Surah Fussilat Ayat 33-36; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an

Surah Fussilat Ayat 33-36

Pecihitam.org – Kandungan Surah Fussilat Ayat 33-36 ini, menerangkan cara yang paling baik menghadapi orang-orang kafir, yaitu orang yang sabar ketika menderita kesulitan dan kesengsaraan, dapat menahan marah, tidak pendendam, dan suka memaafkan..

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Kebaikan yang diridai Allah dan diberi pahala itu tidak sama dengan keburukan yang dibenci-Nya dan orang yang melakukannya pasti diazab.

Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Surah Fussilat Ayat 33-36

Surah Fussilat Ayat 33
وَمَنۡ أَحۡسَنُ قَوۡلًا مِّمَّن دَعَآ إِلَى ٱللَّهِ وَعَمِلَ صَٰلِحًا وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ ٱلۡمُسۡلِمِينَ

Terjemahan: “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?”

Tafsir Jalalain: وَمَنۡ أَحۡسَنُ قَوۡلًا (Siapakah yang lebih baik perkataannya) maksudnya, tiada seorang pun yang lebih baik perkataannya مِّمَّن دَعَآ إِلَى ٱللَّهِ (daripada seorang yang menyeru kepada Allah) yakni mentauhidkan-Nya وَعَمِلَ صَٰلِحًا وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ ٱلۡمُسۡلِمِينَ (mengerjakan amal yang saleh dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?”).

Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah: وَمَنۡ أَحۡسَنُ قَوۡلًا مِّمَّن دَعَآ إِلَى ٱللَّهِ (“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah.”) yakni menyeru para hamba Allah kepada-Nya. وَعَمِلَ صَٰلِحًا وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ ٱلۡمُسۡلِمِينَ (“Dan mengerjakan amal yang shalih dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.’”) artinya dia sendiri menjalankan apa yang dikatakannya, maka manfaaatnya untuk dirinya sendiri dan orang lain.

Dia bukan termasuk orang-orang yang memerintahkan kepada yang ma’ruf akan tetapi dia sendiri mengerjakannya. Serta melarang dari kemungkaran akan tetapi dia sendiri mengerjakannyha. Akan tetapi ia adalah orang yang melaksanakan kebaikan, meninggalkan keburukan dan menyeru manusia kepada kebaikan yang menyeru manusia kepada kebaikan dan dia sendiri melaksanakannya.

Rasulullah saw. adalah manusia yang lebih utama dalam masalah ini, sebagaimana yang dikatakan oleh Muhammad bin Sirin, as-Suddi dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam.

Satu pendapat mengatakan bahwa yang dimaksud adalah para muadzin yang baik, sebagaimana tercantum dalam shahih Bukhari: “Para muadzin adalah manusia yang terpanjang lehernya pada hari kiamat.”
Dan di dalam kitab sunan secara marfu’: “Imam adalah penanggungjawab dan muadzin adalah pemegang amanah. Semoga Allah memberikan hidayah kepada para imam dan mengampuni para muadzin.”

Ibnu Mas’ud berkata: “Seandainya dulu aku seorang muadzin, niscaya aku tidak berhaji, tidak berumrah, ataupun berjihad.” Umar bin al-Khaththab berkata: “Seandainya dulu aku seorang muadzin, niscaya sempurnalah urusanku. Dan aku tidak peduli apakah aku tidak mendirikan qiyamul lail ataupun shiyam sepanjang hari.” Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Ya Allah ampunilah para muadzin.” (3x)

Al-Baghawi menyebutkan dari Abu Umamah al-Bahili, bahwa dia berkata tentang firman Allah: wa ‘amila shaalihan (“Mengerjakan amal yang shalih.”) yaitu shalat dua rakaat antara adzan dan iqamat. Kemudian al-Baghawi membawakan hadits Abdullah al-Mughaffal, ia berkata: “Rasulullah saw. bersabda: ‘Di antara setiap dua adzan terdapat shalat –kemudian beliau bersabda pada [ucapan] yang ketiga- bagi orang yang menghendakinya.’”)

