Tafsir Maqashidi; Solusi atas Maraknya Penafsiran al-Qur’an secara Ekstrim

Tafsir Maqashidi; Solusi atas Maraknya Penafsiran al-Qur’an secara Ekstrim

Pecihitam.org – Cara seseorang dalam memahami Islam tak lepas dari bagaimana cara penafsiran yang dianutnya terhadap al-Qur’an. Kelompok ekstrimis Islam yang menafsirkan al-Qur’an secara tekstualis melahirkan cara pemahaman agama yang tidak relevan dengan konteks zaman yang ada. Penafsiran al-Qur’an yang minim kontekstualisasi tersebut melahirkan cara berislam yang eksklusif, ekstrimis, bahkan hingga aksi terorisme.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Penafsiran yang problematis tidak hanya terjadi pada cara penafsiran kaum ekstrimis yang buta konteks. Di sisi seberang, ada kubu cara penafsiran yang liberalis-substansialis yang terjebak kepada penafsiran yang mendesakralisasi al-Qur’an secara habis-habisan dengan menganggap teks al-Qur’an sebagaimana teks biasa yang tidak sakral (suci).

Dalam konteks dua kutub ekstrim penafsiran al-Qur’an ala skriptualis-tekstual yang menihilkan konteks dan kubu liberalis-substantifis yang terlalu menekankan konteks namun kehilangan kesakralan al-Qur’an sebagai kitab suci tersebut, maka muncullah apa yang disebut tafsir maqashidi. Apa itu?

Tafsir Maqashidi ini muncul dari provokasi intelektual Prof. Dr. Abdul Mustaqim, S. Ag, M.Ag. yang pada tanggal 16 Desember 2019 dilantik sebagai guru besar Ulumul Qur’an (Ilmu-ilmu al-Qur’an) di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam draft pidato pengukuhan gelar profesornya berjudul Argumentasi Keniscayaan Tafsir Maqshidi sebagai Basis Moderasi Islam, Prof. Mustaqim memaparkan apa yang disebut sebagai tafsir maqshidi.

Menurutnya tafsir ini secara sederhana dapat dipahami sebagai model pendekatan penafsiran al-Qur’an yang memberikan penekanan (aksentuasi) terhadap dimensi maqashidi al-Qur’an dan maqashid al-Syari’ah.

Baca Juga:  Dosa Anak Ditanggung Orang Tua; Benarkah Demikian? Simak Penjelasannya

Tafsir maqashidi tidak hanya terpaku pada penjelasan makna literal teks yang eksplisit, melainkan mencoba menelisik maksud dibalik teks secara implisit, yang tak terucapkan, tujuan model ideal dalam setiap perintah dan larangan Allah dalam al-Qur’an.

Tafsir maqashidi ini bagian dari perkembangan kajian Maqashid al-Syari’ah yang berkembang pesat dalam kajian ilmu fiqih. Bahkan kini Maqashid al-Syari’ah sudah menjadi disiplin keilmuan sendiri dan sering dijadikan pisau bedah dalam studi Islam untuk menganalisis isu-isu aktual dan kontemporer.

Penafsiran al-Qur’an secara maqashidi ini, menurut hipotesis Prof. Mustaqim dapat menjadi penengah dalam perdebatan kajian tafsir yang terjadi dua kutub penafsiran al-Qur’an yang skriptualis-tekstual dan kubu liberalis-substansialis.

Baca Juga:  Bukan Hanya Setan! Inilah Empat Musuh Manusia, Nomor 4 Ternyata Musuh dalam Selimut

Kalau kubu penafsir skriptualis-tekstual menafsirkan al-Qur’an dengan sepenuhnya berangkat dari teks tanpa mendialogkan dengan situasi zaman secara kontekstual. Di satu sisi kubu liberalis-substantif menghilangkan habis sisi sakralitas al-Qur’an dan sepenuhnya hanya berangkat dari konteks. Maka penafsiran secara maqashidi ini menengahi dua kubu penafsiran tersebut.

Penafsiran secara maqashidi tetap berangkatnya dari teks al-Qur’an karena menganggapnya sebagai Firman Allah Swt kepada manusia. Namun, penafsiran secara maqashidi ini mendialogkan teks dengan konteks zamannya.

Cara penafsiran yang seperti ini sangat berbeda dengan cara penafsiran kaum skriptualis-tekstual yang anti konteks dan kubu liberalis-substantif yang menghilangkan sakralitas teks.

Penafsiran maqashidi ini menurut Prof. Mustaqim memiliki pijakannya dalam tradisi menafsirkan dalam Islam. Ia memaparkan praktik-praktik dalam sejarah sejak zaman nabi hingga kontemporer yang mengaplikasikan cara penafsiran yang mementingkan tujuan-tujuan moral ideal al-Qur’an dan syari’ah dengan sekaligus dikontekstualisasikan dengan zaman.

Baca Juga:  Proses Penciptaan Manusia Menurut Islam Selama di dalam Rahim Ibu

Prof. Mustaqim menyontohkan bagaimana Nabi Muhammad Saw pernah tidak mempraktikkan perintah qathul yad (memotong tangan) bagi pencuri saat perang.

Diceritakan bahwa saat itu nabi tidak mempraktikkan perintah itu karena melihat konteks bahwa ketika perang ditakutkan pencuri yang dipotong tangan akan lari ke kubu musuh dan membocorkan rahasia kubu muslim.

Terakhir, upaya penafsiran maqashidi ini penting untuk diperbincangkan dalam perdebatan kontemporer yang sering didominasi oleh kubu ekstrimis dan secara sayup-sayup sedang dilawan kubu liberalis-substantif. Penafsiran secara maqashidi ini sekaligus dapat menjadi pijakan untuk cara pemahaman Islam yang moderat. Wallahua’lam.