Sejarah Thariqah Qadiriyyah, Salah Satu dari Empat Thariqat Besar dalam Dunia Tasawuf

Sejarah Thariqah Qadiriyyah, Salah Satu dari Empat Thariqat Besar dalam Dunia Tasawuf

Pecihitam.org – Dalam sejarah ummat Islam, diketahui bahwa pada abad ke-6 dan ke-7 Hijriyah, banyak thariqat-thariqat bermunculan, ketika tasawwuf menempati posisi penting dalam kehidupan ummat Islam, dan dijadikan sebagai filsafat hidup. Dalam artikel ini saya ingin menguraikan sejarah Thariqah Qadiriyyah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sejarah Thariqah Qadiriyyah adalah didirikan oleh Syekh Abdul Qoodir Jailani. Nama lengkapnya Muhyiddiin Abu Muhammad Abdul Qoodir bin Abi Shalih Zangi Dost  al-Jailani (470 H / 1077 M – 561 H / 1166 M).

Dalam mengembangkan ajarannya, Syekh Abdul Qoodir al-Jailani memimpin suatu madrasah, dan ribath, yakni sebuah perguruan yang dibangun dan diwakafkan untuk kepentingan pendidikan orang-orang fakir dan miskin. Ini beliau dirikan pada tahun 521 H hingga ia wafat.

Setelah itu madrasahnya dipimpin oleh putranya Abdul Wahab (552 H / 1151 M – 593 H / 1196 M), dan dilanjutkan oleh putranya yang lain, Abdussalaam (W 611 H / 1214 M). Adapun ribath-nya dipimpin oleh putranya ‘Abdur Razaq, seorang sufi yang zahid (528 H /1134 M- 603 H / 1207 M).

Ajaran Syekh Abdul Qoodir yang diberikan dalam ribaath (sebangsa dayah tempat berjama’ah sembahyang, sekalian tempat berdzikir dan suluk atau khalwah) diteruskan oleh anaknya di dalam zawiyah-zawiyah (tempat-tempat khusus bagi sufi melatih diri dalam kehidupannya).

Dari zawiyah-zawiyah ini lambat-laun terbentuklah suatu komunitas (masyarakat) muslim. Penganut ajaran Syekh ‘Abdul Qoodir di bidang tasawwuf yang kemudian dikenal dengan thariqah Qadiriyyah.

Ajaran dasar yang ditetapkan oleh Syekh ‘Abdul Qoodir dalam thariqatnya adalah aqidah yang benar, seperti ‘aqidah para salafus-soolihiin (para ulama yang shaleh zaman terdahulu), aqidah Ahlussunnah yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, dengan sungguh-sungguh dan perhatian yang penuh, sehingga ia mendapat petunjuk dari Allah SWT dalam menjalani jalan yang menyampaikan bathinnya ke hadirat Yang Maha Esa, Allah SWT.

Beliau menuntun murid-muridnya yang mempunyai sikap mubtadi, yakni bersikap mengikuti dengan berbagai sifat permulaan yang mendasar sebagai berikut :

  1.  Bersih hati.
  2.  Muka jernih.
  3.  Berbuat kebajikan.
  4.  Menolak kemungkaran dan kejahatan.
  5.  Menghayati kefakiran terhadap Allah.
  6.  Menjaga kehormatan terhadap para gurunya.
  7.  Bergaul dengan baik sesama ikhwan.
  8.  Memberi nasihat kepada sesama mu’min.
  9.  Menjauhkan permusuhan.
  10.  Memberi bantuan dalam masalah agama dan dunia.
Baca Juga:  Wajibkah Umat Islam Bertasawuf? Ini Penjelasannya

Inilah ajaran-ajaran dasar Thariqah Qadiriyyah.

Setelah ajaran dasar tersebut dihayati dan diamalkan oleh murid, maka ia harus menjalani berbagai maqam atau tahapan latihan-latihan kerohanian.

