Surah Sad Ayat 1-3; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an

Surah Sad Ayat 1-3

Pecihitam.org – Kandungan Surah Sad Ayat 1-3 ini, sebelum membahas kandungan ayat terlebih dahulu kita mengetahui isi surah ini. Surah yang diturunkan di Mekah dan berisikan 88 ayat ini memberikan gambaran tentang salah satu bentuk sikap keras kepala orang-orang musyrik yang menolak dakwah Nabi Muhammad saw., di samping sikap dengki mereka karena Muhammad memperoleh kehormatan sebagai rasul dan menerima wahyu al-Qur’ân.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Di dalamnya dapat kita lihat, misalnya, bantahan terhadap ilusi-ilusi palsu yang mereka yakini benar, dan keterangan bahwa faktor yang mendorong mereka memerangi dakwah rasul adalah keyakinan palsu dan sikap mereka yang suka menentang dan berselisih.

Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Surah Sad Ayat 1-3

Surah Sad Ayat 1
صٓ وَٱلۡقُرۡءَانِ ذِى ٱلذِّكۡرِ

Terjemahan: Shaad, demi Al Quran yang mempunyai keagungan.

Tafsir Jalalain: ص (Shaad) hanya Allahlah yang mengetahui artinya وَالْقُرْآنِ ذِي الذِّكْرِ (demi Alquran yang mempunyai keagungan) yakni penjelasan atau kemuliaan. Jawab dari qasamnya tidak disebutkan, yaitu, bahwa perkaranya tidak seperti apa yang dikatakan oleh orang-orang kafir Mekah, tuhan itu bermacam-macam.

Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah: وَٱلۡقُرۡءَانِ ذِى ٱلذِّكۡرِ (Demi Al-Qur’an yang mempunyai keagungan) yaitu demi Al-Qur’an yang mencakup sesuatu yang mengandung peringatan bagi para hamba dan berbagai manfaat bagi mereka dalam kehidupan dunia dan akhirat. Adh-Dhahhak berkata tentang firman Allah:

ذِى ٱلذِّكۡرِ; seperti firman-Nya: laqad anzalnaa ilaikum kitaaban fiiHi dzikrukum (“Sesungguhnya telah kami turunkan kepadamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu.”)(al-Anbiyaa’: 10) yaitu peringatan bagi kalian.” Demikian pula dikatakan oleh Qatadah dan dipilih oleh Ibnu Jarir.

Ibnu Abbas, Sa’id bin Jubair, Ismail bin Abi Khalid, Ibnu ‘Uyainah, Abu Hushain, Abu Shalih dan as-Suddi berkata: “dzidz dzikr; artinya yang memiliki kemuliaan, yaitu memiliki posisi dan kedudukan.”

Kedua pendapat tersebut tidak saling bertentangan. Karena al-Qur’an adalah sebuah kitab yang mulia serta mengandung peringatan, alasan-alasan dan perhatian/peringatan. Mereka berbeda pendapatg mengenai jawaban sumpah ini. Sebagian di antara mereka berkata, yaitu firman Allah:

ing kullu illaa kadzdzabar rusula fahaqqa ‘iqaab (“Mereka semua itu tidak lain hanyalah mendustakan para Rasul, maka pastilah [bagi mereka] adzab-Ku.”)(Shaad: 14) pendapat lain mengatakan bahwa jawabannya adalah rangkaian surat secara sempurna. wallaaHu a’lam.

Tafsir Kemenag: Allah memulai firman-Nya dengan Fawatih as-Suwar “shad.”, seperti halnya Dia memulai beberapa surah yang diturunkan di Mekah dan dua buah surah yang diturunkan di Medinah. Mengenai penafsiran Fawatih as-Suwar telah dikemukakan secara luas pada penafsiran ayat yang pertama surah yang kedua (al-Baqarah dalam Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid 1).

Kemudian Allah bersumpah dengan Al-Qur’an yang mempunyai keagungan isinya, kemuliaan martabatnya serta kesempurnaan hukumnya yang mengagungkan dan menakjubkan.

Al-Qur’an disifati dengan “yang mempunyai keagungan” agar manusia memahami bahwa Al-Qur’an yang diturunkan kepada rasul-Nya itu benar-benar dari Allah, dan mengandung ajaran yang benar yang disampaikan oleh Rasulullah kepada seluruh manusia.

