PeciHitam.org – Nabi Muhammad SAW sudah wafat sejak tahun 632 M, lebih dari 1400 tahun yang lalu, namun ajaran beliau masih abadi hingga saat ini.
Sepeninggal Nabi SAW panutan untuk dijadikan rujukan kebenaran adalah para Sahabat Nabi SAW dan para salafus Saleh, karena mereka secara agama memiliki lisensi kebenaran.
Nabi Muhammad SAW tidak meninggalkan harta benda duniawi, tetapi meninggalkan warisan ajaran yang akan membawa kebahagiaan di dunia dan bekal di akhirat.
Warisan beliau berurutan diturunkan kepada para Sahabat, Tabiin, Tabi’it Tabi’in dan para Ulama Salaf. Umat Islam sekarang diharuskan untuk mengambil jalur dari mereka yang termasuk golongan tersebut.
Maka dalam Islam dikenal adanya Sanad yang secara tradisi diturunkan kepada Muridnya dari Syaikh atau gurunya yang bersambung kepada Rasulullah SAW. Merekalah yang disebut Ulama dengan berbagai spesfikiasi perangkat keilmuan lengkap. Bukan hanya otodidak.
Ulama, Penerus Para Nabi
Era modern ini banyak tontonan gratis yang memperlihatkan kebodohan orang-orang yang berfatwa tanpa Ilmu dan atau berceramah berapi-api namun salah memahami ayat. Hal ini seperti menjadi keumuman yang seharusnya diberhentikan. Bahkan dengan pongahnya mereka mengklaim diri sebagai Ulama.
Yang mana terminologi Ulama adalah Ilmuan yang menguasai disiplin keilmuan sampai para taraf ahli, spesialis bukan hanya sekedar tahu. Setidaknya, sebagai contoh, untuk menjadi seorang dokter spesialis harus menempuh pendidikan kedokteran yang panjang, kemudian praktek dan mendapat pengakuan.
Tidak akan ada seorang yang baru membaca buku kedokteran atau medicine book kemudian membuka praktek dokter kesehatan kecuali ia akan ditangkap sebagai pelaku Mal-Praktek. Sama halnya dalam agama, proses menjadi Ulama bukanlah sebuah perkara Instan karena ia disifati oleh Nabi SAW;
إن الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، إِنَّ اْلأَنْبِياَءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْناَرًا وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
Artinya; “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. At-Tirmidzi)
Guna mendapat predikat seorang Ulama kiranya harus ditelusuri riwayat pendidikan, bagaimana pemikirannya dan memahami seluk beluk islam dengan baik. Tidak boleh asal Klaim bahwa dirinya Ulama dan menjadi Corong Kebodohan, dengan mempertontonkan kebodohan berfatwa.
Syarat Ulama
Gejala sosial belakangan ini menyeret Istilah ‘Ulama’ yang kemudian menjadi komoditas dagang dakwah yang menggelikan. Istilah Ulama banyak dipolitisasi dan dikuantiatifikasi menjadi receh uang dan kekayaan duniawi. Padahal keilmuannya sama sekali tidak mencerminkan sebagai Ulama.
Secara etimologi, Ulama adalah seorang Ilmuan yang bisa saja berasal dari disiplin apa saja. Namun di Nusantara, Ulama mengalami penyerapan kata dan penyempitan makna yang merujuk pada Istilah ahli agama Islam. Dan sekiranya orang pantas disebut Ulama ketika ia menguasai spesifikasi keilmuan berikut;
Secara umum ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sehingga seseorang layang dikategorikan sebagai ulama, yaitu:
- Memiliki kemampuan untuk menggali hukum dari Al-Qur’an, termasuk di dalamnya harus mengetahui perangkat keilmuan Ulumul Qur’an. setidaknya ada Ilmu Asbab al-nuzul (latar belakang turunnya Al-Qur’an), Nasikh Mansukh (ayat yang mengganti atau diganti), Mujmal-Mubayyan (kalimat yang global dan parsial).
Disamping Ilmu tersebut, klasifikasi ayat al-Qur’an juga harus dipahami dari segi al-‘Am wa al-KhAsh (kalimat yang umum dan khusus), Muhkam Mutashabihat (kalimat yang jelas dan samar), dan berbagai karaker ayat yang harus ditafsir atau ditakwil.
- Spesifikasi memahami hadits dari segi Asbabul Wurud (latar belakang munculnya hadis), Kualitas Hadits dari segi Rawi, Sanad, Matan. Ia juga harus memahami Ilmu Rijal al-Hadits (sejarah para perawi hadis), bagaimana kriteria hadits yang diterima atau tertolak serta memahami konteks hadits dalam Madzahb.
- Keahlian dalam memahami persoalan-persoalan yang sudah disepakati ulama dalam Ijma’ Ulama. Karena Ijma’ Ulama masuk dalam kerangka hukum Islam yang diterima secara luas oleh umat Islam.
- Memahami Qiyas atau analogi hukum dalam Islam serta pembagiannya. Termasuk penguasaan dalam menggunakan kaidah-kaidah Qiyas dalam usaha menghasilkan sebuah hukum. Ada Qiyas Bayani, Mantiqi, Jadali, Iqna’i, dan lain sebagainya.
- Menguasai Bahasa Arab dan gramatikanya secara mendalam serta harus menguasai kaidah-kaidah Ushul Fiqih atau dasar-dasar Hukum Islam.
Selain syarat tersebut, gelar Ulama hanya pantas disematkan kepada mereka yang tidak menjadikan Agama sebagai tunggangan untuk memperkaya diri. Jika ia tidak memahami seluruh syarat Ulama dengan baik, maka tidak pantas untuk disebut Ulama.
Jangan sampai orang yang baru mu’allaf beberapa saat, karena ia terkenal langsung mendapat panggung untuk berceramah dan tersemat gelar Ulama.
Fenomena belakangan menunjukan kemirisan ‘Murahnya’ gelar Ulama dan Ustadz bagi mereka yang baru memahami remahan Islam dan berani berfatwa. Ada pepatah mengatakan bahwa ‘Jangan buat orang Bodoh menjadi terkenal’.
Ash-Shawabu Minallah