Pecihitam.org – Kandungan Surah An-Naml Ayat 7-14 ini, menceritakan perintah kepada Nabi Muhammad dengan agar beliau menyampaikan kepada umatnya kisah Nabi Musa ketika dalam perjalanan dari Madyan untuk kembali ke Mesir dengan disertai oleh keluarganya. Perjalanan ini dilakukan setelah Musa menyelesaikan waktu yang telah ditentukan, sebagaimana yang disepakati antara Musa dengan mertuanya. Ayat ini adalah rentetan pembicaraan langsung antara Allah dan Musa di lembah suci thuwa.
Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Surah An-Naml Ayat 7-14
Surah An-Naml Ayat 7
إِذْ قَالَ مُوسَى لِأَهْلِهِ إِنِّي آنَسْتُ نَارًا سَآتِيكُم مِّنْهَا بِخَبَرٍ أَوْ آتِيكُم بِشِهَابٍ قَبَسٍ لَّعَلَّكُمْ تَصْطَلُونَ
Terjemahan: (Ingatlah) ketika Musa berkata kepada keluarganya: “Sesungguhnya aku melihat api. Aku kelak akan membawa kepadamu khabar daripadanya, atau aku membawa kepadamu suluh api supaya kamu dapat berdiang”.
Tafsir Jalalain: Ingatlah إِذْ قَالَ مُوسَى لِأَهْلِهِ (ketika Musa berkata kepada keluarganya) yaitu istrinya sewaktu ia berjalan dari Madyan menuju ke Mesir, إِنِّي آنَسْتُ (“Sesungguhnya aku melihat) dari jauh نَارًا سَآتِيكُم مِّنْهَا بِخَبَرٍ (api. Aku kelak akan membawa kepadamu kabar daripadanya) mengenai jalan yang harus kita tempuh, karena pada saat itu Nabi Musa tersesat أَوْ آتِيكُم (atau aku membawa kepadamu) dari api itu بِشِهَابٍ قَبَسٍ (suluh api).
Jika dibaca Bisyihabi Qabasin, maka Idhafah di sini mengandung makna Bayan. Dapat pula dibaca Bisyihabin Qabasin, artinya obor api yang dinyalakan pada sumbu atau kayu
لَّعَلَّكُمْ تَصْطَلُونَ (supaya kamu dapat berdiang”) huruf Tha pada lafal Tashthaluna adalah pengganti dari huruf Ta asal, karena wazannya adalah Tafta’iluna, yaitu berasal dari Shaliya atau Shala yang artinya berdiang pada api untuk menghilangkan rasa dingin.
Tafsir Ibnu Katsir: Allah berfirman kepada Rasul-Nya, Muhammad saw. guna mengingatkan atas peristiwa Musa as. ketika dipilih dan diajak bicara oleh Allah swt. Maka Allah berfirman: إِذْ قَالَ مُوسَى لِأَهْلِهِ (“[ingatlah] ketika Musa berkata kepada keluarganya.”) yakni ingatlah ketika Musa berjalan dengan keluarganya, lalu tersesat jalan. Di waktu itu adalah malam hari dan sangat gelap, tiba-tiba tampak cahaya api dari bukit Thuur dimana ia melihat api menyala dan gemuruh. Maka ia berkata:
لِأَهْلِهِ إِنِّي آنَسْتُ نَارًا سَآتِيكُم مِّنْهَا بِخَبَرٍ (“Kepada keluarganya: ‘Sesungguhnya aku melihat api. Aku akan membawa kepadamu kabar tentangnya.’”) yaitu tentang arah jalan, أَوْ آتِيكُم بِشِهَابٍ قَبَسٍ لَّعَلَّكُمْ تَصْطَلُونَ (“Atau aku membawa kepadamu suluh api supaya kamu dapat berdiang.”) yaitu menghangatkan diri dengannya. Demikianlah terjadi sesuai dengan apa yang dikatakannya. Ia kembali membawa berita besar dan memperoleh api yang panas.
Tafsir Kemenag: Ayat ini diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan perintah agar beliau menyampaikan kepada umatnya kisah Nabi Musa ketika dalam perjalanan dari Madyan untuk kembali ke Mesir dengan disertai oleh keluarganya.
Perjalanan ini dilakukan setelah Musa menyelesaikan waktu yang telah ditentukan, sebagaimana yang disepakati antara Musa dengan mertuanya. Hal ini disebutkan Allah dalam firman-Nya:
Maka ketika Musa telah menyelesaikan waktu yang ditentukan itu dan dia berangkat dengan keluarganya, dia melihat api di lereng gunung. Dia berkata kepada keluarganya, “Tunggulah (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa suatu berita kepadamu dari (tempat) api itu atau (membawa) sepercik api, agar kamu dapat menghangatkan badan.” (al-Qasas/28: 29).
Waktu yang ditentukan itu adalah hasil perjanjian antara Musa dengan mertuanya ketika menetapkan mahar perkawinannya, yaitu bekerja menggembalakan kambing mertuanya selama delapan tahun atau disempurnakan menjadi sepuluh tahun. Sepuluh tahun menunjukkan kegigihan dan kesungguhannya. Sedangkan yang dimaksud dengan keluarganya dalam ayat di atas adalah istrinya, tanpa ada orang lain.
