Surah At-Thalaq Ayat 1; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an

Surah At-Thalaq Ayat 1

Pecihitam.org – Kandungan Surah At-Thalaq Ayat 1 ini, sebelum membahas kandugan ayat terlebih dahulu kita mengetahui isi kandungan surh. Surah ini membicarakan beberapa hukum talak dan idah (‘iddah) dengan berbagai jenis dan hukumnya. Di antaranya adalah, misalnya, orang yang sedang dalam masa idah harus tetap tinggal di rumah tempat ia dijatuhi talak, kewajiban suami memberi nafkah dan tempat tinggal kepadanya, dan sebagainya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Di sela-sela pembicaraan tentang beberapa hukum di atas, seperti umumnya cara yang digunakan di dalam al-Qur’ân, Allah memberikan janji kepada orang yang melaksanakan segala perintah- Nya dan ancaman kepada orang yang melanggar ketentuan-Nya. Disinggung pula akibat yang diterima oleh orang-orang yang enggan melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya.

Surah ini ditutup dengan anjuran kepada orang-orang Mukmin untuk senantiasa bertakwa, peringatan kepada mereka akan karunia pengutusan rasul yang membacakan ayat-ayat Allah untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya dan penjelasan tentang kekuasaan Allah yang besar dalam menciptakan tujuh langit dan, seperti itu pula, bumi.

Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Surah At-Thalaq Ayat 1

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ إِذَا طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحۡصُواْ ٱلۡعِدَّةَ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ رَبَّكُمۡ لَا تُخۡرِجُوهُنَّ مِنۢ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخۡرُجۡنَ إِلَّآ أَن يَأۡتِينَ بِفَٰحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ وَتِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ ٱللَّهِ فَقَدۡ ظَلَمَ نَفۡسَهُۥ لَا تَدۡرِى لَعَلَّ ٱللَّهَ يُحۡدِثُ بَعۡدَ ذَٰلِكَ أَمۡرًا

Terjemahan: Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.

Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.

Tafsir Jalalain: يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ (Hai Nabi!) makna yang dimaksud ialah umatnya, pengertian ini disimpulkan dari ayat selanjutnya. Atau makna yang dimaksud ialah, katakanlah kepada mereka إِذَا طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ (apabila kalian menceraikan istri-istri kalian) apabila kalian hendak menjatuhkan talak kepada mereka فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ (maka hendaklah kalian ceraikan mereka pada waktu mereka menghadapi idahnya) yaitu pada permulaan idah, seumpamanya kamu menjatuhkan talak kepadanya sewaktu ia dalam keadaan suci dan kamu belum menggaulinya.

Pengertian ini berdasarkan penafsiran dari Rasulullah saw. sendiri menyangkut masalah ini; demikianlah menurut hadis yang telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim وَأَحۡصُواْ ٱلۡعِدَّةَ (dan hitunglah waktu idahnya) artinya jagalah waktu idahnya supaya kalian dapat merujukinya sebelum waktu idah itu habis وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ رَبَّكُمۡ (serta bertakwalah kepada Allah Rabb kalian) taatlah kalian kepada perintah-Nya dan larangan-Nya.

لَا تُخۡرِجُوهُنَّ مِنۢ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخۡرُجۡنَ (Janganlah kalian keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka diizinkan keluar) dari rumahnya sebelum idahnya habis إِلَّآ أَن يَأۡتِينَ بِفَٰحِشَةٍ (kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji) yakni zina مُّبَيِّنَةٍ (yang terang) dapat dibaca mubayyinah, artinya terang, juga dapat dibaca mubayyanah, artinya dapat dibuktikan.

Maka bila ia melakukan hal tersebut dengan dapat dibuktikan atau ia melakukannya secara jelas, maka ia harus dikeluarkan untuk menjalani hukuman hudud.

وَتِلۡكَ (Itulah) yakni hal-hal yang telah disebutkan itu حُدُودُ ٱللَّهِ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ ٱللَّهِ فَقَدۡ ظَلَمَ نَفۡسَهُۥ لَا تَدۡرِى لَعَلَّ ٱللَّهَ يُحۡدِثُ بَعۡدَ ذَٰلِكَ (hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu) sesudah perceraian itu أَمۡرًا (sesuatu hal yang baru) yaitu rujuk kembali dengan istri yang telah dicerainya, jika talak yang dijatuhkannya itu baru sekali atau dua kali.