Dan diriwayatkan oleh beberapa ahli hadits dalam kitab-kitab mereka, dari Abdullah bin Buraidah dan ats-Tsauri dari Zaid al-‘Ama, dari Abu Iyasy Mu’awiyah bin Qurrah, dari Anas bin Malik, dimana ats-Tsauri berkata: “Aku tidak melihatnya kecuali hal itu dinyatakannya sebagai hadits marfu’, bahwa Rasulullah saw. bersabda:

“Doa tidak ditolak antara adzan dan iqamat.” (Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i di dalam al-Yaum wal lailah, dari hadits ats-Tsauri, at-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan.” Dan diriwayatkan pula oleh an-Nasa’i dari hadits Salman at-Taimi dari Qatadah, dari Anas.)

Pendapat yang shahih bahwa ayat ini bersifat umum, mencakup para muadzin dan selain mereka.

Tafsir Kemenag: Ayat ini mencela orang-orang yang mengatakan yang bukan-bukan tentang Al-Qur’an. Al-Qur’an mempertanyakan: perkataan manakah yang lebih baik daripada Al-Qur’an, siapakah yang lebih baik perkataannya dari orang yang menyeru manusia agar taat kepada Allah.

Ibnu Sirin, as-Suddi, Ibnu Zaid, dan al-hasan berpendapat bahwa orang yang paling baik perkataannya itu ialah Rasulullah saw. Apabila membaca ayat ini, al-hasan berkata bahwa yang dimaksud adalah Rasulullah, ia adalah kecintaan dan wali Allah. Ia adalah yang disucikan Allah dan merupakan pilihan-Nya. Ia adalah penduduk bumi yang paling cinta kepada Allah.

Baca Juga:  Surah Al-An'am Ayat 136; Seri Tadabbur Al Qur'an

Allah memperkenankan seruannya dan ia menyeru manusia agar mengikuti seruan itu. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa ayat ini maksudnya umum, yaitu semua orang yang menyeru orang lain untuk menaati Allah. Rasulullah termasuk orang yang paling baik perkataannya, karena beliau menyeru manusia kepada agama Allah.

Ayat ini menerangkan bahwa seseorang dikatakan paling baik apabila perkataannya mengandung tiga perkara, yaitu: 1. Seruan pada orang lain untuk mengikuti agama tauhid, mengesakan Allah dan taat kepada-Nya. 2. Ajakan untuk beramal saleh, taat melaksanakan perintah-perintah Allah dan menghentikan larangan-Nya. 3. Menjadikan Islam sebagai agama dan memurnikan ketaatan hanya kepada Allah saja.

Dengan menerangkan perkataan yang paling baik itu, seakan-akan Allah menegaskan kepada Rasulullah bahwa tugas yang diberikan kepada beliau itu adalah tugas yang paling mulia. Oleh karena itu, beliau diminta untuk tetap melaksanakan dakwah, dan sabar dalam menghadapi kesukaran-kesukaran dan rintangan-rintangan yang dilakukan orang-orang kafir.

Dari ayat ini dipahami bahwa sesuatu yang paling utama dikerjakan oleh seorang muslim ialah memperbaiki diri lebih dahulu, dengan memperkuat iman di dada, menaati segala perintah Allah, dan menghentikan segala larangan-Nya. Setelah diri diperbaiki, serulah orang lain mengikuti agama Allah.

Orang yang bersih jiwanya, kuat imannya, dan selalu mengerjakan amal yang saleh, ajakannya lebih diperhatikan orang, karena ia menyeru orang lain dengan keyakinan yang kuat dan dengan suara yang mantap, tidak ragu-ragu.

Tafsir Quraish Shihab: Tidak ada yang perkataannya lebih baik daripada orang yang mengajak mengesakan Allah dan menaati- Nya serta berbuat baik, sembari mengatakan, sebagai pengakuan atas akidah yang dipeluknya, “Aku benar- benar termasuk dalam golongan orang yang mematuhi perintah-perintah Allah.”