Dalam perjalanan pada malam yang sangat gelap dan dingin itu, Musa tersesat. Ketika melihat dari kejauhan ada nyala api, Musa berpesan agar keluarganya tetap di tempat tersebut, sedang dia akan pergi ke tempat api itu. Ia berharap memperoleh penunjuk jalan, sehingga tidak tersesat lagi.
Menurutnya, adanya api berarti ada orang di sekitar tempat mereka berada. Selain itu, Nabi Musa berharap agar dapat membawakan keluarganya api, yang disulut dari sumber api yang terlihat olehnya. Dengan nyala api itu, dia dan keluarganya tentu dapat berdiam menghangatkan badan dari kedinginan yang mencekam itu.
Tafsir Quraish Shihab: Ingatlah apa yang dikatakan oleh Musa pada istri dan pengikutnya, saat kembali ke negeri Mesir, “Aku sungguh melihat api. Aku akan kembali kepada kalian dengan membawa berita tentang api itu atau aku akan membawakan untuk kalian dari sebagian api itu agar kalian dapat menghangatkan badan dan mengusir rasa dingin.”
Surah An-Naml Ayat 8
فَلَمَّا جَاءَهَا نُودِيَ أَن بُورِكَ مَن فِي النَّارِ وَمَنْ حَوْلَهَا وَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Terjemahan: Maka tatkala dia tiba di (tempat) api itu, diserulah dia: “Bahwa telah diberkati orang-orang yang berada di dekat api itu, dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Dan Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”.
Tafsir Jalalain: فَلَمَّا جَاءَهَا نُودِيَ أَن بُورِكَ (Maka tatkala ia tiba di tempat api itu, diserulah dia, “Bahwa telah diberkati) yakni semoga Allah memberkati مَن فِي النَّارِ (orang yang berada di dekat api itu) yaitu Nabi Musa وَمَنْ حَوْلَهَا (dan orang-orang yang berada di sekitarnya) yang terdiri dari para Malaikat. Atau maknanya terbalik, yakni malaikat dahulu kemudian Nabi Musa. Lafal Baraka ini bermuta’addi dengan sendirinya sebagaimana dapat bermuta’addi dengan huruf. Kemudian setelah lafal Fi diperkirakan adanya lafal Makani, maksudnya Fi Makanin Nari, yaitu orang-orang yang ada di sekitar api.
وَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (Dan Maha Suci Allah, Rabb semesta alam) dari semua apa yang diserukan-Nya, maksudnya Maha Suci Allah dari keburukan.
Tafsir Ibnu Katsir: Untuk itu Allah berfirman: فَلَمَّا جَاءَهَا نُودِيَ أَن بُورِكَ مَن فِي النَّارِ وَمَنْ حَوْلَهَا (“Maka tatkala dia tiba di tempat api itu, diserulah dia: ‘Bahwa telah diberkati orang-orang yang berada di dekat api itu dan orang-orang yang ada di sekitarnya.’”) yakni tatkala ia mendatanginya dan menyaksikan pemandangan yang menakjubkan di tempat ia berhenti dan api itu menyala di pohon yang hijau.
Api itu tidak bertambah apa-apa melainkan terus semakin menyala dan pohon itu juga tidak bertambah kecuali semakin hijau dan indah. Kemudian ia mengangkat kepalanya, tiba-tiba cahayanya bersambung ke langit.
Ibnu ‘Abbas dan ulama lain berkata: “Itu bukanlah api, akan tetapi cahaya yang benderang.” Maka Musa terpaku takjub dengan apa yang dilihatnya, نُودِيَ أَن بُورِكَ مَن فِي النَّارِ (“Diserulah dia: ‘Bahwa telah diberkati orang-orang yang berada di dekat api itu.’”) Ibnu ‘Abbas berkata: “Yaitu disucikan.” Wa man haulaHaa (“dan orang-orang yang berada disekitarnya.”) yaitu para malaikat. Itulah yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, al-Hasan dan Qatadah.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abu Musa ra. bahwa ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak tidur dan tidak patut bagi-Nya untuk tidur. Dia menaikkan dan menurunkan neraca. Amal malam hari akan naik kepada-Nya sebelum siang hari. Dan amal siang akan naik kepada-Nya sebelum amal malam hari.”
Al-Mas’udi menambahkan: “Hijabnya adalah cahaya atau api. Seandainya hal itu disingkapkan, niscaya bagian wajahnya akan membakar segala sesuatu yang dijangkau oleh pandangan.”
Kemudian Abu ‘Ubaidah membaca: أَن بُورِكَ مَن فِي النَّارِ وَمَنْ حَوْلَهَا (“‘Bahwa telah diberkati orang-orang yang berada di dekat api itu dan orang-orang yang ada di sekitarnya.’”) asal hadits ini dikeluarkan dalam shahih Muslim dari hadits ‘Amr bin Murrah.
Firman Allah: وَسُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (“Dan Mahasuci Allah Rabb semesta alam.”) yaitu Rabb Yang melakukan apa yang dikehendaki-Nya dang tidak ada satu makhluk pun yang menyerupai-Nya serta tidak satupun makhluk-Nya yang dapat menyelami ciptaan-Nya.
Dia Mahatinggi lagi Mahabesar yang mengawasi seluruh makhluk-Nya dan tidak dihalangi oleh langit dan bumi, bahkan Dia lah Yang Mahaesa, segala sesuatu bergantung kepada-Nya yang suci dari pneyerupaan dengan makhluk.
