Tari Sufi Dalam Pemaknaan Jalaluddin Rumi

Tari Sufi Dalam Pemaknaan Jalaluddin Rumi

PeciHitam.org – Jalaludin Muhammad ibn Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi merupakan nama lengkap Rumi. Beliau lahir di Balkh yang sekarang negara Afghanistan, pada tanggal 6 Rabiul Awal tahun 604 Hijriyah atau tanggal 30 September 1207 M.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Ayah Rumi bernama Muhammad bin al-Husain al-Khatibi, biasa dipanggil dengan Baha’ Walad. Beliau adalah seorang ulama fiqih terkenal, dai terkenal, teolog, sekaligus seorang sufi.

Ayahnya telah mempersiapkan agar Rumi menjadi seorang ahli agama yang berwenang dalam memberikan fatwa mengenai masalah yang berkaitan dengan syariah.

Rumi belajar ilmu pengetahuan keagamaan formal di madrasah Halawiyyah di Aleppo hingga beliau menjadi seorang yang mumpuni dalam berbagai disiplin ilmu seperti tafsir, ilmu, hadits, fiqih, teologi atau biasa disebut dengan ilmu kalam, dan filsafat, sehingga tidak heran jika ia menjadi orang yang mumpuni dalam bidang ilmu pengetahuan syariah dan Tasawuf.

Dalam dunia sufi ada yang kurang pesta minum tanpa musik, tarian dan musik yang dipakai kaum sufi adalah tari sema, untuk di Indonesia tarian sema Jalaludin Rumi lebih dikenal atau populer dengan nama tari Sufi, karena dulu di Turki penari tarian ini adalah Orang-orang Sufi.

Baca Juga:  Mengenal Tarekat Naqsyabandiyah dalam Tradisi Tasawuf

Dalam bahasa arab sema berarti mendengar atau jika di terapkan dalam definisi yang lebih luas bergerak dalam suka cita-cita sambil mendengarkan nada-nada musik sambil berputar-putar sesuai dengan arah putaran alam semseta. Di barat tarian ini lebih dikenal sebagai “Whirling Dervishe”, atau para darwis yang berputar-putar dan digolongkan sebagai devine dance.

Sema adalah wujud proklamasi dan pernyataan tekstual kepada semesta, bahwa dimensi sakral, atmosfir wilayah cinta Tuhan dan kesadaran atas kefanaan seorang hamba dapat dijelajahi lewat sebuah tarian dan nyanyian syair.

Ia merupakan seni perasaan yang ditransfer melalui gerak tubuh dan lantunan syair. Semuanya akan bermuara pada perubahan yang memabukkan dari dimensi trans, gelombang ekstase. Di sinilah manusia menemukan kedamaian hakiki yang tak dapat dirasakan di luar sana.

Jalaluddin Rumi berpandangan bahwa kondisi dasar semua yang ada di dunia ini adalah berputar. Tidak ada satu benda dan makhluk yang tidak berputar.“Keadaan ini dikarenakan perputaran elektron, proton, dan neutron dalam atom yang merupakan partikel terkecil penyusun semua benda atau makhluk, jelasnya.

Baca Juga:  Tata Cara Prosesi Tari Sufi Atau Tari Sema

Dalam pemikiran Rumi, perputaran partikel tersebut sama halnya dengan perputaran jalan hidup manusia dan perputaran bumi. “Manusia mengalami perputaran, dari tidak ada, ada, kemudian kembali ke tiada”. Manusia yang memiliki akal dan kecerdasan membuatnya berbeda dan lebih utama dari ciptaan Allah SWT yang lain.

Dalam sebagian besar tulisan Rumi, secara jelas ditunjukkan bahwa ia tidak semata-mata hendak memberikan penjelasan tetapi arahan. Syair-syair yang ia gubah, khutbah-khutbah yang ia sampaikan tidak sekadar dimaksudkan untuk memberi pemahaman berkaitan dengan ajaran-ajaran Islam tidak juga hanya bermaksud menjelaskan sufisme itu tetapi sesungguhnya dia ingin menggugah kesadaran manusia bahwa sebagai mahluk manusia telah terikat pada kodrat keterciptaannya untuk selalu mengarahkan seluruh hidupnya pada tuhan dan sepenuhnya hanya menghambahkan diri pada-Nya.

Sebenarnya, apa yang dapat kita pahami dari Rumi, juga dapat kita temukan pada tokoh-tokoh lain dalam sejarah pemikiran islam. Dia menggambarkan dasar tauhid sebagai pijakan dalam menerangkan hakikat keterciptaan manusia, dengan menunjuk pada setiap ide-ide kita, aktivitas-aktivitas kita dan eksistensi kita.Namun pemahaman yang sederhana ini, tampaknya tidak dapat menyatakan pada kita, mengapa Rumi selalu menarik perhatian orang-orang pada masanya, bahkan hingga sekarang.

Baca Juga:  Memahami Konsep Fana dari Sudut Pandang Buya Syakur

Ajaran-ajaran Rumi selalu mengacu pada Al-Quran, sunnah nabi, dan ajaran-ajaran kaum sufi terdahulu, sebagaimana Dante, yang selalu mengacu pada Bibel, kristus, dan doktrin gereja. Pesan-pesan Rumi bersifat universal, dan dia 14 sangan liberal dalam menggunakan tamsilan-tamsilan yang diambil dari sumbersumber yang tidak terasa asing bagi setiap orang.

Begitulah cara Jalaludin Rumi menjelaskan mengenai Tari Sufi, dimana tarian ini juga sering dilakukan di Indonesia pada beberapa acara keagamaan.

Mohammad Mufid Muwaffaq