Surah An-Nisa Ayat 101; Seri Tadabbur Al Qur’an

An-Nisa Ayat 101

Pecihitam.org – Surah An-Nisa Ayat 101 menjelaskan tentang hukum dan ketentuan mengqashar shalat di perjalanan atau tatkala seorang muslim sedang safar.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Allah SWT berfirman dalam Al Qur’an Surah An-Nisa Ayat 101:

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا

Terjemahan: Dan jika kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar Shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.

Penjelasan: وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ yaitu jika kalian melakukan perjalanan di sebuah negeri. Firman-Nya: فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ yakni kalian diberi keringanan atau kemudahan, yaitu segi jumlahnya yang dari empat menjadi dua, sebagaimana yang difahami oleh Jumhur ulama dari ayat ini.

Ayat ini dijadikan dalil oleh para Ulama tentang bolehnya mengqashar shalat ketika sedang dalam perjalanan, meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan mereka.

Sebagian Ulama berpendapat, bahwa perjalanan tersebut harus dalam rangka taat seperti jihad, haji, umrah, menuntut ilmu atau ziarah dan lain-lain. Sebagaimana yang telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Atha’ dan Yahya, dari Malik dalam satu riwayatnya, karena zahir firman-Nya: إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا (Jika kalian takut diserang oleh orang-orang kafir)

Ada pula Ulama yang lain berpendapat, bahwa tidak disyaratkan perjalanan tersebut dalam rangka taqarrub. Akan tetapi perjalanan harus dalam perkara yang mubah, karena firman-Nya dalam QS Al Maidah ayat 3 yang artinya: “Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa”. Sebagaimana dibolehkannya memakan bangkai dalam keadaan darurat dengan syarat bukan maksiat dalam perjalanannya. Pendapat ini adalah pendapat Imam Syafi’i, Ahmad dan imam-imam yang lain.

Bahkan ada pula yang berpendapat lain bahwa cukup apa saja yang dinamakan perjalanan, baik itu mubah maupun haram, meskipun seandainya dia keluar untuk merampok dan membegal, maka diringankan baginya (untuk mengqashar), karena mutlaknya kata perjalanan. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Ats-Tsauri dan Abu Dawud, karena keumuman ayat. Dan ini berbeda dengan Mayoritas ulama.

Baca Juga:  Surah An Nisa Ayat 75-79; Seri Tadabbur Al Qur'an

إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا ayat ini hanya memberikan gambaran tentang yang terjadi saat diturunkannya, sebab sesungguhnya di Awal-awal masa Umat Islam hijrah, umumnya perjalanan mereka dipenuhi rasa takut. Bahkan mereka tidak keluar selain ketika menuju perang umum atau dalam suatu pasukan khusus. Semua waktu di saat itu adalah gambaran peperangan terhadap Islam dan para penganutnya.

Setiap manthuq (bahasa Nash) jika menempati kebiasaan atau peristiwa, maka tidak berlaku majhumnya (istinbath/analisis) Misalnya firman Allah yang artinya: “Dan jangan paksa budak-budak perempuanmua untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian” (QS. An-Nur: 33). Dan juga seperti Firman Allah yang lain yang artinya: “Dan anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu.” (QS. An-Nisa: 23).

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ya’la bin Umayyah, ia berkata: Saya bertanya kepada Umar bin Khaththab tentang firman Allah: فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا Padahal manusia sekarang sudah aman. Maka Umar berkata kepadaku: “Saya juga merasa heran sebagaimana yang engkau herankan.” Kemudian saya bertanya kepada Rasulullah SAW tentang hal tersebut. Beliau bersabda: “Itulah shadaqah yang diberikan Allah kepada kalian. Maka terimalah shadaqah-Nya.” (Demikian pula yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ahlus Sunan. At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”).

Imam Bukhari berkata, Ma’mar Abdul Warits bercerita kepada kami, Yahya bin Abu Ishaq bercerita kepada kami, ia berkata, saya mendengar Anas berkata: “Kami keluar bersama Nab SAW dari Madinah menuju Mekkah. Beliau shalat dua rakaat dua rakaat, hingga kami kembali ke Madinah.” Saya berkata: “Berapa lama kalian tinggal di Mekkah?” Dia menjawab: “Sepuluh hari.” (Demikian pula yang dikeluarkan oleh jama’ah).

(Berdasarkan) lafaz Bukhari, Abul Walid bercerita hal tersebut kepada kami, Syu’bah menceritakan pada kami, Abu Ishaq menceritakan kepada kami, saya mendengar Haritsah bin Wahb berkata: “Rasulullah shalat bersama kami dalam keadaan aman selama di Mina dua rakaat.”

