Pecihitam.org – Perkembangan tafsir abad ke-20 banyak mufasir yang bermunculan. Munculnya mufasir tersebut juga berlatar belakang beragam, ada yang lahir dari akademisi atau lahir dari seorang pesantren dan Keraton. Oleh sebab itu, dalam penjelasan kali ini, penulis akan membuat satu buah peta konsep berupa tabel secara umum memetakan perkembangan mufasir pada abad ke-20.
Di era abad ke-20 banyak sekali mufasir yang muncul dan lengkap dengan kitab tafsir yang telah dituliskannya. Oleh karna itu, penulis mencoba untuk memetakan kitab tafsir mulai bertahap.
Mahmud Yusuf, Tafsir Qur’an Karim Bahasa Indonesia ( 1922-1938 ) keterangan kitab, Tahap I: juz 1-3; Tahap II juz 4 bersama Ilyas Muhammad Ali; Tahap III juz 5-18 bersama Kasim Bakri; Tahap IV tahun 1938. Ditulis dengan huruf Arab Melayu.
A Hassan Al-Furqan Tafsir Al-Qur’an (1928-1941 ), keterangan kitab, ditulis ulang dari awal atas permintaan Penerbit Salim bin Nabhan dengan menambah keterangan di tiap-tiap ayat agar pembaca memahami maknanya dengan mudah.
Kemudian ada kitab Tafsir Hibrana, 1934 ditulis oleh seorang yang bernama Iskandar Idris. Tafsir tersebut ditulis dengan menggunakan bahasa Sunada. Ada juga A Halim Hasan, H Zainal Arifin Abbas dan Abdurrahman Haitami, Tafsir Al-Qur’an Karim (1937-1941 ).
Kitab ini terbit pada tahun 1941 baru sampai juz VII (Masa Jepang dan PD II), karena kekurangan kertas. Kurun 1937-1941 juz 1 dan II diterbitkan dengan bahasa Melayu/Jawi atas perintah kerajaan Malaysia.
T. M. Hasbi ash-Shiddieqy dan kitabnya yang berjudul Tafsir Al-Qur’an Al-Nur (1952). Tafsir ini mempunyai corak fiqih kemudian dianggap saduran tafsir al-Maraghi. Dan masih banyak lagi yang lainnya.
Pada umumnya, seorang mufasir membuat kitab tafsir yang bertujuan untuk menjelaskan isi dalam kandungan ayat-ayat al-Qur’an. Dengan berbagai ragam kitab tafsir di atas, yang paling banyak muncul namun penulis belum dapat menjelaskan secara detail di dalam tulisan ini.
Kemudian penulis akan menguraikan basis dalam tiap-tiap mufasir dalam empat kategorisasi. Pertama, mufasir basis pesantren, kedua mufasir berbasis non pesantren dan lembaga, ketiga mufasir berbasis keraton, dan yang keempat mufasir berbasis akademisi.
Pertama, perkembangan mufasir di era abad ke-20 bisa dibilang sangat mengalami kemajuan. Kemajuan mufasir di era abad ke-20 terlihat dari beberapa kitab tafsir yang telah ditemukan dan dikaji dibeberapa pesantren, masyarakat umum, dan di akademisi.
Mufasir yang berbasis non pesantren misalnya dapat dikatakan mufasir tersebut tidak menempuh pendidikan dipesantren, namun dalam bidang agama dan pendalaman Al-Qur’an.
Kedua, mufasir berbasis pesantren atau yang pernah menempuh pendidikan di pesantren ternyata pada abad ke-20 lebih banyak. Diantarannya H. Sanusi Tafsir Al- Ittihadul Islamiyah ( 1935 ), H. Muhammad Romli Nurul Bajan: Tafsîr Quran Basa Sunda, Juz 1-3 (1960).
Ketiga, selain mufasir dari pesantren, lembaga dan non pesantren. Mufasir yang lahir dalam lingkungan Keraton ternyata memberikan keunikan dan kesan tersendiri dalam dunia penanfairan. Seperti K.R.T ( Kanjeng Raden Tumenggung ) Muhammad Adnan dalam Tafsir Al-Qur’an Suci Basa Jawi (1969).
Keempat, pada abad ke-20 banyaknya mufasir yang muncul dalam ranah akademisi tidak terlepas dari dunia militer. Seperti Kol. Iskandar Idris Tafsir Hibrana sebuah Tafsir Juz Amma (1951). Hal tersebut dikarnakan pada zaman orde baru dan masih dalam ranah gejolak politik dan militerismem.
Sistem monarki yang terapkan oleh Presiden Suharto menjadikan tiap-tiap tentara harus dapat masuk dalam ranah akademisi. Kekterlibatan anggota militer masuk dalam akdemisi menjadikan corak tafsir ideologis yang banyak menyinggung kekuasaan dan kecintaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia