Tasawuf serta Hubungannya dengan Disiplin Ilmu Filsafat dan Psikologi

tasawuf filsafat dan psikologi

Pecihitam.org – Ketika tasawuf dianggap sebagai disiplin ilmu yang hanya mengkhususkan pada aktifitas bathin dan perasaan saja, tentu ini tidak menafikkan bahwasanya tasawuf pun rupanya memiliki hubungan dengan disiplin ilmu lainnya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Siapa sangka, bahwasanya Tasawuf memiliki keterkaitan dengan Filsafat dan Ilmu Psikologi. Maka tidak salah jikalau dikatakan bahwa Ilmu Tasawuf sebenarnya merangkum disiplin ilmu lainnya dan saling berkaitan satu sama lain.

Untuk itu, berikut pembahasan terkait Ilmu Tasawuf dalam ruang Filsafat dan Psilokogi.

1. Tasawuf dan filsafat

Ketika kita merasa bahwa filsafat yang mengedepankan akal dan logika sedangkan tasawuf sendiri bermain dengan intuisi dan pengalaman batin. Tentu kita bisa saja beranggapan jikalau dua disiplin ilmu ini tidak saling berkaitan.

Itulah mengapa Dr. Fuad Al Ahwani berpendapat bahwa para filsuf adalah pemilik argumentasi sedangkan para sufi adalah pemiliki Intuisi. Namun perbedaan ini tentu tidak membuktikan bahwa antara Tasawuf dan filsafat berseberangan.

Kita bisa sedikit menoreh pada kajian tasawuf yang berbicara tentang jiwa, secara tidak langsung jiwa telah dibahas dalam kajian filsafat oleh beberapa filsuf seperti Ibnu Sina, Al Farabi bahkan dalam buku Psikologi Sufi Al Ghazali.

Dikatakan bahwa “jiwa dan badan terdiri dari dua dunia yang berbeda, jiwa berasal dari dunia metafisik, bersifat imaterial, tidak berbentuk komposisi sedangkan badan berasal dari subtansi yang berasal dari dunia metafisik, bersifat materi dan berbentuk komposisi”

Sedangkan telah diketahui sebelumnya bahwasanya jiwa dan roh telah memberikan sumbangan yang amat besar terhadap kesempurnaan kajian Tasawuf dalam dunia Islam.

Baca Juga:  Perjalanan Pemikiran Tasawuf Ibn Athaillah

Namun yang perlu kita garis bawahi ialah dalam dunia tasawuf lebih sering menggunakan istilah Qalb (Hati). Sekalipun jiwa dan hati adalah dua istilah yang berbeda namun bukan berarti kedua istilah ini tidak saling berpengaruh.

2. Tasawuf dan psikologi

Ketika hampir sebagian orang beranggapan bahwa ilmu kejiwaan hanya dilakoni pada ruang psikologi, mungkin alangkah baiknya jikalau kita membuka sedikit lembaran sejarah.

Terkait metode Isthibhan (intropeksi) atau teori Renungan Dzat dalam upaya memahami perasaan yang dilakukan oleh kaum Sufi, dalam hal ini kaum sufi memang benar benar memahami yang disebut dengan insting manusia yang bersifat umum yang mereka sebut dengan Syahwat (Amir An Najar, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf, hlm. 313).

Maka hal yang wajar jikalau seorang filsuf modern Emile Burto menaruh kekaguman terhadap kaum sufi. Bagaimana bisa? menurutnya kaum sufi adalah para psikolog besar.

Psikolog yang tiada bosan merenungi kehidupan batin manusia dengan menggunakan metode tahapan dalam mempelajari kejiwaan. Tentu pada pemahaman ini mereka melalui tingkatan hal dan maqam yang pada akhirnya sampai pada titik ma’rifat hakiki.

Lantas apakah salah jika dikatakan bahwa para sufi adalah seorang pakar sekaligus doket jiwa?

Baca Juga:  Rahasia Huruf Mim dalam Khazanah Tasawuf

Tentu tidak, kita dapat lihat contoh kecil seperti datangnya berbagai kalangan kepada para sufi yang merasa menderita penyakit jiwa, kemudian usai mereka mendapatkan disisinya perasaan aman, keikutsertaan perasaan, perhatian, rasa aman dan ketenangan.

Catatan penting lainnya ialah kita dapat lihat terkait istilah mental seseorang dalam dunia Psikiatri atau psikoterapi. Tentu pada istilah mental ini sebetulnya telah merangkum semua unsur jiwa termasuk pikiran, emosi, sikap, dan perasaan yang tentu keseluruhan itu menentukan corak perilaku. dan cara menghadapi suatu hal yang menekankan perasaan, baik mengecewakan maupun menggembirakan (Zakiyah Darajat, Pendidikan Agama dalam pembinaaan Mental, hlm. 38-39)

Sehingga ketika kita terjun pada pengaruh pengaruh  apa saja yang membuat mental seseorang sehat atau tidak, tentu jawabannya ialah seperti yang telah dikatakan diatas (Perasaan, pikiran, sikap ataupun kesehatan) atau yang lebih fokusnya lagi ialah terkait sikap.

Jikalau sikap seseorang tidak baik dan selalu menyeleweng pada norma umum tentu mental seseorang dalam dunia Psikologi dikatakan sedang tidak sehat, sebaliknya jikalau seseorang tetap berada pada aturan yang ada dan berperilaku baik maka mentalnya akan dinilai sehat.

Lantas bagaimana pandangan tasawuf dalam hal itu? Tidak jauh berbeda, manusia yang sedang bermental tidak sehat, hatinya tidak tenang, pikirannya sedang kacau balau.

Tentu ini terjadi karena hati manusia itu sedang jauh dari Tuhannya (ajaran agama) sehingga dari kejauhan ini mendorong  manusia nekad dan berani melakukan apa saja.

Baca Juga:  Ilmu-Ilmu Islam yang Harus Dipahami Pengkaji Pemula

Termasuk melanggar norma norma yang ada hingga pada akhirnya terjadi perasaan gelisah dan menghasilkan tingkah tingkah yang sebetulnya tidak patut dilakukan.

Sehingga berangkat dari sini kaum sufi beranggapan bahwa Agama adalah faktor dominan dan faktor yang ampuh dalam melakukan terapi kejiwaan, dan rupanya beberapa abad kemudian seorang pakar kejiwaan Carl jung pun menyatakan hal yang serupa.

Dari pembasan singkat diatas sebetulnya telah mengantarkan kita pada pengetahuan bahwasanya Ilmu Tasawuf tidak hanya terkungkung dalam ruang batin saja.

Melainkan dibalik semua itu ilmu disiplin lainnya pun ikut menjadi kesempurnaan dari ilmu tasawuf itu sendiri. Termasuk pada kajian tentang jiwa dalam pendekatan filsafat dan pembinaan kejiwaan dalam dunia psikologi rupanya telah menjadi bagian dalam ilmu Tasawuf.

Itulah sekilas mengenai hubungan ilmu tasawuf, filsafat dan psikologi. Semoga bermanfaat.

Rosmawati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *