Pecihitam.org- Adanya berbagai kajian terhadap fenomena kriminal dan hukum pidana Islam pada beberapa dekade akhir ini telah membuahkan pemikiran akan pentingnya teori hukuman yang lain selain dua aspek retribusi dan penjeraan.
Perhatian para ahli phenology modern sekarang ini juga tampak lebih tertuju kepada sifat reformasi (reformation) dari suatu hukuman pidana. Bagi para kriminolog, reformasi itu sendiri lebih sinonim dengan arti “pengobatan” (cure).
Kecenderungan ini lebih didasari oleh suatu pemikiran bahwa orang yang melakukan tindak kriminal itu tidak lagi tepat dipandang sebagai “orang yang jelek” akan tetapi “orang yang sakit”. Ibarat orang yang sakit, orang yang melakukan tindakan pidana itu sangat membutuhkan pertolongan.
Kerangka epistemologi ini berimbas kepada bentuk-bentuk hukuman yang tidak berupa siksaan badaniah (corporal punishment) dan pelaksanaan hukumannya pun lebih terfokus kepada person si pelaku kriminal tanpa melibatkan orang lain yang tidak tersangkut tindakan kriminal tersebut.
Karenanya bentuk hukuman yang paling sering dijatuhkan adalah hukuman kurungan/penjara. Hukuman-hukuman badaniah semacam cambukan atau siksaan badan lainnya sudah tidak dipraktekkan lagi, dan hukuman itupun tidak perlu lagi dilaksanakan di depan persaksian banyak orang.
Pertanyaan kita sekarang adalah bagaimana kemudian sikap ulama Islam menanggapi fenomena semacam ini? Tentu tidak mudah menjawabnya.
Pro dan kontra pun memang wajar muncul di kalangan mereka, namun sampai sekarang mayoritas para ahli hukum pidana Islam tampaknya masih cenderung kepada pandangan bahwa dalam teori hukuman yang sudah diatur secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi maka tidak mungkin dicarikan justifikasi untuk merubahnya.
Artinya, dalam hal hukuman hudud dan jinayat, filsafat reformasi hukuman tidak bisa dijadikan sebagai alasan pembenar untuk merubah bentuknya. Potong tangan tetap harus diberlakukan kepada orang yang mencuri, cambukan atau rajam untuk orang yang berzina, qisas untuk tindakan pembunuhan dan sebagainya.
Sikap semacam itu tentunya berasal dari pandangan sebagian besar kalangan pemikir Islam yang masih cenderung untuk memahami sumber-sumber teks agama secara tekstual.
Dalam hal-hal yang sudah diatur secara transparan oleh Al-Qur’an dan hadis Nabi, mereka masih belum berani mempertanyakan kemungkinan untuk menyelisihi aturan tersebut dengan alasan lebih memegangi aspek tekstualnya.
Oleh karena itu, walaupun mereka percaya pada kaidah: alhukmu yadurru ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman tetapi pada tataran praksisnya kaidah ini hanya berjalan pada hal-hal yang non-eksplisit dalam kedua sumber teks tersebut.
Dalam hal hukum pidana, kenyataan epistemologis ini tampak kentara sekali di mana para ulama senantiasa mengemukakan argumen religious idealism (bahwa semua bentuk hukuman yang dikemukakan Al-Qur’an dan hadis Nabi tidak dapat dirubah karena semata-mata aturan dari Tuhan) di setiap ada usahausaha untuk mereinterpretasi bangunan sistem hukum pidana Islam tersebut.
Namun begitu, kecenderungan ke arah reaktualisasi (pembaharuan) hukum pidana Islam senantiasa muncul. Kecenderungan semacam ini dirasakan sangat relevan terutama dalam rangka penghadapan antara Islam dan tatanan dunia baru sekarang ini.
Untuk itulah gagasan para pemikir Islam modern semacam Abdullahi Ahmed an-Na’im sangat perlu untuk mendapat respon intelektual yang positif. Apa yang diinginkan oleh an-Na’im, misalnya, sebenarnya adalah memformat ulang bangunan hukum Islam disesuaikan dengan lingkungan masyarakat modern yang plural dan terdiri dari berbagai nilai kultur yang dianut.
Dan hal ini, menurut an-Na’im, hanya bisa dicapai bila umat Islam siap untuk mendesakralisasi hukum Islam dan membawanya sesuai dengan alur sejarah manusia itu sendiri, bukan malah melepaskannya dari dimensi ruang dan waktu sejarah peradaban umat manusia.