katsir: “Sekali-kali janganlah demikian. Sebenarnya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia,

Tafsir Kemenag: Dalam ayat ini, Allah mencela kehidupan orang musyrik yang sangat mencintai dunia. Allah menyerukan, “Sekali-kali jangan. Sesungguhnya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia dan meninggalkan kehidupan akhirat.”

Dengan ayat ini terdapat suatu kesimpulan umum bahwa mencintai kehidupan adalah salah satu watak manusia seluruhnya. Memang ada sebagian yang mengharapkan kebahagiaan akhirat, namun yang mencintai hidup dunia serta mendustai adanya hari kebangkitan jauh lebih besar jumlahnya.

Tafsir Quraish Shihab: Tertolaklah kalian karena telah mengingkari kebenaran hari kebangkitan. Bahkan kalian adalah orang-orang yang mencintai dunia dengan kegemerlapannya dan mengabaikan akhirat dengan segala kenikmatannya.

Surah Al-Qiyamah Ayat 21
وَتَذَرُونَ ٱلۡءَاخِرَةَ

Terjemahan: “dan meninggalkan (kehidupan) akhirat.

Tafsir Jalalain: وَتَذَرُونَ ٱلۡءَاخِرَةَ (Dan meninggalkan kehidupan akhirat) karena itu mereka tidak beramal untuk menyambut hari akhirat.

Tafsir Ibnu Katsir: “dan meninggalkan (kehidupan) akhirat.

Tafsir Kemenag: Terpengaruh dengan kehidupan duniawi biasanya dibarengi dengan sikap mendustai wahyu, serta melupakan kehidupan hari akhirat dan bahkan tidak percaya dengan kedatangannya.

Tafsir Quraish Shihab: Tertolaklah kalian karena telah mengingkari kebenaran hari kebangkitan. Bahkan kalian adalah orang-orang yang mencintai dunia dengan kegemerlapannya dan mengabaikan akhirat dengan segala kenikmatannya.

Surah Al-Qiyamah Ayat 22
وُجُوهٌ يَوۡمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ

Terjemahan: “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri.

Tafsir Jalalain: وُجُوهٌ يَوۡمَئِذٍ (Wajah-wajah pada hari itu) pada hari kiamat نَّاضِرَةٌ (ada yang berseri-seri) tampak cerah dan bercahaya.

Tafsir Ibnu Katsir: Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri

Tafsir Kemenag: Ayat ini menerangkan sebagian hal ihwal manusia pada hari kebangkitan saat wajah-wajah orang beriman pada waktu itu berseri-seri. Golongan yang gembira dan berwajah ceria inilah calon penghuni surga. Merekalah yang berwajah cerah yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya. Di mana pun mereka dapat melihat-Nya. Artinya mereka langsung memandang kepada Allah tanpa dinding pembatas (hijab).

Demikian kesimpulan pendapat ulama ahli sunnah berdasarkan hadis-hadis sahih yang menerangkan lebih lanjut tentang makna melihat Tuhan yang disebutkan dalam ayat ini. Dikatakan bahwa orang yang beriman yang beruntung melihat Allah dengan mata kepalanya sendiri pada hari akhirat sebagaimana mereka melihat bulan purnama yang bersinar terang benderang yang tidak ada awan di bawahnya.

Hadis al-Bukhari yang menyebutkan hal itu berbunyi: Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhanmu dengan mata kepalamu sendiri (terang-terang) sebagaimana kamu melihat bulan (purnama), kamu tidak berdesak-desakan dalam melihat-Nya. Jika kamu mampu tidak meninggalkan salat sebelum terbit matahari dan terbenam matahari maka lakukanlah. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Jarir bin ‘Abdillah)

Baca Juga:  Surah Ath-Thur Ayat 17-20; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Sekalipun ada keterangan yang jelas dari ayat 22 ini yang diperkuat dengan beberapa hadis di atas yang menegaskan bahwa manusia mukmin nanti melihat sendiri wajah Allah itu, namun sebagian dari ulama salaf mencoba mentakwilkan (memalingkan) pengertian ayat dan hadis-hadis tersebut.

Mujahid (seorang tabiin yang terkenal) berpendapat bahwa arti melihat Allah di dalam surga adalah “melihat pahala yang ada di sisi Allah”. Namun hal demikian dianggap tidak berdasarkan alasan yang kuat, sebab kata-kata “nadhara” (melihat) dalam bahasa Arab betul-betul berarti melihat dengan mata kepala sendiri bukan melihat dengan mata hati dan sebagainya.

