Pecihitam.org – Takbir “Allahu Akbar” adalah salah satu kalimat toyibah yang berarti pengakuan, diucapkan ketika melihat, merasa dan mendengar kebesaran Allah. Namun, belakangan takbir tidak lagi diucapkan dalam konteks religius, melainkan masuk dalam wilayah budaya, bahkan dipekikkan oleh kelompok Islam yang mengusung Islam sebagai aspirasi politik.
Pekik takbir bergema dalam berbagai aksi dan seolah menjadi identitas di tengah gelombang massa. Tidak jarang Takbir malah menjelma menjadi seruan yang menakutkan bagi sebagian orang.
Kalimat agung yang semestinya untuk mengangungkan Sang Pencipta yang Maha Kuasa terkadang diletakkan dan dibunyikan pada kondisi yang tidak semestinya. Justru di tengah kondisi yang seolah ingin mengumbar takabur, kesombongan dan kepongahan.
Di Timur Tengah, lebih mengerikan lagi. Kelompok ISIS memekikkan takbir ketika memenggal kepala orang. Sedangkan di Indonesia, suara Takbir berseru mengiringi tindakan-tindakan merusak yang mengancam orang lain. Dari sinilah Takbir seakan kehilangan marwah spiritual-nya.
Takbir digunakan untuk menyerang, menyalahkan bahkan menjadi “legitimasi” perbuatan suatu kelompk agar dinilai religius, benar dan jihad. Sejatinya, setiap kalimat toyibah, semua baik, namun menjadi tidak baik jika penempatannya salah.
Penulis memahami, bahwa bisa saja kritik ini berujung pada hujatan balik. Karena tidak jarang yang bilang, “Jika tidak suka takbir berarti kamu bukan muslim”. Jika kamu tidak suka orang meneriakkan takbir, keimananmu patut dipertanyakan”.
Sebentar,, Lantas, bagaimana jika yang melarang teriakan takbir itu Rasulullah Saw sendiri? Tidak percaya? Hadits ini termaktub dalam Shahih Bukhari lho, jadi tak perlu diragukan lagi keshahihannya.
Rasulullah SAW pernah menegur rombongan sahabat karena bertakbir terlalu keras ketika dalam suatu perjalanan dengan beliau. Saat itu rombongan ini biasa bertakbir saat melintasi jalan mendaki dan bertasbih ketika melalui jalan menurun.
روينا في “صحيح البخاري” عن جابر رضي الله عنه قال: كنا إذا صعدنا كبرنا، وإذا نزلنا سبحنا
Artinya, “Diriwayatkan kepada kami dalam Shahih Bukhari dari Jabir RA, ia berkata, ‘Bila melintasi jalan menanjak, kami bertakbir. Ketika melewati jalan menurun, kami bertasbih,’” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Damaskus: Darul Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 190).
Ketika tiba di sebuah lembah, sebagian sahabat bertakbir dengan keras seperti teriak. Kejadian tersebut kemudian mendapat teguran dari Rasulullah SAW. Hal ini sebagaimana riwayat Bukhari dan Muslim yang dikutip Imam An-Nawawi dalam kitab al Adzkar berikut ini:
وروينا في “صحيحيهما” عن أبي موسى الأشعري رضي الله عنه قال: كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم، فكنا إذا أشرفنا على واد هللنا وكبرنا وارتفعت أصواتنا، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: “يا أيها الناس اربعوا على أنفسكم، فإنكم لا تدعون أصم ولا غائبا، إنه معكم، إنه سميع قريب
Artinya, “Diriwayatkan kepada kami dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari Sahabat Abu Musa Al-Asy’ari, ia bercerita bahwa bila melewati sebuah lembah, kami saat bersama Rasulullah SAW membaca tahlil dan takbir. Dan suara kami meninggi, lalu Rasulullah SAW mengingatkan, ‘Wahai manusia, bersikaplah yang lembut terhadap diri kalian karena kalian semua tidak sedang menyeru Tuhan yang tuli dan ghaib. Dia bersama kalian. Dia maha mendengar, lagi dekat,’” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Damaskus: Darul Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 190-191).
Hadist ini memberikan nasehat penting tentang adad berdzikir dengan kalimat yang sangat agung. Melembutkan diri di hadapan Allah menjadi sikap penting. Karena dengan berteriak-teriak seolah kita menunjukkan kepongahan dan kesombongan diri dihadapan Sang Pencipta maupun kepada orang lain.
Teriakan takbir di jalanan justru bukan pada ingin mengangungkan Allah yang Maha Mendengar dan Maha Agung, tetapi tidak lebih ekspresi ingin dilihat, didengarkan, dianggap penting dan dianggap paling Islam oleh orang lain. Bukan bentuk dzikir, tustru takbir ini menanamkan sifat takabur dalam diri.
Bahkan Ibnu Alan mengatakan bahwa seseorang tidak perlu berteriak dalam melafalkan takbir dan lafal dzikir lainnya. Sebab, takbir dan dzikir secara umum dengan suara yang wajar tanpa teriak menunjukkan adab terhadap Allah atau bahkan makrifat seseorang.
معناه ارفقوا بأنفسكم واخفضوا أصواتكم فإن رفع الصوات يحتاج إليه الإنسان لبعد من يخاطبه ليسمعه وأنتم تدعون الله وليس هو بأصم ولا غائب بل هو سميع قريب وهو معكم أينما كنتم بالعلم والإحاطة ففيه الندب إلى خفض الصوت بالذكر إذا لم تدع حاجة إلى رفعه فإذا خفضه كان أبلغ في توقيره وتعظيمه فإن دعت الحاجة إلى الرفع رفع كما جاءت به الأحاديث ذكره المصنف في شرح مسلم
Artinya, “Pengertian ‘bersikaplah yang lembut terhadap diri kalian dan rendahkan suara kalian’ karena mengeraskan suara dibutuhkan seseorang untuk mengajak bicara orang yang jauh agar ia mendengar. Sedangkan kalian menyeru Allah, Tuhan yang tidak tuli dan tidak lenyap. Dia maha mendengar dan dekat. Dia (ilmu dan cakupan-Nya) bersama kalian di mana pun kalian berada. Hadits ini merupakan anjuran untuk merendahkan suara dalam berzikir bila tidak diperlukan mengeraskannya. Bila seseorang merendahkan suaranya, maka itu sangat menunjukkan kerendahan hati dan takzimnya kepada Allah. Tetapi bila diperlukan suara untuk mengeraskannya, maka perlu dikeraskan sebagaimana keterangan sejumlah hadits yang disebutkan oleh penulis (Imam An-Nawawi) dalam Syarah Muslim,” (Lihat Muhammad bin Alan As-Shiddiqi, Al-Futuhatur Rabbaniyyah, [Beirut: Daru Ihyait Al-Arabi, tanpa catatan tahun], juz V, halaman 144-145).
Perlu digarisbawahi, riwayat ini bukan berarti melarang seseorang mengeluarkan suara dalam bertakbir atau dzikir secara umum. Takbir boleh-boleh saja dilafalkan dengan suara tinggi atau dengan dengan bantuan pengeras suara bila ada hajat syar‘i seperti takbiran pada malam Ied atau takbir dalam adzan dan iqamah. Namun tanpa ada hajat syar’i, takbir sebaiknya cukup dilafalkan dengan suara yang wajar, tanpa teriakan atau nada tinggi.
Sekali lagi jadi kritik ini bukan tanpa dasar ya,, karena hhal ini merupakan teguran dari Rasulullah bagi orang yang mengeraskan suaranya, hatinya dan sikapnya ketika meneriakkan kalimat agung. Wallahua’lam bisshawab.