Tafsir Kemenag: Ketika Musa datang mendekat ke arah api itu, ternyata yang disangkanya api itu bukan seperti api yang biasa dilihatnya, tetapi cahaya yang memancar dari sejenis tumbuh-tumbuhan rambut berwarna hijau yang melilit dan menjuntai pada sebuah dahan kayu. Cahaya yang terpancar dari pohon itu bersinar cemerlang, sedang dahan pohon itu tetap hijau dan segar, tidak terbakar atau layu.
Musa tidak menemukan seorang pun di tempat itu, sehingga ia merasa heran dan tercengang melihat keadaan yang demikian. Ia bermaksud hendak memetik sebagian dari nyala api itu dari dahan yang condong kepadanya. Waktu ia mencoba menyulut nyala api itu, Musa merasa takut.
Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba ia diseru oleh satu suara yang datangnya dari arah pohon itu. Suara yang menyeru itu menyatakan bahwa yang berada di dekat api itu pasti diberkahi, yaitu Musa dan para malaikat. Pernyataan itu merupakan salam dan penghormatan dari Allah kepada Nabi Musa sebagaimana salam para malaikat kepada Nabi Ibrahim dalam firman-Nya:
Rahmat Allah dan berkat-Nya, dicurahkan atas kamu wahai ahlulbait. (Hud/11: 73)
‘Abdullah bin ‘Abbas menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “diberkahi” di sini ialah yang disucikan Allah. Menurutnya, yang kelihatan oleh Nabi Musa seperti api itu bukanlah api, melainkan cahaya yang menyala-nyala seperti api. Cahaya itu adalah cahaya Tuhan Semesta Alam. Hal ini dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan Abu ‘Ubaidah dari Abu Musa al-Asy’ari bahwa Nabi Muhammad bersabda:
Sesungguhnya Allah tidak tidur dan tidak pantas bagi Allah itu tidur, Dia menurunkan dan menaikkan timbangan, amal malam hari diangkat ke hadapan-Nya sebelum siang, dan amal siang sebelum malam, dan tabir-Nya adalah cahaya. Andaikata Ia membuka tabir-Nya, pasti kesucian cahaya wajah-Nya membakar segala sesuatu yang tercapai oleh pandangan-Nya di antara ciptaan-Nya. (Riwayat Muslim)
Peristiwa itu terjadi ketika Musa sampai di tempat yang diberkahi, yaitu lembah suci yang bernama Lembah thuwa, sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya:.. Dia diseru dari (arah) pinggir sebelah kanan lembah, dari sebatang pohon, di sebidang tanah yang diberkahi…. (al-Qasas/28: 30).
Dan firman Allah yang berbunyi: Ketika Tuhan memanggilnya (Musa) di lembah suci yaitu Lembah thuwa. (an-Naziat/79: 16).
Seruan Allah yang didengar Musa di lembah suci thuwa ini merupakan wahyu pengangkatan Nabi Musa sebagai rasul. Ia diutus Allah untuk menyampaikan risalah kepada Fir’aun di Mesir, dengan dibekali bermacam-macam mukjizat.
Musa berhadapan langsung dengan Allah ketika menerima wahyu, tetapi Musa tidak dapat melihat-Nya, karena terhalang oleh tabir berupa cahaya. Penerimaan wahyu semacam ini merupakan salah satu macam cara penyampaian wahyu Allah kepada para nabi-Nya. Hal ini disebut Allah dalam firman-Nya:
Dan tidaklah patut bagi seorang manusia bahwa Allah akan berbicara kepadanya kecuali dengan perantaraan wahyu atau dari belakang tabir atau dengan mengutus utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki…. (asy-Syura/42: 51).
Mahasuci Allah, Tuhan seluruh alam yang berbuat menurut apa yang dikehendaki-Nya. Tidak ada satu makhluk pun yang menyamai-Nya. Dia Mahaagung dan Mahatinggi dari seluruh makhluk-Nya. Yang didengar Musa itu ialah suara firman Allah. Hal ini dinyatakan Allah dalam ayat kesembilan bahwa yang menyeru dan memanggilnya ialah Allah, bukan suara makhluk. Allah Mahaperkasa atas segala sesuatu, Mahabijaksana dalam firman dan perbuatan-Nya.
Tafsir Quraish Shihab: Tatkala Musa sampai ke tempat api itu, ia diseru, “Mereka yang berada di dekat atau di sekitar perapian, yaitu malaikat dan Musa sendiri, akan mendapatkan berkah. Allah Mahasuci dari segala sifat yang tidak layak disandangkan kepada-Nya.
Surah An-Naml Ayat 9
يَا مُوسَى إِنَّهُ أَنَا اللَّهُ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Terjemahan: (Allah berfirman): “Hai Musa, sesungguhnya, Akulah Allah, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Tafsir Jalalain: يَا مُوسَى إِنَّهُ (Hai Musa! Sesungguhnya) keadaan yang sebenarnya أَنَا اللَّهُ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (Akulah Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana).
Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah Ta’ala: يَا مُوسَى إِنَّهُ أَنَا اللَّهُ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (“[Allah berfirman]: ‘Hai Musa, sesungguhnya Akulah Allah, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.’”) yakni memberitahukan bahwa yang mengajak bicara dan berdialog dengannya adalah Rabb, Allah al-Aziiz Yang Mahaperkasa dan menundukkan segala sesuatu serta Mahabijaksana dalam segala perbuatan dan firman-Nya.