Tahapan awal, adalah suatu tahapan yang dapat dilalui dalam waktu yang singkat, hanya menghabiskan waktu lebih kurang setengah jam. Apabila tahapan ini lancar, maka ia berpindah ke tahapan berikutnya. Secara kronologis (secara berturut-turut), tahap awal ini berlangsung sebagai berikut :

  1. Pertemuan awal antara murid dan guru. Sebelum berlangsungnya pertemuan, seorang murid diharuskan mengerjakan shalat sunnah dua raka’at, dan setelah itu membaca surat al-Faatihah, yang dihadiahkan bagi Rasulullah SAW, para Rasul dan para Nabi. Kemudian murid duduk di hadapan guru dengan posisi lutut murid sebelah kanan, bersentuhan dengan tangan guru yang sebelah kanan. Dalam posisi yang demikian, murid dianjurkan untuk mengucapkan istighfaar (memohon ampun kepada Allah SWT) beserta lafadz-lafadz tertentu, dan guru mengajarkan kalimah tauhid “Laa ilaaha illallooh” (3x), dan murid mengikutinya sambil memicingkan kedua matanya. Pada saat inilah murid di bai’ah, dan ia mengikuti ucapan bai’at guru dan dilanjutkan dengan ayat mubaaya’ah (Q.S. 48 : 10). Dan seterusnya Syekh mengajarkan kalimah tauhid, dan cara melakukan dzikir dengan sebanyak 3x. Setelah guru meyakini bahwa murid telah mengikuti ajarannya secara benar, berarti tahapan pertama selesai, dan murid dapat mengikuti tahapan berikutnya.
  2. Pemberian wejangan wasiat dari guru atau Syekh kepada murid. Dalam hal ini Syekh memberi ajaran dan wasiat agar murid mengikuti serta mengamalkan semua nasihat yang telah diberikannya. Nasihat itu pada dasarnya berhubungan dengan etika (akhlak) muslim, lahir dan bathin, mengekalkan wudhu’, menjaga shalat, istighfaar, dan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW.
  3. Pernyataan Syekh (al-Mursyid atau khalifah yang mewakilinya) membai’at muridnya untuk diterima sebagai murid dengan lafadz tertentu, dan pernyataan itu diterima pula oleh murid.
  4. Pembacaan do’a oleh Syekh (al-Mursyid atau khalifah yang mewakilinya) dalam bentuk yang umum maupun yang khusus, bagi murid yang baru di bai’at dengan lafadz do’anya masing-masing.
  5. Pemberian air minum oleh Syekh (seperti di maksudkan di atas) yakni air putih, yang di dalamnya dibacakan do’a berkah untuk murid baru tersebut. Dengan selesainya meminum air, maka berakhirlah tahapan pertama. Dengan demikian resmilah seorang murid menjadi anggota thariqat Qoodiriyyah, sesuai dengan bai’at yang telah di lakukan oleh Syekh terhadapnya.
Baca Juga:  Teori Keseimbangan Antara Agama dengan Dunia Melalui Pendekatan Tasawuf

Tahap berikutnya adalah tahap perjalanan murid menempuh jalan Allah SWT, dengan didampingi oleh Syekh tersebut. Dalam tahapan ini murid menghadapi segala godaan dan rintangan, baik yang datangnya merupakan kenyataan-kenyataan dalam hidup atau memang sebagai ujian dari Syekh  terhadap muridnya. Hal keadaan ini harus ditempuh oleh setiap peserta thariqat Qoodiriyyah.

Tahapan ini memakan waktu yang cukup panjang, dan menghabiskan waktu bertahun-tahun. Dalam tahapan ini barulah murid itu diberikan oleh Syekh “Ilmu Haqiqat”.

Oleh sebab itu ia harus selalu berbakti, menjunjung segala perintah syekh, dan menjauhi segala larangannya. Ia harus yakin atas perjuangannya, dan tetap mempunyai semangat yang tingi untuk melawan hawa nafsu dan melatih dirinya.