Tafsir Ibnu Katsir: Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Syihab, Salimm memberitahuku, ‘Abdullah bin ‘Umar pernah memberitahunya, bahwa dia pernah menceraikan istrinya ketika dia dalam keadaan haidh. Kemudian ‘Umar menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah saw. maka beliau marah dan bersabda:

“Hendaknya dia merujuknya kembali, lalu menahannya hingga ia bersih dari haidhnya itu, lalu haidh dan bersih lagi. Jika masih ingin menceraikannya, maka ceraikanlah dia dalam keadaan bersih sebelum dia bercampur dengannya. Itulah ‘iddah yang telah diperintahkan oleh Allah swt.” Demikian hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari di sini, dan dia juga telah meriwayatkan di beberapa tempat dalam kitabnya.

Dan menurut riwayat Muslim dengan lafadz sebagai berikut: “Itulah ‘iddah yang telah diperintahkan Allah jika seorang laki-laki hendak menceraikan istrinya.” (HR Muslim)

Baca Juga:  Tafsir Surah Al Baqarah Ayat 216-218; Hukum Perang dalam Islam

Demikian hadits yang diriwayatkan oleh para penulis kitab Sunan dan Musnad, melalui jalan yang beragam dan juga dengan lafadz yang banyak. Adapun lafadz yang paling mendekati adalah apa yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya, melalui jalan Ibnu Juraij; Abuz Zubair memberitahuku, bahwasannya dia pernah mendengar ‘Abdurrahman bin Aiman, maula ‘Uzzah, dia bertanya kepada ‘Umar, sedang Abuz Zubair mendengarnya:

“Bagaimana pendapatmu tentang seorang laki-laki yang menceraikan istrinya ketika sedang haidh?” Dia menjawab: “Ibnu ‘Umar pernah menceraikan istrinya ketika sedang haidh pada masa Rasulullah saw. maka beliau bersabda: ‘Hendaknya dia merujuknya kembali.’ kemudian diapun merujuknya kembali lalu beliau bersabda lagi: ‘Jika dia sudah bersih, maka ceraikanlah dia atau pertahankanlah.’ Ibnu Umar mengatakan: ‘Pada saat itu, Nabi saw. membacakan ayat:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ إِذَا طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ (“Hai Nabi, jika engkau menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah engkau ceraikan mereka pada waktu mereka dapat [menghadapi] ‘iddahnya [yang wajar].”)”

Al-A’masy meriwayatkan dari ‘Abdullah mengenai firman Allah Ta’ala: فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ (“Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat [menghadapi] ‘iddahnya [yang wajar].”) dia mengatakan: “Yaitu ketika bersih dan belum melakukan hubungan badan.”

Hal ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Umar, ‘Atha’, Mujahid, al-Hasan, Ibnu Sirin, Qatadah, Maimun bin Mihram, Muqatil bin Hayyan. Dan hal itu merupakan riwayat dari ‘Ikrimah dan adh-Dhahhak.

Mengenai firman-Nya: فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ (“Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat [menghadapi] ‘iddahnya [yang wajar].”) ‘Ikrimah mengatakan: “Yang dimaksud dengan ‘iddah adalah bersih, sedangkan al-qur-u berarti haidh.

Seorang suami dapat menceraikan istrinya yang sedang hamil ketika diketahui jelas kehamilannya, dia tidak boleh menceraikannya sedang dia telah melakukan hubungan badan dengannya, tetapi dia tidak mengetahui apakah istrinya itu hamil atau tidak.”

Dari sinilah para fuqaha membagi masalah perceraian ini menjadi dua bagian, yaitu cerai Sunnah dan cerai bid’ah. Yang dimaksud dengan cerai sunnah adalah jika seorang suami menceraikan istrinya dalam keadaan bersih dan tidak mencampurinya atau tidak dalam keadaan hamil dan telah diketahui kebenaran hamilnya.

Sedangkan cerai bid’ah adalah jika seorang suami menceraikan istrinya dalam keadaan haidh atau dalam keadaan bersih dan telah dicampuri, dan dia tidak mengetahui apakah istrinya itu hamil atau tidak. Sedangkan cara ketiga adalah bukan cerai sunnah dan bukan cerai bid’ah, yaitu menceraikan wanita yang masih kecil [belum pernah menjalani haidh], wanita tua yang sudah mengalami menopouse, dan wanita yang tidak pernah dicampuri. Dan pembahasan masalah tersebut dan hal-hal yang berkenaan dengannya terdapat dalam ktiab-kitab furu’. wallaaHu a’lam.