Tafsir Kemenag: Ketika Musa datang mendekat ke arah api itu, ternyata yang disangkanya api itu bukan seperti api yang biasa dilihatnya, tetapi cahaya yang memancar dari sejenis tumbuh-tumbuhan rambut berwarna hijau yang melilit dan menjuntai pada sebuah dahan kayu. Cahaya yang terpancar dari pohon itu bersinar cemerlang, sedang dahan pohon itu tetap hijau dan segar, tidak terbakar atau layu.
Musa tidak menemukan seorang pun di tempat itu, sehingga ia merasa heran dan tercengang melihat keadaan yang demikian. Ia bermaksud hendak memetik sebagian dari nyala api itu dari dahan yang condong kepadanya.
Waktu ia mencoba menyulut nyala api itu, Musa merasa takut. Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba ia diseru oleh satu suara yang datangnya dari arah pohon itu. Suara yang menyeru itu menyatakan bahwa yang berada di dekat api itu pasti diberkahi, yaitu Musa dan para malaikat.
Pernyataan itu merupakan salam dan penghormatan dari Allah kepada Nabi Musa sebagaimana salam para malaikat kepada Nabi Ibrahim dalam firman-Nya: Rahmat Allah dan berkat-Nya, dicurahkan atas kamu wahai ahlulbait. (Hud/11: 73)
‘Abdullah bin ‘Abbas menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “diberkahi” di sini ialah yang disucikan Allah. Menurutnya, yang kelihatan oleh Nabi Musa seperti api itu bukanlah api, melainkan cahaya yang menyala-nyala seperti api. Cahaya itu adalah cahaya Tuhan Semesta Alam. Hal ini dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan Abu ‘Ubaidah dari Abu Musa al-Asy’ari bahwa Nabi Muhammad bersabda:
Sesungguhnya Allah tidak tidur dan tidak pantas bagi Allah itu tidur, Dia menurunkan dan menaikkan timbangan, amal malam hari diangkat ke hadapan-Nya sebelum siang, dan amal siang sebelum malam, dan tabir-Nya adalah cahaya. Andaikata Ia membuka tabir-Nya, pasti kesucian cahaya wajah-Nya membakar segala sesuatu yang tercapai oleh pandangan-Nya di antara ciptaan-Nya. (Riwayat Muslim)
Peristiwa itu terjadi ketika Musa sampai di tempat yang diberkahi, yaitu lembah suci yang bernama Lembah thuwa, sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya:.. Dia diseru dari (arah) pinggir sebelah kanan lembah, dari sebatang pohon, di sebidang tanah yang diberkahi…. (al-Qasas/28: 30).
Dan firman Allah yang berbunyi: Ketika Tuhan memanggilnya (Musa) di lembah suci yaitu Lembah thuwa. (an-Naziat/79: 16).
Seruan Allah yang didengar Musa di lembah suci thuwa ini merupakan wahyu pengangkatan Nabi Musa sebagai rasul. Ia diutus Allah untuk menyampaikan risalah kepada Fir’aun di Mesir, dengan dibekali bermacam-macam mukjizat.
Musa berhadapan langsung dengan Allah ketika menerima wahyu, tetapi Musa tidak dapat melihat-Nya, karena terhalang oleh tabir berupa cahaya. Penerimaan wahyu semacam ini merupakan salah satu macam cara penyampaian wahyu Allah kepada para nabi-Nya. Hal ini disebut Allah dalam firman-Nya:
Dan tidaklah patut bagi seorang manusia bahwa Allah akan berbicara kepadanya kecuali dengan perantaraan wahyu atau dari belakang tabir atau dengan mengutus utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki…. (asy-Syura/42: 51).
Mahasuci Allah, Tuhan seluruh alam yang berbuat menurut apa yang dikehendaki-Nya. Tidak ada satu makhluk pun yang menyamai-Nya. Dia Mahaagung dan Mahatinggi dari seluruh makhluk-Nya. Yang didengar Musa itu ialah suara firman Allah. Hal ini dinyatakan Allah dalam ayat kesembilan bahwa yang menyeru dan memanggilnya ialah Allah, bukan suara makhluk. Allah Mahaperkasa atas segala sesuatu, Mahabijaksana dalam firman dan perbuatan-Nya.
Tafsir Quraish Shihab: Wahai Musa, sungguh Aku adalah Allah. Hanya Akulah yang berhak dipertuhan, Yang Maha Menundukkan segala sesuatu, Yang Mahabijaksana yang meletakkan sesuatu pada tempatnya.
Surah An-Naml Ayat 10
وَأَلْقِ عَصَاكَ فَلَمَّا رَآهَا تَهْتَزُّ كَأَنَّهَا جَانٌّ وَلَّى مُدْبِرًا وَلَمْ يُعَقِّبْ يَا مُوسَى لَا تَخَفْ إِنِّي لَا يَخَافُ لَدَيَّ الْمُرْسَلُونَ
Terjemahan: dan lemparkanlah tongkatmu”. Maka tatkala (tongkat itu menjadi ular dan) Musa melihatnya bergerak-gerak seperti dia seekor ular yang gesit, larilah ia berbalik ke belakang tanpa menoleh. “Hai Musa, janganlah kamu takut. Sesungguhnya orang yang dijadikan rasul, tidak takut di hadapan-Ku.
