Begini Maksud Cakap Transaksi Jual Beli Menurut Para Ulama

Begini Maksud Kecakapan Transaksi Jual Beli Menurut Para Ulama

Pecihitam.org- Para Ulama telah sepakat bahwa kecakapan transaksi jual beli yang dilakukan oleh subyek yang mukalaf dan tidak dipaksa hukumnya adalah sah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Mukalaf adalah orang yang sudah baligh dan berakal. Ukuran baligh secara umum terbagi dua; biologis dan usia. Biologis, jika perempuan yang usianya 9 tahun atau mendekati sudah men (haid) itu sudah baligh.

Sementara untuk laki-laki jika usia 12 tahun sudah mimpi bersetubuh, atau keluar seperma. Adapun ukuran usia, bisa dikatakan baligh jika sudah mencapai 15, baik laki-laki, maupun perempuan.

Hal ini tentu berbeda jika jual beli dilakukan oleh orang yang belum mukalaf. Pada hal ini ulama saling bersilang pendapat. Imam Malik, dan Imam Syafi’i misalnya, menyatakan tidak sah jual beli dilakukan oleh orang yang belum mukalaf, hal ini didasarkan pada Nas Al-qur’an, (Lihat suarat al-Nisa ayat 5).

Pendapat ini tidak sejalan dengan Imam Hanafi dan Imam Ahmad yang menyatakan sah, jika anak tersebut sudah pintar. Pintar yang dimaksud, ketika diperintah tahu, dan melakukan sesuatu yang diperintahkan.

Baca Juga:  Hukum dan Larangan Menjual Barang Cacat dalam Islam

Tambahnya anak yang masih kecil tetapi sudah pintar jika melakukan transaksi jual beli dengan se-izin orang tua atau walinya dinyatakan sah (Abi al-Muwahib Abdu al-Wahab bin Ahmad bin Ali al-Ansari, 62).

Argumen yang dibangun oleh Imam Hanafi dan Ahmad adalah terdapat pada izin orang tua atau wali, bukan pada anak. Artinya semua yang dilakukan oleh anak tersebut di bawah tanggungan orang tua atau walinya.

Lahirnya perdebatan status (anak) penjual dan pembeli diakibatkan rukun yang harus dipenuhi dalam transaksi. Dalam Islam ketika seseorang bertransaksi harus memenuhi bahasa (sighat), orang yang akad (akid) barang yang diakadkan (makud).

Ketiga rukun tersebut harus dilakukan oleh kedua belah pihak, yakni si penjual dan si pembeli. Dari tiga rukun ini setiap ulama mendefinisikan berbeda-beda. Perbedaan yang sangat menonjol adalah pada sighat (bahasa) waktu akad (ijab qabul).

Imam Hanafi misalnya akad itu bisa dengan kata-kata (sighat) bisa juga dengan tindakan, artinya ketika seseorang (penjual) memberikan barang, dan pembeli memberikan uang, itu sudah dianggap akad.

Baca Juga:  Hukum Forex dalam Islam Itu Boleh? Tunggu Dulu, Ini Syarat-Syaratnya!

Hal ini sangat berbeda dengan pemahaman imam Syafi’i, beliau memahami bahwa akad itu harus dengan kata yang bisa dipahami oleh kedua belah pihak, atau dengan kwitansi. Namun bagi orang gagu (tunawicara) bisa denga isyarat yang sudah dimaklum (Abdu al-Rahman alAziri, 130).

Kasus yang sejajar dengan persoalan di atas (anak kecil) adalah orang yang melakukan jual beli dengan cara dipaksa. Baik penjual atau pembeli melakukannya tidak atas kehendak sendiri.

Persoalan ini dipahami oleh ulama satu sama lain berbeda. Imam Hanafi misalnya, menghukumi sah jual beli yang dipaksa. Sementara Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad menyatakan tidak sah.

Silang pendapat para ulama dalam memutuskan hukum khususnya jual beli bersifat argumentatif. Ke-empat mazhab ini berusaha menangkap pesan-pesan Al-qur’an dan sumber yang lainnya, seperti yang telah penulis paparkan di atas.

Baca Juga:  Hukum Pajak dalam Islam; Samakah dengan Zakat? Ini Dalil dan Penjelasannya

Hanya saja makna Al-qur’an multi level, sehingga satu sama yang lain dapat menangkap sesuai dengan latar belakang ke-ilmuan dan metode yang digunakan.

Al-qur’an syarat dengan keunikannya memiliki makna harfiah, ibrah, isyarat, lathaif, dan haqaik. Khusus untuk makna haqaik hanya bisa ditangkap oleh para Nabi dan Rasul. Level ulama hanya manfu menangkap makna tingkat lathaif (Apipudin: 2012). Atas dasar inilah perbedaan faham yang terjadi merupakan sebuah kazanah Islam.

Mochamad Ari Irawan