Surah Fussilat Ayat 34
وَلَا تَسۡتَوِى ٱلۡحَسَنَةُ وَلَا ٱلسَّيِّئَةُ ٱدۡفَعۡ بِٱلَّتِى هِىَ أَحۡسَنُ فَإِذَا ٱلَّذِى بَيۡنَكَ وَبَيۡنَهُۥ عَدَٰوَةٌ كَأَنَّهُۥ وَلِىٌّ حَمِيمٌ

Terjemahan: “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.

Tafsir Jalalain: وَلَا تَسۡتَوِى ٱلۡحَسَنَةُ وَلَا ٱلسَّيِّئَةُ (Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan) dalam tingkatan rinciannya, karena sebagian daripada keduanya berada di atas sebagian yang lain. ٱدۡفَعۡ (Tolaklah) kejahatan itu بِٱلَّتِى هِىَ (dengan cara) yakni dengan perbuatan أَحۡسَنُ (yang lebih baik) seperti marah, imbangilah dengan sabar, bodoh imbangilah dengan santunan, dan perbuatan jahat imbangilah dengan lapang dada atau pemaaf,

فَإِذَا ٱلَّذِى بَيۡنَكَ وَبَيۡنَهُۥ عَدَٰوَةٌ كَأَنَّهُۥ وَلِىٌّ حَمِيمٌ (maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah menjadi teman yang setia) maka jadilah yang dulunya musuhmu kini menjadi teman sejawat dalam hal saling kasih mengasihi, jika kamu mempunyai sikap seperti tersebut. Lafal Al Ladzii Mubtada, dan Ka-annahu adalah Khabarnya, lafal Idzaa menjadi Zharaf bagi makna Tasybih.

Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah: وَلَا تَسۡتَوِى ٱلۡحَسَنَةُ وَلَا ٱلسَّيِّئَةُ (“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan.”) yaitu terdapat perbedaan yang amat besar antara kebaikan dan kejahatan. ٱدۡفَعۡ بِٱلَّتِى هِىَ أَحۡسَنُ (“Tolaklah [kejahatan itu] dengan cara yang lebih baik.”) yaitu jika ada orang yang berlaku buruk kepadamu, maka tolaklah dengan cara yang lebih baik. Sebagaimana Umar berkata: “Tolaklah menghukum orang yang berbuat maksiat kepada Allah dalam dirimu sebagaimana bila engkau berbuat taat kepada Allah dalam dirinya.”

Firman Allah: فَإِذَا ٱلَّذِى بَيۡنَكَ وَبَيۡنَهُۥ عَدَٰوَةٌ كَأَنَّهُۥ وَلِىٌّ حَمِيمٌ (“Maka tiba-tiba orang yang di antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.”) yaitu sebagai teman baik. Yakni jika engkau berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat kepadamu, niscaya kebaikan itu akan mengarahkannya untuk bersikap tulus kepadamu, mencintaimu dan merindukanmu, sehingga seakan-akan dia menjadi teman setia, dalam arti mendekatimu dengan rasa kasih sayang dan berbuat baik.

Baca Juga:  Surah Fussilat Ayat 9-12; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Tafsir Kemenag: Ayat ini menerangkan bahwa kebaikan yang diridai Allah dan diberi pahala itu tidak sama dengan keburukan yang dibenci-Nya dan orang yang melakukannya pasti diazab. Ayat ini dapat ditafsirkan dengan pernyataan bahwa tidak sama dakwah orang yang menyeru kepada Allah dan mengikuti Islam, dengan perbuatan mencela orang-orang yang melaksanakan dakwah itu.

Sikap orang kafir yang mencela para dai diterangkan dalam firman Allah: ? Hati kami sudah tertutup dari apa yang engkau seru kami kepadanya? (Fushshilat/41: 5) Dan firman Allah: Dan orang-orang yang kafir berkata,

“Janganlah kamu mendengarkan (bacaan) Al-Qur’an ini dan buatlah kegaduhan terhadapnya, agar kamu dapat mengalahkan (mereka).” (Fushshilat/41: 26) Dengan ayat ini, seakan-akan Allah menyatakan kepada Rasulullah saw bahwa jika ia mengerjakan kebaikan, maka akan memperoleh ganjaran kebaikan berupa penghargaan selama hidup di dunia dan pahala yang besar di akhirat nanti.