Tafsir Jalalain: وَأَلْقِ عَصَاكَ (Dan lemparkanlah tongkatmu”) Musa melemparkannya. فَلَمَّا رَآهَا تَهْتَزُّ (Tatkala Musa melihat tongkatnya bergerak-gerak) bergerak ke sana dan ke mari كَأَنَّهَا جَانٌّ (seperti seekor ular yang gesit) ular yang sangat besar tapi gesit gerakannya وَلَّى مُدْبِرًا وَلَمْ يُعَقِّبْ (larilah ia berbalik ke belakang tanpa menoleh) karena takut. Allah swt. berfirman, يَا مُوسَى لَا تَخَفْ (“Hai Musa! Janganlah kamu takut) oleh ular itu.
إِنِّي لَا يَخَافُ لَدَيَّ (Sesungguhnya tidak takut di hadapan-Ku) yakni di sisi-Ku الْمُرْسَلُونَ (orang-orang yang dijadikan Rasul) mereka tidak takut oleh ular dan selainnya.
Tafsir Ibnu Katsir: Kemudian Musa diperintahkan untuk melemparkan tongkat dari tangannya untuk menampakkan suatu bukti nyata bahwa Dia adalah pelaku berkehendak yang Mahakuasa terhadap segala sesuatu. Ketika Musa melemparkan tongkat tersebut dari tangannya, saat itu juga berubah menjadi ular besar yang ganas dan lincah.
Untuk itu Allah berfirman: فَلَمَّا رَآهَا تَهْتَزُّ كَأَنَّهَا جَانٌّ (“Maka tatkala Musa melihatnya bergerak-gerak seperti seekor ular yang gesit.”) al-jaann; adalah sejenis ular yang amat gesit dan banyak bergerak. Ketika Musa menyaksikan hal tersebut, وَلَّى مُدْبِرًا وَلَمْ يُعَقِّبْ (“Larilah ia berbalik ke belakang tanpa menoleh.”) yaitu berpaling dengan cepat.
يَا مُوسَى لَا تَخَفْ إِنِّي لَا يَخَافُ لَدَيَّ الْمُرْسَلُونَ (“Hai Musa, jangan kamu takut. Sesungguhnya orang yang dijadikan Rasul tidak takut di hadapan-Ku.”) yakni janganlah engkau takut terhadap apa yang engkau lihat. Sesungguhnya Aku hendak memilihmu menjadi Rasul dan menjadikanmu sebagai Nabi yang terkemuka.
Tafsir Kemenag: Ayat ini adalah rentetan pembicaraan langsung antara Allah dan Musa di lembah suci thuwa. Setelah Musa diangkat sebagai nabi dan rasul, Allah memerintahkan Musa untuk melemparkan tongkat yang dipegang tangan kanannya.
Ketika tongkat itu dilemparkan, Musa melihatnya bergerak-gerak seperti seekor jann, yaitu sejenis ular yang sangat gesit geraknya. Tidak terlintas di hati Musa sedikit pun bahwa tongkatnya itu akan berubah menjadi ular, padahal dengan tongkat itu Musa dapat mengambil manfaat dalam kehidupan sehari-hari sebagai penggembala kambing. Hal ini dinyatakan Allah dalam firman-Nya:
Dia (Musa) berkata, “Ini adalah tongkatku, aku bertumpu padanya, dan aku merontokkan (daun-daun) dengannya untuk (makanan) kambingku, dan bagiku masih ada lagi manfaat yang lain.” (thaha/20: 18).
Ketika Musa melihat tongkatnya menjadi ular, dia lari berbalik ke belakang tanpa menoleh, karena merasa sangat ketakutan. Pada saat itu, Allah berfirman kepada Musa agar jangan takut, karena sesungguhnya orang yang diangkat menjadi rasul tidak patut takut di hadapan-Nya.
Seruan Allah ini didahului dengan perintah untuk datang ke hadapan-Nya dan dijamin keamanannya. Maka Allah menegaskan dengan firman-Nya:..”Wahai Musa! Kemarilah dan jangan takut. Sesungguhnya engkau termasuk orang yang aman. (Al-Qasas/28: 31).
Selain itu, Allah memerintahkan Musa untuk memegang ular tersebut agar menjadi tongkat kembali. Ini merupakan mukjizat yang pertama bagi Musa. Firman Allah:
Dia (Allah) berfirman, “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula. (thaha/20: 21).
Adapun orang yang takut kepada Allah ialah orang-orang yang berbuat zalim, yang menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Zalim itu bisa terhadap diri sendiri, orang lain, maupun makhluk-makhluk Allah lain.
Orang yang sungguh-sungguh bertobat kepada Allah, tidak akan berbuat zalim lagi, kemudian mengiringinya dengan perbuatan baik, tidak perlu takut menghadapi Allah. Hal ini merupakan kabar gembira bagi mereka dan juga bagi seluruh umat manusia,
sebagaimana perilaku para tukang sihir Fir’aun yang beriman kepada Musa sebagai utusan Allah. Siapa saja yang berbuat dosa, kemudian menghentikan diri dari perbuatan-perbuatan tersebut dan bertobat, maka Allah akan menerima tobatnya. Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya:
Dan sungguh, Aku Maha Pengampun bagi yang bertobat, beriman, dan berbuat kebajikan, kemudian tetap dalam petunjuk. (thaha/20: 82).
Dan firman-Nya lagi: Dan barang siapa berbuat kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian dia memohon ampunan kepada Allah, niscaya dia akan mendapatkan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (an-Nisa’/4: 110).
