Pecihitam.org – Barangkali bukan hal yang aneh jika di tengah pandemi yang melanda negeri ini, sebagian umat Islam menjalankan ibadah puasa hanya berdiam diri di rumah. Tidak jarang di antara mereka mengisi waktu dengan tidur dan rebahan. “Tidurnya orang yang puasa itu ibadah”. Begitu kira-kira.
Ungkapan tenar dan familiar tersebut bukanlah fiksi atau bahkan gurauan belaka, melainkan “dalil” yang berasal dari sumber yang jelas. Namun sayangnya, banyak di antara kita yang menjadikan ungkapan tersebut sebagai argumen kuat untuk mempertahankan “hobinya” tersebut.
Jika kita lirik, ternyata kalimat masyhur itu adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi. Hal tersebut sebagaimana termaktub dalam kitabnya, Syu’abul Iman bab fii Ashshiaam halaman 415. Berikut ini adalah redaksinya:
وأخبرنا علي بن أحمد بن عبدان أنا أحمد بن عبيد الصفار نا أحمد بن الهيشم الشعراني نا شريج بن يونس نا سليمان بن عمرو عن عبد الملك بن عمير عن عبد الله بن أبي أوفى عن النبي قال: نوم الصائم عبادة وسكوته تسبيح ودعاؤه مستجاب وعمله مستقبل. لفظ حديث ابن عبدان
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ali bin Ahmad bin Abdan, telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Ubaid ashShafar, telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Haisyam asySya’rani, telah menceritakan kepada kami Suraij bin Yunus, telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin ‘Amr, dari Abdul Malik bin Umair, dari Abdullah bin Abi Aufa, dari Nabi saw beliau bersabda: Tidurnya orang yang berpuasa itu ibadah, diamnya adalah bertasbih, doanya dikabulkan dan amalnya diterima. Ini redaksi Ibnu Abdan. [HR. Baihaqi].
Hadis ini memang benar diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam kitabnya. Sebenarnya, beliau tidak hanya meriwayatkan dari satu jalur saja melainkan juga dari banyak jalur. Namun pada redaksi ini, penulis mengambilnya dari jalur Sulaiman bin Amr.
Sebagaimana telah disampaikan bahwa hadis ini memiliki banyak redaksi yang berbeda-beda. Namun ke semua redaksi tersebut dinilai dhaif oleh para ulama disebabkan para perawi yang meriwayatkannya.
Para ulama menilai bahwa Sulaiman bin ‘Amr lebih lemah daripada Ma’ruf bin Hasan. Karenanya, Al-Iraqi mengatakan bahwa sanad hadis ini dhaif. Imam Assuyuthi dalam Jami’ushshagir dan Syekh Albani dalam Silsilah adhDha’ifah dan Dha’iful Jami’ juga mengatakan hal yang sama.
Meski hadis ini dinilai dha’if, namun ia memiliki tawabi’ (teman) dari jalur lain. Oleh karenanya, statusnya menjadi naik ke tingkat selanjutnya. Hadis ini juga dapat diamalkan, namun cara pengamalannya tentu tidak “saklek” dengan kekeh mengatakan bahwa tidurnya orang yang puasa itu ibadah.
Memang benar tidurnya orang yang puasa itu ibadah. Arti ibadah di sini adalah tidak melakukan hal yang dilarang oleh Allah dan ini bernilai pahala. Namun mana yang lebih antara tidur sepanjang jam selama berpuasa dengan bekerja, belajar, tadarus Alquran dan lainnya? Tentu yang kedua inilah yang lebih baik.
Tapi kalau membandingkan antara tidur dengan maksiat atau mengerjakan sesuatu yang tidak bermanfaat, jelas tidur lebih baik dan bernilai ibadah di sisi Allah. Dengan demikian, tergantung dari sudut mana kita menilainya.
Simpulnya, selama kita punya tugas dan kewajiban yang harus ditunaikan maka tunaikanlah dengan baik. Insyaa Allah yang demikian bernilai pahala di sisi Allah. Artinya, tidak mengabaikan tugas dan kewajiban tersebut dengan tidur saja dan beralasan “tidurnya orang yang puasa itu ibadah”.
Demikian semoga bermanfaat. Wallaahu a’lam bishshawaab.
- Pembubaran FPI dan Nasib Masa Depan Indonesia - 08/01/2021
- Pembagian Najis dan Cara Mensucikannya, Kamu Harus Tahu - 25/10/2020
- Kritik Imam al Ghazali Terhadap Pemikiran Para Filsuf (Part 2) - 11/10/2020