Sedang orang-orang kafir yang mengerjakan kejahatan itu akan memperoleh penghinaan di dunia, dan di akhirat mereka akan memperoleh azab yang pedih. Rasulullah juga dilarang untuk membalas kejahatan mereka dengan kejahatan. Jika ia membalas kejahatan dengan kejahatan tentu mereka akan memperoleh kerugian yang berlipat ganda.

Oleh karena itu, Rasulullah diperintahkan untuk membalas kejahatan mereka dengan kebaikan. Kemudian Allah menerangkan cara membalas kejahatan orang-orang kafir itu dengan kebaikan dengan memerintahkan kepada Rasulullah agar membalas kebodohan dan kejahatan orang-orang kafir dengan cara yang paling baik, membalas perbuatan buruk mereka dengan perbuatan baik, memaafkan kesalahan mereka, dan menghadapi kemarahan mereka dengan kesabaran. Jika Nabi berbuat demikian, lambat laun mereka akan menilai sendiri perbuatan mereka, dan menimbulkan malu kepada mereka karena tindakan-tindakan mereka itu.

Allah menerangkan hasil yang akan diperoleh orang-orang yang beriman jika membalas perbuatan buruk orang-orang kafir dengan perbuatan baik. Allah mengatakan jika orang-orang beriman berhasil berbuat demikian, tentu permusuhan orang-orang kafir kepada mereka akan berubah menjadi persahabatan, kebencian akan berubah menjadi kecintaan.

Ibnu ‘Abbas berkata bahwa pada ayat ini, Allah memerintahkan kepada manusia agar berlaku sabar ketika marah, penyantun terhadap orang yang bodoh, dan memaafkan kesalahan orang. Jika seseorang mengerjakan yang demikian, Allah akan memelihara mereka dari setan, dan musuh-musuh mereka akan tunduk dan patuh kepada mereka.

Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki mencela Qunbur, budak ‘Ali bin Abi thalib, yang telah dimerdekakannya. ‘Ali lalu memanggilnya dan berkata, Wahai Qunbur, tinggalkanlah orang yang mencelamu itu, biarkanlah ia, semoga Tuhan Yang Maha Penyayang meridai, dan setan menjadi marah.”

Menurut Muqatil., ayat ini turun berhubungan dengan Abu Sufyan. Dia adalah salah seorang musuh Rasulullah yang paling besar. Akan tetapi karena kesabaran dan sikap Nabi yang baik kepadanya, Abu Sufyan menjadi sahabat Nabi yang akrab, dengan mengadakan hubungan perbesanan (mushaharah).

Tafsir Quraish Shihab: Sifat yang baik tidak sama dengan sifat yang buruk. Balaslah perlakuan tidak baik yang datang dari pihak lawan dengan perlakuaan yang lebih baik. Perlakuaan seperti itu akan membuat orang yang bermusuhan denganmu seolah-olah menjadi seorang teman yang tulus.

Surah Fussilat Ayat 35
وَمَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ٱلَّذِينَ صَبَرُواْ وَمَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ

Terjemahan: “Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.

Tafsir Jalalain: وَمَا يُلَقَّىٰهَآ (Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan) tidak akan diberikan إِلَّا ٱلَّذِينَ صَبَرُواْ وَمَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ذُو حَظٍّ (melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan) yakni pahala عَظِيمٍ (yang besar.).

Tafsir Ibnu Katsir: Kemudian Allah berfirman: وَمَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ٱلَّذِينَ صَبَرُواْ (“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar.” Tidak ada yang dapat menerima dan mengamalkan wasiat ini kecuali orang yang sabar atas hal ini, karena ini amat berat bagi jiwa.

Baca Juga:  Surah Fussilat Ayat 19-24; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

وَمَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (“Dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang sangat besar.”) yaitu orang yang mendapatkan bagian terbersar berupa kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Tafsir Kemenag: Pada ayat ini, Allah menerangkan cara yang paling baik menghadapi orang-orang kafir, yaitu orang yang sabar ketika menderita kesulitan dan kesengsaraan, dapat menahan marah, tidak pendendam, dan suka memaafkan.