Firman Allah: وَأَحۡصُواْ ٱلۡعِدَّةَ (“Dan hitunglah waktu ‘iddah itu”) maksudnya, hafalkan dan ketahuilah permulaannya agar ‘iddah itu tidak dijalani oleh wanita secara bekepanjangan sehingga dia terhalang untuk menikah lagi. وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ رَبَّكُمۡ (“dan bertakwalah kepada Allah, Rabbmu.”) yakni, dalam melakukan hal tersebut.

Firman Allah: لَا تُخۡرِجُوهُنَّ مِنۢ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخۡرُجۡنَ (“Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka [diizinkan] keluar.”) yakni, dalam masa ‘iddah itu dia masih berhak tinggal di rumah suaminya yang telah menceraikannya dan suaminya tidak boleh mengusirnya dari rumahnya itu. Di lain pihak, dia tidak boleh keluar dari rumah tersebut karena dia masih terikat dengan hak suami.

إِلَّآ أَن يَأۡتِينَ بِفَٰحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ (“Kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.”) maksudnya para istri itu tidak boleh keluar rumah kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji secara nyata, pada saat itu dia boleh pergi dari rumah.

Yang dimaksud dengan perbuatan keji secara nyata itu mencakup perbuatan zina, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Sa’id bin al-Musayyab, asy-Sya’bi, al-Hasan, Ibnu Sirin, Mujahid, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Abu Qilabah, Abu Shalih, adh-Dhahhak, Zaid bin Aslam, ‘Atha’ al-Khurasani, as-Suddi, Sa’id bin Abi Hilal, dan lain-lain. Dan juga mencakup tindakan nusyuz (penentangan istri terhadap suami) yang mereka lakukan atau mereka menyakiti keluarga suaminya, baik dalam bentuk ucapan ataupun perbuatan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ubay bin Ka’ab, Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah dan lain-lain.

Dan firman-Nya: وَتِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِ (“Itulah hukum-hukum Allah”) yakni syariat dan larangan-Nya. وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ ٱللَّهِ (“Dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah.”) yakni keluar dari batas-batas hukum-Nya melanggar dan tidak menerapkannya. فَقَدۡ ظَلَمَ نَفۡسَهُۥ (“Maka sesungguhnya dia telah berbuat dhalim terhadap dirinya sendiri.”) yakni dengan mengerjakan hal tersebut.

Baca Juga:  Surah At-Thalaq Ayat 8-11; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

لَا تَدۡرِى لَعَلَّ ٱللَّهَ يُحۡدِثُ بَعۡدَ ذَٰلِكَ أَمۡرًا (“Kamu tidak mengetahui barangkali Alah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.”) sesungguhnya alasan Kami [Allah] menyuruh istri yang dicerai untuk tinggal di rumah suami yang telah menceraikannya selama ‘iddah itu karena barangkali saja dia menyesali perceraiannya itu dan Allah menumbuhkan semangat dalam hatinya untuk kembali merujuknya. Sehingga dengan demikian, akan lebih mudah dan gampang.

Az-Zuhri menceritakan dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdullah, dari Fathimah binti Qais mengenai firman-Nya: لَا تَدۡرِى لَعَلَّ ٱللَّهَ يُحۡدِثُ بَعۡدَ ذَٰلِكَ أَمۡرًا (“Kamu tidak mengetahui barangkali Alah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.”) ia berkata: “Yakni rujuk.” Demikian yang dikatakan oleh asy-Sya’bi, ‘Atha’, Qatadah, adh-Dhahhak, Muqatil bin Hayyan, dan ats-Tsauri.

Bertolak dari hal tersebut di atas, beberapa ulama salaf –seperti imam Ahmad bin Hambal- dan para pengikut mereka, berpendapat bahwa wanita yang dijatuhi talak ba’in [nyata] tidak berkewajiban untuk tinggal di rumah suaminya, demikian juga wanita yang ditinggal wafat oleh suaminya.

Dalam hal itu mereka bersandar pada hadits Fathimah binti Qais al-Fahriyyah ketika dia diceraikan oleh suaminya, Abu ‘Amr bin Hafsh pada talak terakhir. Ketika itu Abu ‘Amr tidak berada di sisinya, tetapi ia berada di Yaman. Ia mengirimkan utusan kepada istrinya untuk menyampaikan berita itu.