Tafsir Quraish Shihab: Surah yang diturunkan di Mekah dan berisikan 88 ayat ini memberikan gambaran tentang salah satu bentuk sikap keras kepala orang-orang musyrik yang menolak dakwah Nabi Muhammad saw., di samping sikap dengki mereka karena Muhammad memperoleh kehormatan sebagai rasul dan menerima wahyu al-Qur’ân.

Baca Juga:  Surah Sad Ayat 26; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Di dalamnya dapat kita lihat, misalnya, bantahan terhadap ilusi-ilusi palsu yang mereka yakini benar, dan keterangan bahwa faktor yang mendorong mereka memerangi dakwah rasul adalah keyakinan palsu dan sikap mereka yang suka menentang dan berselisih. Kalau saja siksa Allah telah mereka alami, mereka pasti tidak akan bersikap seperti itu terhadap Rasulullah saw.

Setelah itu, surah ini juga mengutarakan bahwa Allah telah memberikan contoh dari umat terdahulu agar dapat menjadi peringatan bagi mereka sehingga tidak lagi bersikap sombong dan ingkar. Juga agar hati Rasululllah tetap tegar dalam menyampaikan misi dakwah meskipun menemui banyak rintangan dan tipu daya dari orang-orang musyrik. Selain itu, juga agar Rasulullah bersyukur kepada Allah atas segala nikmat yang diberikan kepadanya seperti para nabi dan rasul lainnya.

Disebutkan pula, setelah itu, balasan yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa berupa tempat kembali yang baik. Sedang orang-orang yang durhaka hanya akan kembali ke tempat yang teramat buruk. Kemudian Allah mengingatkan mereka apa yang pernah terjadi antara Adam a. s. dan musuhnya, Iblis, agar mereka mengetahui bahwa sikap sombong dan enggan mengikuti kebenaran adalah sifat Iblis. Sifat itulah yang membuatnya terusir dari rahmat Allah.

Surah ini ditutup dengan pembatasan tugas Rasulullah saw., yaitu hanya sebatas menyampaikan misi dakwah. Untuk tugas itu Rasulullah tidak meminta upah sama sekali dari mereka. Tugas itu juga bukan atas dasar kemauan dirinya sendiri. Terakhir, juga dijelaskan bahwa al-Qur’ân adalah peringatan bagi semesta alam dan untuk diketahui kebenaran beritanya pada suatu saat.]]

Shâd adalah huruf yang mengawali surat ini yang merupakan salah satu cara al-Qur’ân mengawali sebagian surat-suratnya dengan beberapa huruf fonemis. Aku bersumpah dengan al-Qur’ân yang mempunyai kemuliaan dan keagungan bahwa al-Qur’ân itu adalah benar dan tidak ada keraguan di dalamnya.

Surah Sad Ayat 2
بَلِ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي عِزَّةٍ وَشِقَاقٍ

Terjemahan: Sebenarnya orang-orang kafir itu (berada) dalam kesombongan dan permusuhan yang sengit.

Tafsir Jalalain: بَلِ الَّذِينَ كَفَرُوا (Sebenarnya orang-orang kafir itu) yakni penduduk Mekah yang kafir فِي عِزَّةٍ (berada dalam kesombongan) hamiyyah dan takabbur tidak mau beriman وَشِقَاقٍ (dan permusuhan yang sengit) selalu menentang dan memusuhi Nabi saw.

Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah: بَلِ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي عِزَّةٍ وَشِقَاقٍ (“Sebenarnya orang-orang kafir itu [berada] dalam kesombongan dan permusuhan yang sengit.”) yang sesungguhnya di dalam al-Qur’an ini terdapat peringatan bagi orang-orang yang mengingatnya dan bagi orang yang mau mengambil pelajaran. Akan tetapi orang-orang kafir tidak dapat mengambil manfaatnya karena mereka,

فِي عِزَّةٍ; yaitu berada dalam kesombongan dan fanatisme buta. وَشِقَاقٍ; yaitu perselisihan, penentangan dan permusuhan terhadapnya. Kemudian, Dia peringatkan kepada mereka tentang siksaan yang membinasakan umat-umat yang mendustakan risalah sebelum mereka, disebabkan mereka menyelisihi para Rasul serta mendustakan kitab-kitab yang diturunkan dari langit.

Tafsir Kemenag: Allah mengungkapkan keadaan orang-orang kafir Mekah yang mengingkari kebenaran wahyu, dan tidak dapat melihat nilai-nilai kebenarannya, yang sebenarnya sangat penting bagi kesejahteraan mereka di dunia dan kebahagiaan di akhirat, karena kesombongan dan permusuhan yang bersarang dalam jiwa mereka.