Anas r.a. dalam menafsirkan ayat ini mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sabar dalam ayat ini ialah apabila seseorang dimaki oleh orang lain, ia berkata, “Jika engkau memakiku dengan alasan yang benar, mudah-mudahan Allah akan mengampuni dosamu. Jika engkau memakiku dengan alasan yang tidak benar, mudah-mudahan Allah mengampuni dosa-dosaku.”

Nasihat agar berlaku sabar, menahan marah, dan suka memaafkan kesalahan orang lain itu adalah suatu nasihat yang paling utama dan tinggi nilainya. Yang dapat menerima nasihat itu hanyalah orang-orang yang beriman dan beramal saleh, yang akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat nanti.

Qatadah mengatakan bahwa arti dari “keuntungan yang besar” ialah surga. Maksud ayat ini ialah kesabaran itu hanyalah dianugerahkan kepada orang-orang yang akan masuk surga.

Tafsir Quraish Shihab: Perlakuan seperti itu (membalas kejelekan dengan kebaikan) hanya diberikan kepada orang yang mempunyai sifat sabar dan orang yang mempunyai banyak kebaikan dan kesempurnaan jiwa.

Surah Fussilat Ayat 36
وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ ٱلشَّيۡطَٰنِ نَزۡغٌ فَٱسۡتَعِذۡ بِٱللَّهِ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ

Terjemahan: “Dan jika syetan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Tafsir jalalain: وَإِمَّا (Dan jika) lafal Immaa ini pada asalnya terdiri dari In Syarthiyyah dan Maa Zaidah yang kemudian keduanya diidgamkan menjadi satu sehingga jadilah Immaa يَنزَغَنَّكَ مِنَ ٱلشَّيۡطَٰنِ نَزۡغٌ (setan mengganggumu dengan suatu gangguan) yakni jika setan mengalihkan perhatianmu dari pekerti yang baik kepada pekerti yang buruk.

فَٱسۡتَعِذۡ بِٱللَّهِ (maka mohonlah perlindungan kepada Allah) lafal ayat ini menjadi Jawab Syarat, sedangkan Jawab Amar tidak disebutkan, yakni niscaya Dia akan menolak gangguan setan itu dalam dirimu. إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ (Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar) semua percakapan ٱلۡعَلِيمُ (lagi Maha Mengetahui) semua perbuatan.

Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah: وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ ٱلشَّيۡطَٰنِ نَزۡغٌ فَٱسۡتَعِذۡ بِٱللَّهِ (“Dan jika syaitan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah.”) maksudnya syaitan dari bangsa manusia terkadang dapat ditundukkan dengan cara berbuat baik kepadanya, sedangkan syaitan dari bangsa jin jika melakukan waswas, tidak ada jalan keluar baginya kecuali meminta perlindungan kepada [Rabb] Mahapencipta yang telah memperkenankannya menguasaimu. Jika engkau memohon perlindungan kepada Allah dan menuju kepada-Nya, niscaya Dia akan mencegahnya darimu dan menolak tipu dayanya.

Tafsir kemenag: Ayat ini menerangkan bahwa jika setan menggoda agar engkau membalas kejahatan dengan kejahatan pula, maka berlindunglah kepada Allah dari segala tipu daya setan yang terkutuk itu. Allah Maha Mendengar permohonanmu dan Maha Mengetahui segala yang dibisikkan setan ke dalam dadamu itu.

Tafsir Quraish Shihab: Jika kamu digoda oleh setan agar tidak melaksanakan hal-hal yang diperintahkan kepadamu itu, wahai orang yang mendengarkan pesan ini, berlindunglah kepada Allah yang ilmu dan pendengaran-Nya meliputi segala sesuatu. Dia pasti akan melindungimu.

Shadaqallahul ‘adzhim. Alhamdulillah, kita telah pelajari bersama kandungan Surah Fussilat Ayat 33-36 berdasarkan Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Kemenag dan Tafsir Quraish Shihab. Semoga menambah khazanah ilmu Al-Qur’an kita.

M Resky S