Abu ‘Amr mengirimkan wakilnya kepada istrinya dengan membawa gandum sebagai nafkah. Tetapi istrinya itu marah kepadanya. Maka dia [Abu ‘Amr] pun berkata: “Engkau tidak berhak mendapatan nafkah dari kami.” Setelah itu wanita tersebut mendatangi Rasulullah saw. lalu beliau pun bersabda:

“Engkau sudah tidak berhak mendapatkan nafkah darinya.” Dan menurut riwayat Muslim: “Dan tidak juga tempat tinggal.” Kemudian beliau memerintahkan istrinya itu untuk menjalani ‘iddah di rumah ummu Syuraik. Selanjutnya Rasulullah saw. bersabda:

“Dia adalah wanita yang banyak didatangi oleh para shahabatku. Jalanilah ‘iddah di rumah ummi Maktum, sesungguhnya dia itu orang buta, engkau dapat melepaskan pakaianmu.” (musnad al-Imam Ahmad dan Sunan Abi Dawud)

Imam Ahmad meriwayatkan melalui jalan lain dan lafadz yang lain pula, dimana dia berkata, Yahya bin Sa’id memberitahu kami dari Mujahid, dari ‘Amir, dia bercerita: Aku sampai di kota Madinah, kemudian aku mendatangi Fathimah binti Qais, lalu dia memberitahuku bahwa suaminya telah menceraikannya di masa Rasulullah saw. Lalu beliau mengirimkan suaminya itu untuk berperang dalam salah satu peperangan.

Kemudian saudaranya berkata kepadaku: “Keluarlah dari rumah ini.” Dan kukatakan: “Aku masih berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal sampai masa ‘iddah selesai.” “Tidak bisa.” Sahutnya. Maka, lanjut Fathimah, “Aku langsung mendatangi Rasulullah saw. dan kukatakan:

“Sesungguhnya si fulan telah menceraikanku, saudara laki-lakinya pun mengusirku dan menghalangiku tinggal di rumahnya dan mendapatkan nafkah.” Maka beliaupun bersabda kepada laki-laki itu: “Apa yang telah terjadi antara engkau dengan anak perempuan Qais itu?” Dia mengatakan:

“Ya Rasulallah, saudaraku telah menceraikannya tiga kali sekaligus.” Rasulullah saw. bersabda: “Perhatikanlah hal itu wahai puteri keluarga Qais, yang berhak menerima nafkah dan tempat tinggal itu hanyalah istri yang dicerai suaminya selama suaminya itu berhak untuk merujuknya kembali. namun jika dia sudah tidak berhak lagi merujuknya, maka istrinya itu tidak berhak lagi mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Keluarlah engkau dari rumah itu, dan tinggallah di rumah fulanah.”

Kemudian beliaupun bersabda: “Ia adalah wanita yang sering dikunjungi shahabatku.” Lalu beliau bersabda: “Tinggallah engkau di rumah Ibnu Ummi Maktum, karena dia seorang buta yang tidak dapat melihatmu.”” Kemudian dia menyebutkan hadits secara lengkap.

Tafsir Kemenag: Dalam ayat ini, khithab (seruan) Allah ditujukan kepada Nabi Muhammad, tetapi pada hakikatnya dimaksudkan juga kepada umatnya yang beriman. Allah menyerukan kepada orang-orang mukmin apabila mereka ingin menceraikan (menalak) istri-istri mereka, agar melakukannya ketika istrinya langsung bisa menjalani idahnya, yaitu pada waktu istri-istri itu suci dari haid dan belum dicampuri, sebagaimana dijelaskan dalam satu hadis Nabi saw yang berasal dari Ibnu ‘Umar:

‘Abdullah bin ‘Umar telah menalak istrinya dalam keadaan haid. Lalu ‘Umar bin Khaththab menanyakan hal itu kepada Nabi saw, lalu beliau memerintahkan ‘Abdullah bin ‘Umar merujuk istrinya, menahan istrinya (tinggal bersama) sampai masa suci. Lalu menunggu masa haidnya lagi sampai suci, maka setelah itu jika ia menginginkan tinggal bersama istrinya (maka lakukanlah), dan jika ia ingin menalak istrinya (maka lakukanlah) sebelum menggaulinya. Demikianlah masa idah yang diperintahkan Allah ketika perempuan ditalak. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Baca Juga:  Surah Thaha Ayat 60-64; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Seorang suami yang akan menalak istrinya, agar meneliti dan memperhitungkan betul kapan idah istrinya mulai dan kapan berakhir, agar istri langsung bisa menjalani idahnya sehingga tidak menunggu terlalu lama. Suami juga diminta melaksanakan hukum-hukum dan memenuhi hak-hak istri yang harus dipenuhi selama masa idah.