Permasalahan tentang “apakah manusia nanti melihat Allah pada hari Kiamat atau tidak?” menjadi persoalan yang diperselisihkan (khilafiah) sejak dari dahulu. Ulama ahli sunnah tetap berpendirian bahwa orang mukmin pasti melihat Allah berdasarkan ayat di atas, ditambah keterangan dari berbagai hadis sahih. Sebaliknya ulama-ulama Mu’tazilah menegaskan tidak mungkin sama sekali manusia melihat wajah dan zat Allah berdasarkan bunyi ayat ke 103 Surah al-An’am:

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu. Ayat ini, menurut Mu’tazilah, terbatas pengertiannya pada melihat nikmat, keridaan, dan pahala yang disediakan Allah. Persoalan akhirat adalah persoalan gaib, tidak dapat kita ukur dalam perbandingan dengan apa yang ada sekarang. Jalan yang ringkas dan selamat serta tidak terlibat dalam pertikaian yang berlarut-larut itu adalah “mengimani sepenuhnya apa yang diberikan ayat tanpa membahasnya lagi.

Bagaimana pengertian yang sesungguhnya, kita serahkan kepada Allah saja. Masih banyak lapangan ijtihad (pemikiran) yang lain bila seseorang ingin mendalami maksud ayat-ayat suci Al-Qur’an.” Berikut ini kita kutip beberapa hadis tentang melihat Allah di akhirat:

Orang-orang bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah apakah kami dapat melihat Tuhan kami di hari Kiamat kelak?” Beliau menjawab, “Apakah sulit bagi kalian melihat matahari dan bulan yang tidak dihalangi oleh awan?” Mereka menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda lagi, “Demikian pula kamu melihat Tuhanmu.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Diriwayatkan dari suhaib dari Nabi saw bahwa beliau bersabda, “Bila penduduk surga telah masuk ke dalam surga, Allah berfirman, ‘Apakah engkau ingin lagi sesuatu yang hendak Aku tambahkan? Mereka menjawab, ‘Bukankah Engkau sudah cerahkan wajah kami, bukankah telah Engkau masukkan kami ke dalam surga. Dan telah Engkau lepaskan kami dari api neraka?

Allah menjawab dan kemudian hijab pun tersingkap, maka tiadalah sesuatu pemberian yang lebih mereka senangi selain daripada melihat Tuhan mereka.” Kemudian beliau membaca ayat ini (Yunus/10: 26): lilladhina ahsanu al-husna wa ziyadah (Riwayat Muslim).

Tafsir Quraish Shihab: Pada hari itu, wajah orang-orang Mukmin nampak berseri-seri melihat Tuhannya, tanpa ditentukan bagaimana cara melihat-Nya, dari arah mana dan dari jarak berapa.

Surah Al-Qiyamah Ayat 23
إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ

Terjemahan: “Kepada Tuhannyalah mereka melihat.

Tafsir Jalalain: إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ (Kepada Rabbnyalah mereka melihat) mereka akan melihat Allah swt. di akhirat.

Tafsir Ibnu Katsir: Kepada Tuhannyalah mereka melihat

Tafsir Kemenag: Ayat ini menerangkan sebagian hal ihwal manusia pada hari kebangkitan saat wajah-wajah orang beriman pada waktu itu berseri-seri. Golongan yang gembira dan berwajah ceria inilah calon penghuni surga. Merekalah yang berwajah cerah yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya. Di mana pun mereka dapat melihat-Nya. Artinya mereka langsung memandang kepada Allah tanpa dinding pembatas (hijab).

Demikian kesimpulan pendapat ulama ahli sunnah berdasarkan hadis-hadis sahih yang menerangkan lebih lanjut tentang makna melihat Tuhan yang disebutkan dalam ayat ini. Dikatakan bahwa orang yang beriman yang beruntung melihat Allah dengan mata kepalanya sendiri pada hari akhirat sebagaimana mereka melihat bulan purnama yang bersinar terang benderang yang tidak ada awan di bawahnya.

Hadis al-Bukhari yang menyebutkan hal itu berbunyi: Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhanmu dengan mata kepalamu sendiri (terang-terang) sebagaimana kamu melihat bulan (purnama), kamu tidak berdesak-desakan dalam melihat-Nya. Jika kamu mampu tidak meninggalkan salat sebelum terbit matahari dan terbenam matahari maka lakukanlah. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Jarir bin ‘Abdillah)

Sekalipun ada keterangan yang jelas dari ayat 22 ini yang diperkuat dengan beberapa hadis di atas yang menegaskan bahwa manusia mukmin nanti melihat sendiri wajah Allah itu, namun sebagian dari ulama salaf mencoba mentakwilkan (memalingkan) pengertian ayat dan hadis-hadis tersebut.