Imam Bukhari meriwayatkan dan Abdullah bin Umar, ia mengatakan: “Saya pernah shalat bersama Nabi SAW dua rakaat dan demikian juga dengan Abu Bakar, Umar, serta Utsman di awal pemerintahannya, kemudian dia (Utsman) menyempurnakannya (tidak mengqashar).” (Demikian juga riwayat Muslim).

Baca Juga:  Surah An Nisa Ayat 66-70; Seri Tadabbur Al Qur'an

Imam Bukhari meriwayatkan juga dari al-A’masy, Ibrahim mengabarkan pada kami, saya mendengar Abdurrahman bin Yazid mengatakan: Utsman bin Affan shalat bersama kami di Mina empat rakaat, maka hal tersebut disampaikan kepada Abdullah bin Mas’ud dan dia pun mengucapkan: “Innaa lillaahiwainnaa ilaihi raaji’uun,” Lalu berkata: “Saya telah shalat bersama Rasulullah SAW di Mina 2 rakaat dan shalat bersama Abu Bakar di Mina 2 rakaat dan shalat bersama Umar di Mina juga 2 rakaat. Semoga 2 rakaat dari empat rakaat itu di terima.”

Hadits-hadits tersebut di atas menunjukkan secara tegas bahwa syarat shalat qashar bukan hanya dengan adanya kondisi takut. Maka itu, sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud qashar di sini adalah qashar kaifiyyat (meringkas cara), bukan meringkas bilangan rakaatnya (karena bilangan shalat itu aslinya dua rakaat –penterjemah-)

Inilah pendapat Mujahid, adh-Dhahhak dan as-Suddi, sebagaimana akan datang penjelasannya. Mereka berpegang juga dengan hadits yang diriwayatkan Imam Malik dari Aisyah bahwa ia mengatakan: “Shalat diwajibkan dua-dua rakaat di dalam perjalanan dan di tempat. Lalu hal itu ditetapkan untuk shalat safar dan ditambahkan pada shalat di tempat.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Yahya bin Yahya serta Abu Dawud dari al-Qa’nabi dan an-Nasai dari Qutaibah.

Keempat dari Malik. Mereka mengatakan: “Jika asal shalat dalam safar itu 2 rakaat, maka bagaimana mungkin maksud qashar di sini adalah qashar dalam bilangan (rakaatnya)?” Karena sesuatu yang merupakan bentuk asal, maka tidak mungkin dikatakan terhadapnya,” Maka tidaklah mengapa engkau mengashar shalatmu.

Lebih jelas lagi penunjukannya dari Surah An-nisa ayat 101 ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Umar, ia berkata: “Shalat safar 2 rakaat, shalat Dhuha 2 rakaat, shalat Idul Fitri 2 rakaat dan shalat Jum’at 2 rakaat adalah sempurna tanpa qashar menurut lisan Nabi SAW (Hal yang sama diriwayatkan juga oleh an-Nasai, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya menurut beberapa jalan dari Zubaid al-Yami dan sanad hadits ini sesuai dengan syarat Muslim).

Baca Juga:  Surah Nuh Ayat 21-24; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Imam Muslim meriwayatkan dalam Kitab Shahihnya, (juga) Abu Dawud, an-Nasai dan Ibnu Majah dari Abdullah bin Abbas mengatakan: “Allah mewajibkan shalat atas lisan Nabi kalian Muhammad, di tempat 4 rakaat dan di dalam perjalanan 2 rakaat, serta pada waktu takut 1 (satu) rakaat. Sebagaimana ditempat itu ada shalat sebelum dan sesudahnya, begitu pula di dalam perjalanan.” (Hadits Riwayat Ibnu Majah ini benar dari Ibnu Abbas)

Hadits ini bukan berarti bertentangan dengan hadits Aisyah terdahulu, karena dia (Aisyah) menceritakan bahwa asal shalat adalah 2 rakaat, namun ditambah di waktu ada di tempat. Ketika hal itu sudah tetap, maka sah jika dikatakan, bahwa ketentuan shalat di tempat adalah 4 (empat) rakaat, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Abbas. Wallahu a’lam.

Akan tetapi di antara hadits Ibnu Abbas dan Aisyah mereka sepakat bahwasanya shalat safar adalah 2 (dua) rakaat dan hal tersebut dikerjakan secara sempurna dan bukan qashar.

Jika demikian, maka maksud firman Allah SWT: فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ adalah qashar kaifiyyat, sebagaimana dalam shalat khauf. Untuk itu Allah berfirman: إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا

Maka dari itu, Allah SWT setelah ayat ini berfirman: “Dan jika kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan shalat,… ” dan ayat seterusnya (QS. An-Nisa: 102). Maka pada ayat berikutnya, Dia menjelaskan maksud qashar di sini (pada ayat ini), serta menyebutkan sifat-sifat dan cara-caranya.

Demikian penjelasan Al Qur’an Surah An-Nisa Ayat 101 yang telah kita tadabburi bersama. Semoga bermanfaat

M Resky S