Kesombongan mereka tampak pada tindakan mereka terhadap Rasul dan para pengikutnya. Mereka sangat merendahkan kaum Muslimin karena merasa lebih kuat dan lebih banyak hartanya. Sedangkan kaum Muslimin terdiri dari orang-orang miskin dan berjumlah sedikit.

Baca Juga:  Tadabbur Surah Ali Imran ayat 116-121; Tafsir dan Terjemahan

Permusuhan yang sengit itu disebabkan karena ajaran yang dibawa oleh Rasul itu mengancam agama nenek moyang mereka, dan menghinakan patung-patung yang mereka jadikan sembahan-sembahan di samping Allah.

Tafsir Quraish Shihab: Sebenarnya orang-orang kafir itu enggan mengikut kebenaran, dan selalu memusuhi pengikut kebenaran.

Surah Sad Ayat 3
كَمۡ أَهۡلَكۡنَا مِن قَبۡلِهِم مِّن قَرۡنٍ فَنَادَواْ وَّلَاتَ حِينَ مَنَاصٍ

Terjemahan: Betapa banyaknya umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan, lalu mereka meminta tolong padahal (waktu itu) bukanlah saat untuk lari melepaskan diri.

Tafsir Jalalain: كَمْ (Berapa banyak) sudah berapa banyak أَهْلَكْنَا مِنْ قَبْلِهِمْ مِنْ قَرْنٍ (umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan) yaitu dari kalangan umat-umat yang terdahulu, فَنَادَوْا (lalu mereka meminta tolong) sewaktu azab menimpa mereka وَلَاتَ حِينَ مَنَاصٍ (padahal waktu itu bukanlah saat untuk lari melepaskan diri) artinya, untuk melarikan diri dari azab, karena segalanya sudah terlambat.

Huruf Ta pada lafal Laata merupakan huruf Zaidah, dan jumlah kalimat ayat ini berkedudukan menjadi Hal atau kata keterangan keadaan dari Fa’ilnya lafal Naadau. Maksudnya, mereka meminta tolong padahal sudah tidak ada lagi jalan untuk melarikan diri, dan pula tidak ada lagi jalan untuk selamat dari azab. Akan tetapi penduduk Mekah yang kafir tidaklah mengambil pelajaran dari mereka yang telah dibinasakan itu.

Tafsir Ibnu Katsir: Firman Allah: كَمْ أَهْلَكْنَا مِنْ قَبْلِهِمْ مِنْ قَرْنٍ (“Betapa banyaknya umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan.”) yaitu umat yang mendustakan. فَنَادَوْا (“Lalu mereka meminta tolong.”) ketika adzab datang kepada mereka, mereka memohon pertolongan dan perlindungan kepada Allah Ta’ala dan hal ini tidak bermanfaat sedikitpun bagi mereka.

Abu Dawud ath-Thayalisi berkata, Syu’bah bercerita kepada kami dari Abu Ishaq, bahwa at-Taimi berkata, aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbas tentang firman Allah: فَنَادَوْا وَلَاتَ حِينَ مَنَاصٍ (“lalu mereka minta tolong, padahal [waktu itu] bukanlah saat untuk lari melepaskan diri.”) ia berkata: “Padahal waktu itu bukanlah saat meminta tolong atau lepas dan melarikan diri.”

Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi berkata tentang firman Allah: فَنَادَوْا وَلَاتَ حِينَ مَنَاصٍ (“lalu mereka minta tolong, padahal [waktu itu] bukanlah saat untuk lari melepaskan diri.”) mereka menyerukan tauhid serta saling memberi nasehat untu bertaubat ketika dunia berpaling dari mereka.

Dari Malik, dari Zaid bin Aslam, فَنَادَوْا وَلَاتَ حِينَ مَنَاصٍ (“lalu mereka minta tolong, padahal [waktu itu] bukanlah saat untuk lari melepaskan diri.”) tidak ada seruan selain pada saat [adanya] seruan.

Kalimat ini “laata”, “laa” yang digunakan untuk nafi’ [meniadakan] dengan ditambah “ta” sebagaimana tambahan pada “tsumma” dan “rubba” kemudian mereka mengatakan: “tsummata” dan “rubbata” yaitu dipisah dan diberhentikan atasnya. Kemudian jumhur membaca nashab [fathah] “haina” yang takdirnya “laisalhiinu hiina manaash” [waktu itu bukanlah saat untuk melarikan diri.”) dan di antara mereka ada ulama yang membolehkan nashah, lalu disenandungkan:

Tadzakkara hubba laila laata hiinaa. Wa adl-hasy syaibu qad qatha-‘al qariinaa “Dia ingat cinta Laila bukan pada saatnya. Sedangkan masa tua telah memutuskan berbagai kawan.”