Mujahid (seorang tabiin yang terkenal) berpendapat bahwa arti melihat Allah di dalam surga adalah “melihat pahala yang ada di sisi Allah”. Namun hal demikian dianggap tidak berdasarkan alasan yang kuat, sebab kata-kata “nadhara” (melihat) dalam bahasa Arab betul-betul berarti melihat dengan mata kepala sendiri bukan melihat dengan mata hati dan sebagainya.

Permasalahan tentang “apakah manusia nanti melihat Allah pada hari Kiamat atau tidak?” menjadi persoalan yang diperselisihkan (khilafiah) sejak dari dahulu. Ulama ahli sunnah tetap berpendirian bahwa orang mukmin pasti melihat Allah berdasarkan ayat di atas, ditambah keterangan dari berbagai hadis sahih.

Sebaliknya ulama-ulama Mu’tazilah menegaskan tidak mungkin sama sekali manusia melihat wajah dan zat Allah berdasarkan bunyi ayat ke 103 Surah al-An’am: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu. Ayat ini, menurut Mu’tazilah, terbatas pengertiannya pada melihat nikmat, keridaan, dan pahala yang disediakan Allah.

Persoalan akhirat adalah persoalan gaib, tidak dapat kita ukur dalam perbandingan dengan apa yang ada sekarang. Jalan yang ringkas dan selamat serta tidak terlibat dalam pertikaian yang berlarut-larut itu adalah “mengimani sepenuhnya apa yang diberikan ayat tanpa membahasnya lagi. Bagaimana pengertian yang sesungguhnya, kita serahkan kepada Allah saja. Masih banyak lapangan ijtihad (pemikiran) yang lain bila seseorang ingin mendalami maksud ayat-ayat suci Al-Qur’an.” Berikut ini kita kutip beberapa hadis tentang melihat Allah di akhirat:

Baca Juga:  Surah Qaf Ayat 12-15; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Orang-orang bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah apakah kami dapat melihat Tuhan kami di hari Kiamat kelak?” Beliau menjawab, “Apakah sulit bagi kalian melihat matahari dan bulan yang tidak dihalangi oleh awan?” Mereka menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda lagi, “Demikian pula kamu melihat Tuhanmu.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Diriwayatkan dari suhaib dari Nabi saw bahwa beliau bersabda, “Bila penduduk surga telah masuk ke dalam surga, Allah berfirman, ‘Apakah engkau ingin lagi sesuatu yang hendak Aku tambahkan? Mereka menjawab, ‘Bukankah Engkau sudah cerahkan wajah kami, bukankah telah Engkau masukkan kami ke dalam surga. Dan telah Engkau lepaskan kami dari api neraka?

Allah menjawab dan kemudian hijab pun tersingkap, maka tiadalah sesuatu pemberian yang lebih mereka senangi selain daripada melihat Tuhan mereka.” Kemudian beliau membaca ayat ini (Yunus/10: 26): lilladhina ahsanu al-husna wa ziyadah (Riwayat Muslim).

Tafsir Quraish Shihab: Pada hari itu, wajah orang-orang Mukmin nampak berseri-seri melihat Tuhannya, tanpa ditentukan bagaimana cara melihat-Nya, dari arah mana dan dari jarak berapa.

Surah Al-Qiyamah Ayat 24
وَوُجُوهٌ يَوۡمَئِذٍۢ بَاسِرَةٌ

Terjemahan: “Dan wajah-wajah (orang kafir) pada hari itu muram,

Tafsir Jalalain: إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ (Dan wajah-wajah pada hari itu ada yang muram) tampak gelap dan sangat muram.

Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah: إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ (“Dan wajah-wajah [orang kafir] pada hari itu muram, mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepada mereka malapetaka yang amat dahsyat.”) itulah wajah orang-orang jahat, dimana pada hari kiamat wajah-wajah tersebut menjadi muram.

Qatadah berkata: “Cemberut.” Ibnu Zaid mengatakan tentang firman Allah: baasiraH; yakni masam. Tadhunnu; yang berarti yakin. Ay yuf’ala biHaa faaqiraH (“Bahwa akan ditimpakan kepada mereka malapetaka yang amat dahsyat.” Mujahid mengatakan: “Yakni malapetaka.” Sedangkan Qatadah mengatakan: “Yaitu keburukan.”

