Tradisi Rasulan, Cara Para Petani Mensyukuri Hasil Bumi yang Melimpah

Tradisi Rasulan, Cara Para Petani Mensyukuri Hasil Bumi yang Melimpah

PeciHitam.org Banyak cara yang bisa dilakukan seorang Muslim untuk mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT. Setidaknya mengucapkan kata ‘Alhamdulillah’ adalah sebuah ungkapan rasa syukur paling umum. Mengucapkan ‘alhamdulillah’ dalam bentuk tindakan bisa dilakukan dengan menggunakan rezeki sesuai porsi.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Penggunaan rezeki karunia Allah SWT untuk hal baik tidak lain bentuk terima kasih secara aplikatif. Dengan tidak menggunakan karunia Allah SWT untuk bermaksiat kepadaNya bisa dimaknai sebagai ketaatan seorang hamba kepada RaabNya.

Di Nusantara sendiri, banyak tradisi yang digunakan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT. Awal mula tradisi ini memang berasal dari praktek animism-dinamisme atau dari agama sebelum Islam. Selama masa dakwah awal Islam, tradisi mengalami pergeseran bentuk dan akulturasi.

Nilai Islam banyak mendominasi ritus dan ritual tradisi yang sudah ada terlebih dahulu. Setidaknya, ungkapan rasa syukur Umat Islam terhadap hasil panen yang melimpah akan mengadakan acara tasyakuran yang disebut tradisi Rasulan.

Daftar Pembahasan:

Ungkapan Syukur Atas Nikmat Allah

Beberapa daerah yang mempunyai tradisi Rasulan adalah wilayah kekuasaan yang  masuk Kasunan Surakarta dan Kesultanan Ngayogyakarta bagian selatan. Setidaknya Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Gunung Kidul masih mempertahankan tradisi Rasulan sebagai wujud rasa Syukur.

Rasa syukur yang dimaksud yakni ungkapan atas hasil panen yang melimpah. Oleh karenanya, Tradisi Rasulan biasanya digelar setalah panen raya usai. Panen yang melimpah tidak lain dipahami oleh pelaksana tradisi ini adalah anugerah dari Allah SWT, maka harus disyukuri.

Bentuk tasyakuran adalah nalar pikir orang Jawa memang sangat lekat dengan mayoran, shadaqah berupa makanan kepada banyak orang atau mengadakan tradisi kenduren. Tradisi Rasulan

أَىُّ الإِسْلاَمِ خَيْرٌ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَعَلَى مَنْ لَمْ تَعْرِف

Artinya; “Amalan islam apa yang paling baik?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab, “Memberi makan (kepada orang yang butuh) dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenali dan kepada orang yang tidak engkau kenali. ” (HR. Bukhari)

Tradisi Rasulan yang banyak mempraktekan acara makan-makan tidak lain adalah bentuk tradisi yang sesuai dengan anjuran Rasulullah SAW. Hal ini menunjukan bahwa tradisi Nusantara yang banyak melibatkan makan bersama baik skala besar maupun kecil merupakan bentuk ajaran Islam yang membudaya.

Baca Juga:  Syair Perang Mengkasar Encik Amin dan Eksistensi Literatur Islam Melayu

Hampir setiap acara yang diselenggarakan orang islam di Nusantara yang berbalut budaya sudah terselip ajaran dan nilai Islam. Kecerdasan para Walisongo dan penerusnya dalam berdakwah yang lembut lewat jalur budaya menunjukan Islam bisa sangat elegan diterima di Nusantara.

Acara makan-makan yang diperitahkan Rasulullah SAW, terbalut ungkapan syukur telah menerima karunia Allah SWT dalam tradisi Rasulan menunjukan Urf yang baik harus dijaga dengan baik pula. Tidak seyogyanya menghilangkan tradisi kalau sudah mengandung banyak nilai positif.

Rangkaian Tradisi Rasulan

Untuk mengetahui apakah tradisi Rasulan mengandung unsure heretic, atau bid’ah tentunya bukan hanya melihat ada atau tidaknya tuntunan. Karena paktek tradisi Rasulan adalah bentuk ekspresi keagamaan atau local genius (kearifan local) yang berupa tradisi atau ‘Urf.

Tradisi yang baik berupa ‘Urf tidak seyogyanya disalahkan atau disesatkan selama tidak bertentangan dengan perintah Allah SWT dan apa yang dicontohkan Rasulullah SAW. Tradisi sebagai ekspresi cita dan karsa manusia tetap boleh dijalankan selama tidak bertentangan dengan Ushuluddin.

Untuk meninjau hukum dan garis besar Tradisi Rasulan dalam prakteknya maka diperlukan rincian kegiatan yang dilakukan selama tradisi digelar. Rangkaian tradisi Rasulan umumnya dilakukan sebagai berikut;

  1. Diawali dengan bersih dusun, atau desa. Bentuknya bisa dengan kerja bakti, gotong royong, merapikan tempat-tempat yang vital, melakukan selamatan atau Sekiranya praktek kerja bakti sampai gotong royong tidak sama sekali mengandung unsur heretic yang membahayakan Islam.

