Tidak Tegur Sapa Melebihi 3 Hari, Bagaimana Islam Memandangnya?

Tidak Tegur Sapa 3 Hari

Pecihitam.org– Yang namanya kehidupan tentu kadangkala membuat kita menemui suatu ketidaksamaan pendapat, baik itu menyangkut tentang hal pekerjaan, urisan rumah atau hal-hal lain yang tak jarang menimbulkan perselisihan atau percekcokan. Alhasil, karena ada amarah yang memuncak, maka biasanya, kita merasa kesal dan tidak saling tegur sapa melebihi 3 hari.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Lantas bagaimana islam memandang perihal tidak saling tegur sapa sampai meebihi 3 hari?

Larangan tidak menyapa dalam Hadits

Sebagai umat Islam yang mengambil referensi hukum pada Al Qur’an dan al Hadits, maka berbicara tentang pandangan agama tentang tidak saling tegur sapa antar sesama saudara lebih dari 3 hari banyak diperbincangkan dalam al hadits.

  1. Dari Ayub al-Anshari ra., bahwasanya Rasulullah saw., bersabda,

Tidah diperbolehkan bagi seorang muslim untuk tidak menyapa saudaranya lebih dari tiga hari, mereka bertemu, tapi saling menghindar. Yang terbaik dari mereka adalah yang memulai mengucap salam” (HR. Bukhari)

2. Dari Anas bin Malik ra., yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim bahwasanya Rasulullah saw., bersabda

Jangan saling membenci, saling dengki dan saling menghindar. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara. Tidah diperbolehkan bagi seorang Muslim untuk tidak menyapa saudaranya lebih dari tiga malam.”

3. Sedangkan dari Aisyah ra., sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah ra., bahwa Rasulullah saw.,  bersabda,

Baca Juga:  Status Kapur atau Spidol Bekas Tulisan Al-Qur'an yang Jatuh ke Lantai dan Terinjak?

“Tidah diperbolehkan bagi seorang muslim tidak menyapa saudaranya lebih dari tiga hari. Jika seseorang bertemu dengannya kemudian mengucapkan salam kepadanya tiga kali, dan salam tidak dijawabnya, maka dosanya kembali kepadanya (orang yang tidak menjawab salam).”

Berangkat dari hadits hadits diatas, tentu alangkah baiknya jika kita memahami bahwa sangat manusiawi apabila suatu masalah berujung pada perselisihan karena yang namanya pola pikir, dan sudut pandang seseorang tentu berbeda beda.

Akan tetapi sebagai manusia yang bijak, tentu akan beranggapan bahwa setiap perselisihan pasti ada jalan keluar, bukan malah saling menyalahkan dan pada akhirnya tidak saling menyapa.

Selain itu, kita sebagai penonton tidak selayaknya saling mengompori atau memanas manasi dua pihak yang saling berselisih, sepatutnya disitulah peran kita sebagai saudara untuk saling mendamaikannya, sebagaimana yang termaktub dalam QS. Al Hujurat/49: 10

“Sesungguhnya orang orang Mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapatkan Rahmat”

Sedangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al Muwatha’, Imam Muslim dan Ahmad dijelaskan bahwa

“Pintu pintu surga dibuka setiap hari senin dan kami. lalu diampuni seluruh hamba yang tidak berbuat syirik (menyekutukan) Allah dengan sesuatu apapun. Kecuali orang yang sedang ada permusuhan dengan saudaranya dikatakan padanya: ‘Tunda amal dua orang ini, sampai keduanya berdamai … Tunda amal dua orang ini, sampai keduanya berdamai… Tunda amal dua orang ini, sampai keduanya berdamai”

Adapun alasan yang memperbolehkan untuk tidak saling menyapa

Baca Juga:  Hukum Imunisasi dalam Islam, Kebolehan dan Batasan-batasannya

Pertanyaannya kemudian, apakah semua bentuk tidak saling menyapa tidak diperbolehkan? Sebagai agama yang sangat memahami kondisi dan situasi ummatnya, rupanya kita perlu melihat kondisi tentang mengapa seseorang tidak saling menyapa?

Barangkali ada tujuan yang mungkin lebih baik dan hal itu mengantarkannya pada pembolehan untuk tidak saling menyapa dalam waktu yang sementara. 

Contohnya, seorang anak yang sering melakukan maksiat, akan tetapi jika tidak disapa oleh orang orang terdekatnya seperti ibu atau ayahnya jika melakukan maksiat, maka anak tersebut tidak lagi mengulang tindakan maksiatnya tersebut karena tak ingin diabaikan oleh orang orang terdekatnya seperti tidak disapa, tentu hal ini akan diperbolehkan.

Sebagaimana apa yang dilakukan oleh Nabi saw., ketika tidak menyapa Ka’ab ibn Malik, Mararah ibn Rabi’dan Hilal ibn Umayah selama lima puluh hari.

Seperti yang di riwayatkan dari Abdullah ibn Ka’ab, ia berkata,

“Aku mendengar Ka’ab ibn Malik berbincang ketika dia tidak ikut perang Tabuk, kemudian Rasulullah saw., melarang berbicara dengan kami. Aku mendatangi Rasulullah saw., dan mengucapkan salam kepadanya. Aku berkata dalam hati, apakah beliau menggerakkan bibirnya untuk menjawab salamku atau tidak? Setelah genap lima puluh malam, Nabi mengizinkan kami dan meminta kami bertobat kepada Allah ketika shalat Subuh’.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Baca Juga:  Bagaimana Hukum Puasa Syawal Menurut Mazhab Maliki (Tinjauan Hadits, Fiqh dan Usul Fiqh)

Sehingga dari pembahasan singkat diatas sepatutnya kita berhati hati dalam masalah ini, terlebih menyangkut tentang hubungan persaudaraan, jangan sampai hanya karena dorongan nafsu dan merasa tinggi hati, kita malah memilih untuk memutus tali silaturahmi dengan tidak saling sapa, hingga memunculkan rasa dengki dan benci.

Karena dosanya sendiri bukanlah dosa kecil, serta dampaknya bukan pula dampak yang kecil. Sebab perselisihan yang berakhir pada tidak saling menyapa merupakan tindakan yang tidak sepatutnya kita lakukan sebagai umat muslim yang saling bersaudara.

Itulah sekilas tentang memutus tali silaturahmi dan tidak saling tegur sapa lebih dari 3 hari dalam pandangan Islam. Semoga bermanfaat!

Rosmawati