Tafsir Quraish Shihab: Demi kelangsungan misi dakwahmu, lemparlah tongkatmu!” Ketika Musa melemparkan tongkatnya dan menjelma dalam seekor ular, Musa terperangah dan beringsut ke belakang. Allah menenangkan hati Musa dan berfirman kepadanya, “Kamu tak perlu merasa takut, karena rasul-rasul Kami tidak memiliki rasa takut saat Kami berbicara dengan mereka.
Lebih dari satu kali Alquran menuturkan kisah Musa. Di satu bagian kisah itu tidak diuraikan secara rinci, ada bagian yang dipotong, yang kemudian disebutkan pada bagian lain. Semua itu ada kaitannya dengan proses pewahyuannya kepada Muhammad, Rasulullah ﷺ. Pada bagian ini kisah itu dituturkan untuk menhilangkan rasa heran Nabi Muhammad saat menerima wahyu dari Allah.
Surah An-Naml Ayat 11
إِلَّا مَن ظَلَمَ ثُمَّ بَدَّلَ حُسْنًا بَعْدَ سُوءٍ فَإِنِّي غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Terjemahan: tetapi orang yang berlaku zalim, kemudian ditukarnya kezalimannya dengan kebaikan (Allah akan mengampuninya); maka seaungguhnya Aku Maha Pangampun lagi Maha Penyayang.
Tafsir Jalalain: إِلَّا (Tetapi) مَن ظَلَمَ (orang-orang yang berlaku zalim) berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri ثُمَّ بَدَّلَ حُسْنًا (kemudian menggantinya dengan kebaikan) yang ia lakukan بَعْدَ سُوءٍ (sesudah keburukannya itu) bertobat daripadanya فَإِنِّي غَفُورٌ رَّحِيمٌ (maka sesungguhnya Aku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang) menerima tobatnya dan mengampuninya.
Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah Ta’ala: إِلَّا مَن ظَلَمَ ثُمَّ بَدَّلَ حُسْنًا بَعْدَ سُوءٍ فَإِنِّي غَفُورٌ رَّحِيمٌ (“Tetapi orang yang berlaku dhalim, kemudian ditukarnya kedhalimannya dengan kebaikan [Allah akan mengampuninya]; maka sesungguhnya Aku Maha pengampun lagi Maha penyayang.”) ini merupakan istisna munqathi’ [pengecualian terputus] dan mengandung kabar gembira yang sangat besar untuk manusia.
Hal itu disebabkan bahwa barangsiapa yang dahulunya melakukan amal yang buruk, kemudian ia mencabut diri, kembali bertaubat dan berserah diri, maka Allah pasti menerima taubatnya, sebagaimana Allah berfirman yang artinya: “Dan sesungguhnya Aku Mahapengampun bagi orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih, kemudian tetap di jalan yang benar.” (ThaaHaa: 82). Sedangkan ayat-ayat yang menjelaskan masalah ini banyak sekali.
Tafsir Kemenag: Adapun orang yang takut kepada Allah ialah orang-orang yang berbuat zalim, yang menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Zalim itu bisa terhadap diri sendiri, orang lain, maupun makhluk-makhluk Allah lain.
Orang yang sungguh-sungguh bertobat kepada Allah, tidak akan berbuat zalim lagi, kemudian mengiringinya dengan perbuatan baik, tidak perlu takut menghadapi Allah. Hal ini merupakan kabar gembira bagi mereka dan juga bagi seluruh umat manusia, sebagaimana perilaku para tukang sihir Fir’aun yang beriman kepada Musa sebagai utusan Allah.
Siapa saja yang berbuat dosa, kemudian menghentikan diri dari perbuatan-perbuatan tersebut dan bertobat, maka Allah akan menerima tobatnya. Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya: Dan sungguh, Aku Maha Pengampun bagi yang bertobat, beriman, dan berbuat kebajikan, kemudian tetap dalam petunjuk. (thaha/20: 82).
Dan firman-Nya lagi: Dan barang siapa berbuat kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian dia memohon ampunan kepada Allah, niscaya dia akan mendapatkan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (an-Nisa’/4: 110).
Tafsir Quraish Shihab: Tetapi, barangsiapa melakukan perbuatan terlarang lalu mengubah kesalahannya dengan berbuat baik, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Mahabesar rahmat-Nya.
Surah An-Naml Ayat 12
وَأَدْخِلْ يَدَكَ فِي جَيْبِكَ تَخْرُجْ بَيْضَاءَ مِنْ غَيْرِ سُوءٍ فِي تِسْعِ آيَاتٍ إِلَى فِرْعَوْنَ وَقَوْمِهِ إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ
Terjemahan: Dan masukkanlah tanganmu ke leher bajumu, niscaya ia akan ke luar putih (bersinar) bukan karena penyakit. (Kedua mukjizat ini) termasuk sembilan buah mukjizat (yang akan dikemukakan) kepada Fir’aun dan kaumnya. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik”.
Tafsir Jalalain: وَأَدْخِلْ يَدَكَ فِي جَيْبِكَ (Dan masukkanlah tanganmu ke leher bajumu) yakni kerah bajumu تَخْرُجْ (niscaya ia akan keluar) berbeda keadaannya dengan warna kulit tangan biasa بَيْضَاءَ مِنْ غَيْرِ سُوءٍ (putih bukan karena penyakit) supak, dan memancarkan cahaya yang menyilaukan mata, hal itu sebagai mukjizat فِي تِسْعِ آيَاتٍ (termasuk sembilan buah mukjizat) yang kamu diutus untuk membawanya إِلَى فِرْعَوْنَ وَقَوْمِهِ إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ (yang akan dikemukakan kepada Firaun dan kaumnya. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik”).
Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah: وَأَدْخِلْ يَدَكَ فِي جَيْبِكَ تَخْرُجْ بَيْضَاءَ مِنْ غَيْرِ سُوءٍ (“Dan masukkanlah tanganmu ke leher bajumu, niscaya dia akan keluar putih bukan kerena penyakit.”) ini adalah tanda lain dan dalil yang kuat tentang kekuasaan Allah yang berbuat dan menentukan pilihan serta membenarkan orang yang diberikan mukjizat.
Hal ini dikarenakan Allah Ta’ala memerintahkan Musa untuk memasukkan tangannya ke kantong bajunya dan mengeluarkannya kembali, niscaya akan keluar cahaya putih bersinar seakan-akan sepotong bulan yang memiliki cahaya bersinar seperti sambaran kilat.
Firman Allah: فِي تِسْعِ آيَاتٍ (“termasuk sembilan buah ayat”) dua bagian ini adalah bagian dari sembilan ayat yang Aku jadikan sebagai pendukungmu dan Aku jadikan hal itu sebagai bukti nyata kepada Fir’aun dan kaumnya. إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ (“Sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik.”) inilah sembilan ayat yang difirmankan Allah swt:
وَلَقَدْ آتَيْنَا مُوسَى تِسْعَ آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ (“Dan sesungguhnya Kami telah memberikan kepada Musa sembilan buah mukjizat yang nyata.”) (al-Israa’: 101). Sebagaimana telah berlalu rincian yang demikian dalam tempatnya.
Tafsir Kemenag: Pada ayat ini, Allah menunjukkan kekuasaan-Nya yang lain, setelah menunjukkan kekuasaan-Nya mengubah benda mati yang berada di tangan Musa menjadi makhluk hidup berupa ular. Kemudian Musa diperintahkan untuk memasukkan tangannya ke ketiak, melalui belahan leher bajunya. Ketika dikeluarkan, tangan itu mengeluarkan cahaya berwarna putih cemerlang. Ini merupakan mukjizat kedua Musa.
Dua macam mukjizat Musa ini merupakan bagian dari sembilan mukjizat yang diberikan Allah kepadanya. Mukjizat ini menjadi bukti kepada Fir’aun dan kaumnya bahwa Musa adalah utusan Allah untuk mengajak ke jalan yang benar dan diridai-Nya. Jumlah mukjizat Musa yang sembilan itu ditegaskan Allah dalam firman-Nya:
Dan sungguh, Kami telah memberikan kepada Musa sembilan mukjizat yang nyata. (al-Isra’/17: 101).
Musa diutus Allah dengan bermacam-macam kejadian yang luar biasa untuk menghadapi Fir’aun dan kaumnya yang fasik, melampaui batas fitrah manusia. Bahkan Fir’aun mengaku dirinya sebagai Tuhan dan dibenarkan pengakuannya ini oleh kaumnya. Hal ini disebutkan Allah dalam firman-Nya: (Seraya) berkata, “Akulah tuhanmu yang paling tinggi.” (an-Nazi’at/79: 24).
Tafsir Quraish Shihab: Masukkan tanganmu ke dalam saku bajumu, maka tanganmu itu akan memancarkan cahaya putih kemilau tanpa cacat.” Itulah salah satu dari sembilan mukjizat yang diberikan pada Musa yang diutus oleh Allah kepada Fir’aun dan kaumnya, suatu kaum yang telah melanggar perintah dan mendurhakai Allah.
Kesembilan mukjizat itu adalah: terbelahnya lautan yang diikuti oleh badai, belalang, serangga, katak, darah, kekeringan, tongkat dan tangan yang memancarkan cahaya putih.
Surah An-Naml Ayat 13
فَلَمَّا جَاءَتْهُمْ آيَاتُنَا مُبْصِرَةً قَالُوا هَذَا سِحْرٌ مُّبِينٌ
Terjemahan: Maka tatkala mukjizat-mukjizat Kami yang jelas itu sampai kepada mereka, berkatalah mereka: “Ini adalah sihir yang nyata”.
Tafsir Jalalain: فَلَمَّا جَاءَتْهُمْ آيَاتُنَا مُبْصِرَةً (Maka tatkala mukjizat-mukjizat Kami yang jelas itu sampai kepada mereka) tampak dengan cemerlang lagi jelas قَالُوا هَذَا سِحْرٌ مُّبِينٌ (berkatalah mereka, “Ini adalah sihir yang nyata”) yakni jelas ilmu sihirnya.
Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah: فَلَمَّا جَاءَتْهُمْ آيَاتُنَا مُبْصِرَةً (“Maka tatkala mukjizat-mukjizat Kami sampai kepada mereka mubshirah”) yakni secara jelas, nyata dan tampak. Qaaluu هَذَا سِحْرٌ مُّبِينٌ (“Berkatalah mereka: ‘Ini adalah sihir yang nyata.’”) dan mereka hendak mengalahkannya dengan sihir mereka, lalu mereka dikalahkan dan menjadikan mereka orang-orang yang hina, wa jahaduu biHaa (“dan mereka mengingkarinya”) dalam urusan mereka yang paling nyata.