Baca Juga:  Surah As-Saffat Ayat 171-179; Terjemahan dan Tafsir Al-Qur'an

Ada pula yang membolehkan jarr [kasrah] dan menyenandungkannya: Thalabuu shulhanaa walaata awaanin. Fa ajabnaa an laisa niinu baqaa-in (“Mereka meminta perjanjian dari kami bukan pada tempatnya. Lalu kami jawab bahwa tiada lagi saat untuk berlama-lama.”) Sebagian lagi menyenandungkan: wa laata saa’ati mandami (“Dan tiada lagi saat penyesalan.”)

Yaitu dengan menjarrkan kata “assaa’ati”. Para ahli bahasa berkata: “annuushu” adalah terbelakang, dan “albuushu” adalah terdepan. Untuk itu, Allah berfirman: فَنَادَوْا وَلَاتَ حِينَ مَنَاصٍ (“lalu mereka minta tolong, padahal [waktu itu] bukanlah saat untuk lari melepaskan diri.”) yakni pada waktu itu bukan saatnya melarikan diri atau pergi. Allah swt. Mahamemberi taufiq ke arah kebenaran.

Tafsir Kemenag: Allah mengecam kesombongan dan permusuhan mereka dengan menjelaskan bahwa betapa banyak umat sebelum mereka, yang menghina dan mengingkari rasul-rasul Allah, dibinasakan-Nya. Ketika azab itu ditimpakan, mereka meminta pertolongan kepada Allah. Namun permintaan itu tidak berguna lagi, dan mereka tidak akan dapat melepaskan diri dari siksa yang membinasakan.

Allah berfirman: Maka ketika mereka melihat azab Kami, mereka berkata, “Kami hanya beriman kepada Allah saja dan kami ingkar kepada sembahan-sembahan yang telah kami persekutukan dengan Allah.” (al-Mu’min/40: 84)

Dan firman-Nya: Maka ketika mereka merasakan azab Kami, tiba-tiba mereka melarikan diri dari (negerinya) itu. Janganlah kamu lari tergesa-gesa; kembalilah kamu kepada kesenangan hidupmu dan tempat-tempat kediamanmu (yang baik), agar kamu dapat ditanya. (al-Anbiya’/21: 12-13)

Pertama, Musa, Harun, dan kaumnya diselamatkan dari bencana yang besar. Sejak lama, orang Israil hidup di Mesir di bawah kekuasaan Fir’aun. Mereka disuruh melakukan pekerjaan yang berat dengan paksa dan diperlakukan sebagai budak belian.

Bahkan anak laki-laki mereka banyak yang dibunuh dan anak-anak perempuan dibiarkan hidup atas perintah dan ramalan dukun-dukun yang mengelilingi Fir’aun. Hampir saja mereka mengalami kemusnahan, jika Musa dan Harun tidak datang menyelamatkan mereka.

Kedua, di samping tertolongnya mereka dari kejaran Fir’aun, bahkan Firaun tenggelam di dasar laut, Bani Israil berhasil pula mengalahkan musuh-musuh lainnya, dan merebut kembali negeri-negeri mereka.

Mereka kembali dapat mengumpulkan harta kekayaan yang mereka peroleh sepanjang hidup, menjadi bangsa yang kuat, serta memiliki kekuatan dan kekuasaan hingga memiliki negara yang besar seperti zaman raja Talut dan Daud. Firman Allah:

Maka mereka mengalahkannya dengan izin Allah, dan Daud membunuh Jalut. Kemudian Allah memberinya (Daud) kerajaan, dan hikmah, dan mengajarinya apa yang Dia kehendaki?. (al-Baqarah/2: 251)

Tafsir Quraish Shihab: Betapa banyak umat pendusta terdahulu yang Kami binasakan. Mereka meminta pertolongan ketika siksaan datang kepada mereka, padahal saat itu bukanlah waktu untuk meyelamatkan diri.

Shadaqallahul ‘adzhim. Alhamdulillah, kita telah pelajari bersama kandungan Surah Sad Ayat 1-3 berdasarkan Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Kemenag dan Tafsir Quraish Shihab. Semoga menambah khazanah ilmu Al-Qur’an kita.

M Resky S