Acara selamatan atau Kedurian tidak lain sebuah acara makan bersama tumpeng yang didoai dan dibawa pulang selebihnya. Dalil makan bersama banyak ditemukan dalam riwayat Hadits rasulullah SAW bahkan beliau sendiri memerintahkannya; ‘قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَعَلَى مَنْ لَمْ تَعْرِف’ bahwa memberi makan orang adalah salah satu bentuk kebaikan Islam.

  1. Meramaikan acara tradisi Rasulan digelar berbagai lomba untuk menyemarakan acara tersebut. Lomba-lomba yang diadakan oleh panitia tradisi Rasulan tidak lain sebagai sarana peningkatan kesehatan warga dan untuk meramaikan rangkaian acara tradisi Rasulan.
Baca Juga:  Hubungan Perkembangan Majlis Taklim di Indonesia dengan Metode Pengajaran Islam

Banyak acara lomba untuk menyemarakan tradisi Rasulan mulai dari lomba yang berbasis umum seperti olahraga dan panjat pinang, juga lomba yang berbasis keagamaan berupa Ngaji, Adzan, Shalawatan dan banyak lainnya. Adu kebaikan dalam bentuk lomba tentunya tidak terlarang dalam Islam.

  1. Acara puncak tradisi Rasulan biasanya diisi dengan tabligh akbar atau biasa disebut dengan Tidak lain pengajian adalah bentuk lain dari majlis Ilmu dengan mendatangkan muballigh menyampaikan nasehat-nasehat keagamaan.

Tidak ada syak keraguan bahwa tradisi Rasulan yang berpuncak acara pengajian umum atau tabligh akbar sesuai dengan anjuran Rasulullah SAW sebagaimana dalam Hadits dikitab Adzkar;

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا قَالُوا وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ قَالَ حِلَقُ الذِّكْرِ

Artinya; “Dari Anas bin Malik RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Jika kamu melewati taman-taman surga, maka singgahlah dengan senang.” Para sahabat bertanya,”Apakah taman-taman surga itu?” Beliau menjawab,”Halaqah-halaqah (kelompok-kelompok) dzikir.” (HR Tirmidzi)

Unsur-unsur dalam rangkaian acara tradisi Rasulan tidak menunjukan gejala apapun tentang praktek heretik yang dilarang dalam Islam. Tradisi Rasulan kiranya sudah mengalami Islamisasi dalam proses yang panjang hasil dari Ijtihad para penyebar Islam awal.

TBC dan Tradisi Rasulan

Fenomena unik bersinggungan dengan tradisi Rasulan yang banyak dilakukan di Kabupatan Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagaimana diketahui bahwa DIY adalah basis pengembangan dakwah ‘Purifikasi’ ajaran Islam yang dimotori oleh Ormas Islam.

Baca Juga:  Memahami Agama Dan Budaya Masyarakat Jawa (Bagian II)

Pada era 60-80an sangat kental istilah dakwah memberantas TBC, dengan bukan merujuk pada penyakit tibber culossis. TBC yang dimaksud adalah musuh Islam berupa Takhayul, bid’ah dan churafat yang diklaim banyak dilakukan oleh orang Islam di Nusantara.

Acara yang dituduh sebagai bagian dari TBC adalah acara tahlilan, selamatan, kenduren, yasinan, mitoni, selapanan dan lain sebagainya. Acara ini secara keras ditolak karena bukan berasal dari ajaran Islam atau tidak memiliki tuntunan Rasulullah.

Uniknya Tradisi Rasulan tidak masuk dalam daftar bidikan dakwah TBC. Entah karena pengistilahan yang tidak sesuai atau kurang disukai akan tetapi fenomena ini menjadi Kontradiksi. Keunikan yang berujung kontradiksi menunjukan bahwa dalam gerakan pembasmian TBC banyak nilai berdasarkan subyektifitas.

Subyektifitas dalam menilai sebuah tardisi beririsan dengan nilai ajaran Islam akan menimbulkan kekacauan. Penilaian atas tradisi yang lacur sudah tidak disukai akan terus menerus dipertahankan, bukan atas alasan obyektif rasional tapi alasan like and dislike.

Penilaian terhadap tardisi yang berbalut nilai Islam harus dipahami secara mendalam jangan sampai ada kejadian pengharaman majlis Tahlil dan penghalalan majlis Kalimah Thayyibah. Sedangkan kedua majlis tersebut sama persis hanya beda nama.

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ (١٩٩

Artinya; “Jadilah Engkau Pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (Al-‘Urf), serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh” (Qs. Al-A’raf: 199).

Ash-shawabu Minallah

Mochamad Ari Irawan