Tafsir Kemenag: Ketika Musa berhadapan dengannya, Fir’aun mengaku bahwa dirinya adalah tuhan. Fir’aun minta bukti kepada Musa bahwa ia benar-benar utusan Allah. Musa sebagai utusan Allah memberi bukti dengan melemparkan tongkatnya yang kemudian menjadi ular yang bergerak dengan gesit, kemudian memasukkan tangannya ke ketiaknya melalui belahan leher bajunya, lalu dikeluarkan maka tangannya menjadi putih bersinar cemerlang bagi orang-orang yang melihatnya.
Ayat ini menjelaskan bahwa kedua bukti di atas sangat jelas menjadi saksi nyata bahwa Musa benar-benar utusan Allah. Akan tetapi, mereka mengingkari bukti-bukti tersebut dan berkata bahwa hal itu adalah sihir semata.
Tafsir Quraish Shihab: Pada saat mukjizat itu datang secara jelas dan terang, mereka mengatakan, “Ini adalah sihir yang nyata.”
Surah An-Naml Ayat 14
وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا فَانظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ
Terjemahan: Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.
Tafsir Jalalain: وَجَحَدُوا بِهَا (Dan mereka mengingkarinya) maksudnya mereka tidak mengakuinya sebagai mukjizat (padahal) sesungguhnya وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنفُسُهُمْ (hati mereka meyakininya) bahwa hal itu semuanya datang dari sisi Allah dan bukan ilmu sihir ظُلْمًا وَعُلُوًّا (tetapi kelaliman dan kesombonganlah) yang mencegah mereka dari beriman kepada apa yang dibawa oleh Nabi Musa itu, karenanya mereka ingkar.
فَانظُرْ (Maka perhatikanlah) hai Muhammad كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ (betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan itu) sebagaimana yang kamu ketahui, yaitu mereka dibinasakan.
Tafsir Ibnu Katsir: وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنفُسُهُمْ (“Padahal hati mereka meyakininya”) mereka mengetahui dalam diri mereka bahwa hal tersebut adalah kebenaran dari sisi Allah, akan tetapi mereka mengingkari, menentang dan menyombongkan diri terhadapnya. ظُلْمًا وَعُلُوًّا (“Karena kedhaliman dan kesombongan.”) yaitu mendhalimi diri mereka sebagai satu sifat yang terlaknat, dan عُلُوًّا yaitu sombong untuk mengikuti kebenaran. Untuk itu Allah Ta’ala berfirman:
فَانظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ (“Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.”) perhatikanlah wahai Muhammad, bagaimana akibat perkara mereka dimana Allah membinasakan dan menenggelamkan mereka secara menyeluruh dalam satu waktu. Konsekuensi baliknya adalah Dia berfirman:
“Waspadailah hai orang-orang yang mendustakan dan menentang apa yang dibawa oleh Muhammad dari apa yang menimpa orang-orang dahulu. Sesungguhnya Muhammad saw. adalah lebih mulia dan lebih besar daripada Musa.”
Dalilnya lebih nyata dan lebih kuat daripada dalil Musa berupa dalil-dalil yang diberikan Allah swt. yang disertai dengan keberadaan dirinya dan biografinya serta tanda-tanda yang mendahuluinya dari para Nabi dan perjanjian yang diambil dari Rabb-nya.
Tafsir Kemenag: Mereka mendustakan bukti-bukti tersebut dengan perkataan, sedangkan di dalam hati kecil, mereka membenarkan bahwa Musa utusan Allah. Mereka ingkar karena hati mereka dipenuhi sifat zalim dan rasa sombong, akibatnya mereka tidak mau mengikuti kebenaran. Sikap mereka yang takabur, sombong, dan tinggi hati ditegaskan Allah dalam firman-Nya:.. Tetapi mereka angkuh dan mereka memang kaum yang sombong. (al-Mu’minun/23: 46).
Hal ini merupakan peringatan bagi Nabi Muhammad dan umatnya. Mereka diseru untuk memperhatikan akibat yang dialami Fir’aun dan kaumnya, yaitu binasa tenggelam di laut, sebagaimana Allah berfirman:
Maka Kami hukum sebagian di antara mereka, lalu Kami tenggelamkan mereka di laut karena mereka telah mendustakan ayat-ayat Kami dan melalaikan ayat-ayat Kami. (al-A’raf/7: 136).
Ayat di atas juga merupakan peringatan bagi orang-orang yang mendustakan Nabi Muhammad. Mereka akan menerima akibat yang sama seperti orang-orang dahulu yang mendustakan ajaran-ajaran Allah.
Tafsir Quraish Shihab: Mereka mendustakan dan mengingkari mukjizat yang membuktikan kebenaran misi kerasulan Musa, padahal hati mereka merasa yakin akan kebenaran itu. Tapi mereka tidak mau tunduk lantaran sikap tinggi hati mereka dalam kebatilan dan sikap mereka yang tiran.
Maka perhatikanlah, Muhammad, nasib orang-orang yang suka membuat kerusakan hingga sampai hati mengingkari mukjizat yang sangat jelas itu.
Shadaqallahul ‘adzhim. Alhamdulillah, kita telah pelajari bersama kandungan Surah An-Naml Ayat 7-14 berdasarkan Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Kemenag dan Tafsir Quraish Shihab. Semoga menambah khazanah ilmu Al-Qur’an kita.
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 663-664 – Kitab Adzan - 30/08/2020
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 662 – Kitab Adzan - 30/08/2020
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 661 – Kitab Adzan - 30/08/2020