Ia juga harus melakukan mujaahadah dan riyaadhah, sehingga ia memperoleh dari Allah SWT seperti apa yang Allah SWT berikan kepada Rasul dan Nabi-Nya, dan seperti yang dibukakan Allah SWT bagi para wali-Nya. Inilah makna firman Allah dalam Qur’an surat 29 al-‘Ankabut, ayat 69:

َوالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَاِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ.

“Dan orang-orang yang berjihad (menentang hawa nafsu dalam arti yang luas) untuk (mencari keridho’an) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik (dalam perjalanannya di dunia ini menuju ridha Allah)”.

Bila murid telah mencapai maqom seperti itu, maka itulah sa’at perpisahan antara murid dengan gurunya. Pada saat itu pula guru memberikan ijazah dalam bentuk al-Irsyaad (gelar al-Mursyid) atau masyiikhah (gelar Syekh).

Bagi muridnya yang telah diberikan gelar itu, maka diberikan hak dan wewenang yang penuh dan status yang sama sebagai Syekh thariqat Qoodiriyyah, sejajar dengan Syekh-Syekh yang ada dalam golongan thariqat ini.

Baca Juga:  Sejarah Thariqah Naqsyabandiyyah, Salah Satu Thariqat Besar dalam Islam

Pemberian ijazah ini juga ditandai dengan pembacaan talqin dan kalimah tauhid dari guru (al-Mursyid) yang diperuntukkan bagi murid itu. Murid juga menyebutkan silsilah Syekh al-Mursyid, mulai dari Syekh yang mengajarnya, sampai kepada Syekh pendiri terikat Qoodiriyyah, dan terus kepada Jibril A.S., dan Allah SWT. Pada akhirnya Syekh membacakan do’a berkah sebagai penutup.

Adapun ciri khas thariqat Qoodiriyyah adalah sifatnya luas, tidak sempit. Hal ini dapat dilihat bila seorang murid yang telah sampai derajat Syekh (al-Mursyid), ia tidak mempunyai suatu keharusan untuk mengikuti thariqat Syekhnya atau gurunya. Ia bebas menentukan langkah atau jalannya menuju keridho’an Allah SWT.

Bagi Syekh (al-Mursyid) yang baru ini diberikan kebebasan untuk tetap dalam thariqat gurunya, atau memodifikasikan (mengubah atau membatasi, atau mengurangi) dengan thariqat yang lain.

Keluwesan ini ada kaitannya dengan dasar ajaran yang ditanamkan oleh Syekh ‘Abdul Qoodir al-Jailani, bahwa murid-murid yang telah sampai pada derajat guru (Syekh, al-Mursyid) diberikan kebebasan secara mandiri sebagai mursyid, dan Allah SWT yang menjadi walinya untuk pembinaan selanjutnya.

Faktor ini pula yang menyebabkan thariqat Qoodiriyyah ini sebagai thariqat yang besar pengikutnya di dunia Islam, terutama di Turki, Yaman, Mesir, India, Suriah, dan Afrika.

Dari uraian sejarah Thariqat Qoodiriyyah di atas dapat kita ketahui, bahwa Syekh ‘Abdul Qoodir al-Jailani bukan hanya mengembangkan ilmu thariqat dan hakikat saja, tetapi juga mengembangkan ilmu syari’at. Dan ini diikuti oleh putra-putra beliau.

Karena itu maka disamping ada madrasah dan ma’had, yang populernya mengajarkan ilmu syari’at, juga ada ar-ribaath, tempat mengajarkan ilmu syari’at yang khusus di wakafkan untuk pendidikan anak-anak orang fakir-miskin.

Bahkan juga ada zawiyah-zawiyah, artinya kamar-kamar khusus dalam berkhalwah melaksanakan ajaran-ajaran thariqat dengan mujaahadahnya, dan juga dengan shalat-shalat sunnahnya. Maka dalam thariqah Qadiriyyah terdapat tempat-tempat khalwah/suluk yang dibimbing oleh Syekhnya atau Mursyidnya. 

Demikianlah uraian ringkas tentang sejarah Thariqah Qadiriyyah semoga bermanfaat bagi saya dan semua pembaca. Amin.