Bisakah Ta’lil dengan Hikmah Dijadikan Sebagai Illat Pembentukan Hukum?

Bisakah Ta'lil dengan Hikmah Dijadikan Sebagai Illat Pembentukan Hukum?

Pecihitam.org- Ta’lil dengan hikmah sebagai alasan pembentukan hukum merupakan hal yang dilarang. Bahkan al-Amidy berani mengklaim bahwa larangan ini adalah pendapat mayoritas ulama ushul.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Az-Zarkasyi menyandarkan pendapat ini pada imam Abu Hanifah. Namun, ada pendapat yang mengatakan bahwa memposisikan hikmah sebagai alasan pembentukan hukum adalah perkara yang dibolehkan.

Karena pada dasarnya tiga madzhab yang yang disebutkan para ushuliy dalam perdebatan boleh atau tidaknya penggunaan hikmah sebagai alasan pembentukan hukum sebenarnya dilakukan para pengikut madzhab, bukan imam madzhab itu sendiri.

Bahkan jelas bahwa para imam yang empat ta’lil dengan hikmah sebagai alasan dalam pembentukan hukum (Lihat Ali ibn Abbas ibn Ustman al-Hikamy, Haqiqat al-Khilaf fi at-Ta’lil bi al-Hikmah wa Atsaruhu fi al-Fiqh al-Islami). Terlebih lagi al-Ghazali, Imam ar-Razi dan al-Baidlowi berpendapat bahwa Ta’lil bil hikmah boleh secara mutlak.

Dalam Majalah Umm al-Qura pada tema Haqiqat al-Khilāf fi at-Ta’līl bi al-Hikmah wa Atsaruhu fi al-Fiqh al-Islami yang ditulis oleh Ali ibn Abbas ibn Ustman al-Hikamy, Al-Amidy menjelaskan bahwa ada tiga aliran dalam boleh dan tidaknya hikmah dijadikan alasan pembentukan hukum.

  1. Aliran yang mengatakan boleh secara muthlak
  2. Aliran yang mengatakan tidak boleh secra muthlak
  3. Aliran yang mengatakan boleh dengan syarat
Baca Juga:  Hukum Shalat Menggunakan Masker dalam Islam; Adakah Dalilnya?

Untuk lebih memahami pembahasan ini maka perlu kiranya kita mengetahui dahulu apa yang dimaksud dengan hikmah. Secara bahasa hikmah adalah mengetahui keutamaan sesuatu dengan keutamaan ilmu. Sedangkan menurut istilah ushuliyin hikmah adalah pendorong (motivator) disyari’atkannya hukum.

Sudah menjadi kesepakatan di kalangan jumhur ulama bahwa Allah tidak akan mensyari’atkan hukum kecuali untuk menciptakan kemaslahatan hamba-Nya. Kemaslahatan di sini adakalanya berdimensi mendatangkan manfaat, kadangkala menghilangkan kemudharatan.

Inilah yang dimaksud dari hikmah hukum. Jadi dapat pula dikatakan bahwa hikmah hukum adalah mashlahah. Pada dasarnya, baik illat maupun hikmah, keduanya sama-sama dapat menjadi sandaran ketetapan hukum. Namun kebanyakan ulama membedakan antara illat dan hikmah.

Baca Juga:  Hukum MLM dalam Islam; Adakah Larangannya?

Illat merupakan suatu alasan logis disyri’atkannya hukum yang memiliki standar hukum, bersifat mengikat ada dan tidak adanya hukum serta dapat menjadi sandaran suatu hukum.

Sedangkan hikmah merupakan tujuan disyari’atkannya hukum yang tidak memiliki standar pasti sehingga menyebabkan sebagian ulama tidak sepakat bahwa hikmah dapat menjadi sandaran hukum.

Kedua term illat dan hikmah dapat digambarkan dalam contoh hukum bolehnya berbuka puasa bagi orang sakit, illatnya adalah sakit itu sendiri, sedangkan hikmahnya adalah menolak kemudharatan dari penderitaan penyakit.

Contoh lain adalah hukum wajibnya qishas, illatnya adalah pembunuhan secara sengaja, sementara hikmahnya adalah menjaga kelestarian hidup bagi manusia.

Pada dasarnya, ta’līl al-Ahkām adalah penentuan illat dengan hikmah (maslahah) yang dikaitkan dengan hukum itu karena kemaslahatan itulah yang menjadi penyebab dibangunnya hukum dan tujuan asasi.

Namun, ini tidak meniscayakan bahwa maslahah ialah barang yang terstandari. Para mujtahid acapkali berbeda dalam memutuskan suatu perkara lantaran takaran maslahah yang dijadikan pertimbangan hukum juga berbeda.

Baca Juga:  Peran Istri dalam Keluarga Menurut Islam, Wanita Modern Harus Baca

Menurut penelitian Muhammad Musthafa Tsalabi, kebanyakan para ahli fiqh menentukan alasan yang menjadi sandaran hukum (manathul hukmi) dengan sifat yang jelas atau terstandari, bukan dengan hikmah (maslahah).

Terlebih dalam berbagai kesempatan, Imam Haramain menjelaskan bahwa ahli ushul fiqh menghendaki untuk memberikan batasan-batasan tertentu, sehingga tidak terjadi kekeliruan dalam berijtihad.

Memang para sahabat nabi menjadikan maslahah sebagai illat, tetapi mereka tidak memberikan penjelasan lebih mengenai mekanisme penentuan illat.

 

Mochamad Ari Irawan