Hendaklah suami itu takut kepada Allah dan jangan menyalahi apa yang telah diperintahkan-Nya mengenai talak, yaitu menjatuhkan talak pada masa yang direstui-Nya dan memenuhi hak istri yang di talak. Antara lain, janganlah sang suami mengeluarkan istri yang ditalaknya dari rumah yang ditempatinya sebelum ditalak dengan alasan marah dan sebagainya, karena menempatkan istri itu pada tempat yang layak adalah hak istri yang telah diwajibkan Allah selama ia masih dalam idah.

Sang suami juga dilarang untuk mengeluarkan istri yang sedang menjalani idah dari rumah yang ditempatinya. Apalagi membiarkan keluar sekehendaknya, karena yang demikian merupakan pelanggaran agama, kecuali apabila istri terang-terangan mengerjakan perbuatan keji, seperti melakukan perbuatan zina dan sebagainya.

Jika sang istri berkelakuan tidak sopan terhadap mertua, maka bolehlah ia dikeluarkan dari tempat tinggalnya. Demikianlah batas-batas dan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan Allah mengenai talak, idah, dan sebagainya.

Oleh karena itu, barang siapa melanggar hukum-hukum Allah itu, berarti ia berbuat zalim kepada dirinya sendiri. Andaikata Allah menakdirkan satu perubahan, lalu hati suami berbalik menjadi cinta lagi kepada istrinya yang telah ditalaknya dan merasa menyesal atas perbuatannya kemudian ia ingin rujuk kembali, maka baginya sudah tertutup jalan, bila keinginannya itu dilaksanakan sesudah habis masa idahnya karena ia telah menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan kepadanya.

Istri yang dimaksud di sini ialah istri yang sudah atau masih haid dan sudah dicampuri sesudah akad nikah. Ada pun istri yang masih kecil atau sudah ayisah (tidak haid lagi) atau belum dicampuri sesudah akad nikah, apabila ditalak, mempunyai hukum idah tersendiri. Berbeda dengan hukum yang berlaku seperti tersebut di atas.

Tafsir Quraish Shihab: Surah ini membicarakan beberapa hukum talak dan idah (‘iddah) dengan berbagai jenis dan hukumnya. Di antaranya adalah, misalnya, orang yang sedang dalam masa idah harus tetap tinggal di rumah tempat ia dijatuhi talak, kewajiban suami memberi nafkah dan tempat tinggal kepadanya, dan sebagainya.

Di sela-sela pembicaraan tentang beberapa hukum di atas, seperti umumnya cara yang digunakan di dalam al-Qur’ân, Allah memberikan janji kepada orang yang melaksanakan segala perintah- Nya dan ancaman kepada orang yang melanggar ketentuan-Nya. Disinggung pula akibat yang diterima oleh orang-orang yang enggan melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya.

Surah ini ditutup dengan anjuran kepada orang-orang Mukmin untuk senantiasa bertakwa, peringatan kepada mereka akan karunia pengutusan rasul yang membacakan ayat-ayat Allah untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya dan penjelasan tentang kekuasaan Allah yang besar dalam menciptakan tujuh langit dan, seperti itu pula, bumi.]]

Wahai Nabi, jika kamu hendak menjatuhkan talak kepada istri-istrimu maka jatuhkanlah talak itu ketika mereka sedang dalam keadaan suci yang tidak dicampuri. Tepatkanlah hitungan masa idah dan bertakwalah kepada Tuhanmu. Jangan izinkan istri-istri yang kamu jatuhi talak itu keluar dari tempat mereka ditalak. Jangan izinkan mereka keluar kecuali jika melakukan perbuatan keji yang sangat nyata.

Ketentuan- ketentuan itu merupakan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah untuk para hamba-Nya. Barangsiapa yang melanggar ketentuan Allah maka sesungguhnya ia telah menzalimi diri sendiri. Kamu, hai orang yang melanggar, tidak mengetahui barangkali Allah akan mewujudkan sesuatu yang tidak diperkirakan, sesudah talak itu, sehingga kedua pasangan suami-istri itu kembali saling mencintai.

Shadaqallahul ‘adzhim. Alhamdulillah, kita telah pelajari bersama kandungan Surah At-Thalaq Ayat 1 berdasarkan Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Kemenag dan Tafsir Quraish Shihab. Semoga menambah khazanah ilmu Al-Qur’an kita.

M Resky S