Tafsir Kemenag: Ayat berikut ini menjelaskan bahwa wajah orang-orang kafir pada hari itu muram. Mereka bermuram durja, berwajah masam melambangkan kesedihan dan ketakutan yang luar biasa. Mereka yakin akan ditimpa malapetaka yang dahsyat, sebagaimana firman Allah:

Pada hari itu ada wajah yang putih berseri, dan ada pula wajah yang hitam muram. Adapun orang-orang yang berwajah hitam muram (kepada mereka dikatakan), “Mengapa kamu kafir setelah beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu.” (Ali ‘Imran/3: 106)

Adapun wajah orang-orang mukmin ketika itu menjadi putih berseri mukanya. Mereka berada dalam rahmat Allah (surga) dan kekal di dalamnya, sebagaimana firman-Nya: Pada hari itu ada wajah-wajah yang berseri-seri, tertawa dan gembira ria, dan pada hari itu ada (pula) wajah-wajah yang tertutup debu (suram), tertutup oleh kegelapan (ditimpa kehinaan dan kesusahan). Mereka itulah orang-orang kafir yang durhaka. (‘Abasa/80: 38-42).

Tafsir Quraish Shihab: Pada hari itu pula, wajah orang-orang kafir nampak kusam karena teramat muram. Mereka telah menduga bahwa mereka akan ditimpakan suatu petaka yang amat dahsyat hingga membuat hancur tulang punggung-tulang punggung mereka.

Surah Al-Qiyamah Ayat 25
تَظُنُّ أَن يُفۡعَلَ بِهَا فَاقِرَةٌ

Terjemahan: “mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat dahsyat.

Tafsir Jalalain: تَظُنُّ (Mereka yakin) merasa yakin أَن يُفۡعَلَ بِهَا فَاقِرَةٌ (bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang amat dahsyat) bencana yang sangat besar, yang dapat meremukkan tulang-tulang punggung.

Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah: تَظُنُّ أَن يُفۡعَلَ بِهَا فَاقِرَةٌ (“Dan wajah-wajah [orang kafir] pada hari itu muram, mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepada mereka malapetaka yang amat dahsyat.”) itulah wajah orang-orang jahat, dimana pada hari kiamat wajah-wajah tersebut menjadi muram. Qatadah berkata: “Cemberut.”

Ibnu Zaid mengatakan tentang firman Allah: baasiraH; yakni masam. Tadhunnu; yang berarti yakin. Ay yuf’ala biHaa faaqiraH (“Bahwa akan ditimpakan kepada mereka malapetaka yang amat dahsyat.” Mujahid mengatakan: “Yakni malapetaka.” Sedangkan Qatadah mengatakan: “Yaitu keburukan.”

Tafsir Kemenag: Ayat berikut ini menjelaskan bahwa wajah orang-orang kafir pada hari itu muram. Mereka bermuram durja, berwajah masam melambangkan kesedihan dan ketakutan yang luar biasa. Mereka yakin akan ditimpa malapetaka yang dahsyat, sebagaimana firman Allah:

Pada hari itu ada wajah yang putih berseri, dan ada pula wajah yang hitam muram. Adapun orang-orang yang berwajah hitam muram (kepada mereka dikatakan), “Mengapa kamu kafir setelah beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu.” (Ali ‘Imran/3: 106)

Adapun wajah orang-orang mukmin ketika itu menjadi putih berseri mukanya. Mereka berada dalam rahmat Allah (surga) dan kekal di dalamnya, sebagaimana firman-Nya:

Pada hari itu ada wajah-wajah yang berseri-seri, tertawa dan gembira ria, dan pada hari itu ada (pula) wajah-wajah yang tertutup debu (suram), tertutup oleh kegelapan (ditimpa kehinaan dan kesusahan). Mereka itulah orang-orang kafir yang durhaka. (‘Abasa/80: 38-42).

Tafsir Quraish Shihab: Pada hari itu pula, wajah orang-orang kafir nampak kusam karena teramat muram. Mereka telah menduga bahwa mereka akan ditimpakan suatu petaka yang amat dahsyat hingga membuat hancur tulang punggung-tulang punggung mereka.

Shadaqallahul ‘adzhim. Alhamdulillah, kita telah pelajari bersama kandungan Surah Al-Qiyamah Ayat 16-25 berdasarkan Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Kemenag dan Tafsir Quraish Shihab. Semoga menambah khazanah ilmu Al-Qur’an kita.

M Resky S