Tragedi Mihnah, Catatan Kelam Kekejaman Mu’tazilah dalam Sejarah Islam

tragedi mihnah

Pecihitam.org – Dalam sejarah Islam klasik sebenarnya tidak hanya terdapat cerita-cerita kejayaan Islam saja, melainkan juga ada cerita yang menegangkan bahkan konflik besar di dalamnya. Salah satu sejarah konflik di masa Islam klasik adalah Tragedi Mihnah (inquisition).

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Tragedi Mihnah secara spesifik terjadi pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada khalifah Al-Ma’mun sekitar 813 Masehi. Al-Ma’mun dikenal sebagai pecinta ilmu. Pada masa pemerintahannya, Al-Ma’mun mendirikan Bait Al-Hikmah untuk menunjang perkembangan keilmuan di dunia Islam.

Upaya Al-Ma’mun untuk mendirikan pusat studi tidak sia-sia. Khazanah intelektual Islam berkembang sangat pesat. Tradisi keilmuan Yunani kuno diterjemahkan dalam bahasa Arab. Perkembangan ilmu filsafat, astronomi, dan ilmu lainnya menunjukkan kapasitas seorang khilafah yang mencintai ilmu.

Namun sayangnya, dibalik kecintaannya ilmu, khalifah Al-Ma’mun justru tidak menaruh rasa hormat kepada para alim ulama. Terbukti ketika ada perselingkungan antara agama dan politik, Al-Ma’mun menggunakan kekuasaannya untuk menyamaratakan pemahaman tentang kemakhlukan Al-Qur’an kepada warga negaranya, baik pejabat maupun masyarakat sipil.

Puncak dari tindakan mereka, adalah ketika al-Ma’mun menjadi khalifah dan mengakui Mu’tazilah sebagai mazhab resmi yang dianut Negara. Hal ini memberi peluang bagi kaum Mu’tazilah untuk memaksakan paham dan keyakinannya kepada golongan-golongan lain atas nama khalifah. Hal ini mengakibatkan timbulnya suatu peristiwa yang dikenal dengan “Peristiwa Khalq Al-Qur’an”, apakah Al-Qur’an itu Qadim atau Makhluk?

Baca Juga:  Benarkah Penulisan Sejarah Terbentuk atas Kepentingan Politik Semata?

Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk Allah SWT yang tersusun dari suara dan huruf-huruf. Al-Qur’an itu mahluk, dalam arti diciptakan Tuhan.

Karena Al Quran diciptakan itu artinya ia sesuatu yang baru, sehingga tidak Qadim. Karena menurut mereka jika Al-Qur’an itu Qadim, maka akan ada yang Qadim selain Allah SWT dan ini hukumnya syrik dan syirik adalah dosa yang terbesar yang tidak diampuni oleh Tuhan.

Akhirnya khalifah al-Ma’mun memberi intruksi kepada para gubernur untuk diadakan ujian, terhadap aparat negara tentang paham ini. Dan orang yang berkeyakinan bahwa Al-qur’an itu Qadim maka tidak dapat dipakai atau tidak dapat menempati posisi penting dalam pemerintahan negara, terutama jabatan Qadi.

Dalam pelaksanaanya, ternyata bukan hanya para aparat pemerintahan yang diperiksa dan diadili, tetapi juga para hakim, saksi, dan para ulama dan tokoh-tokoh masyarakat. Sehingga timbullah dalam sejarah Islam apa yang disebut dengan tragedi “al-Mihnah”.

Malapetaka ini terus berlanjut sampai khalifah sesudahnya (al- Mu’tashim dan al-Mutawakkil) sampai tidak ada yang melewatkan untuk di adili, mulai dari ahli Fiqih, ahli Hadis, Mu’adzin sampai seluruh tenaga pengajar. Banyak orang yang melarikan diri dan penjara dipenuhi orang-orang yang menolak seruan pemerintah ini.

Baca Juga:  Kisah Rasulullah dan Kaum Muslimin Hijrah ke Negeri Habasyah (Ethiopia)

Diantaranya yang diuji dari ahli Hadis dan Fiqih, terdapat Ahmat bin Hambal di Irak. Dengan keberaniannya beliau tidak takut mati mempertahankan keyakinannya menentang faham kemakhlukan Al-Qur’an. Sehingga beliau dibelenggu, disiksa dan di masukkan ke dalam penjara. Bahkan ada ulama yang dibunuh karena tidak sepaham dengan aliran Mu’tazilah, seperti al-Khuzzai dan al-Buwaiti.

Sikap ini, membuat banyak pengikut dikalangan umat Islam yang tak sepaham dengan kaum Mu’tazilah sangat geram. Sehingga pada masa al-Mutawakkil pada tahun 848 M. aliran Mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara dibatalkan.

Akibatnya dari pembatalan itu, kedudukan Mu’tazilah mulai menurun, apalagi setelah khalifah al-Mutawakkil menunjukkan sikap penghargaan dan penghormatan terhadap Imam Ibnu Hambal, yang merupakan lawan Mu’tazilah terbesar waktu itu.

Keadaan menjadi sebaliknya; Imam Ibnu Hambal dan para pengikutnya menjadi golongan yang dekat dengan pemerintah, sedangkan Mu’tazilah menjadi golongan yang tersingkir jauh dari Dinasti Abbasiyah.

Baca Juga:  Sejarah Lambang Bendera NU Beserta Makna Dibaliknya

Setelah riwayat al-Mihnah selesai, pengaruh aliran Mu’tazilah berangsur-angsur menjadi lemah, terutama sesudah Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari mengalahkan pemikiran mereka dan dengan berdirinya paham Ahlussunnah wal Jamaah.

Akhirnya kegiatan kaun Mu’tazilah hilang sama sekali setelah terjadi serangan orang-orang Mongolia atas dunia Islam. Itulah babak tragedi Mihnah dalam sejarah Islam di masa penguasa kekhalifahan.

Tragedi itu menunjukkan bahwa sejarah Islam klasik tidak hanya didominasi oleh cerita-cerita yang manis belaka, akan tetapi dibalik itu semua, sesungguhnya banyak catatan sejarah kelam yang tidak akan pernah dilupakan.

Ini menjadi pembelajaran umat muslim semua bahwa antara politik dan agama tidak sepatutnya menjadikan adanya pertumpahan darah, diskriminasi dan intoleransi terhadap umat.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *