Tuanku Imam Bonjol; Biografi Hingga Sejarah Perang Padri

Tuanku Imam Bonjol; Biografi Hingga Sejarah Perang Padri

PeciHitam.org – Tuanku Imam Bonjol, gambar yang menghiasi bagian depan uang Rp 5000,- adalah seorang pejuang islam dan bangsa sejati. Beliau memperjuangkan sebuah prinsip yang diimplementasikan dalam perjuangan dan kehidupan beliau. Tidak ada rasa gentar terhadap musuh dan berbelas kasih kepada sesama.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Gambaran ini menjadikan logis tentang perjuangan panjang beliau serta alasan mengapa beliau harum namanya. Dengan pengikut setia, beliau menentang kesyirikan yang ada di Negeri Minang  (Sumatera Barat Sekarang) serta anti terhadap kolonialisme dalam kehidupan kerajaan Pagaruyung.

Daftar Pembahasan:

Biografi Tuanku Imam Bonjol

Muhammad Shahab di Bonjol nama Asli dari Tuanku Imam Bonjol. Nisbat daerah menandakan beliau seorang pemimpin dan tokoh di daerah Bonjol Sumatera Barat.

Bonjol sendiri para era sekarang menjadi kota Kecamatan pada Kabupaten Pasaman Sumbar. Beliau adalah seorang tokoh ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda pada sebuah peperangan panjang yang terkenal dengan “Perang Padri” (1803-1837 M).

Muhammad Shahab lahir pada tahun 1772 M, dari seorang Khatib (Penghulu Agama) Bayanuddin dengan Hamatun. Ayah beliau adalah seorang alim ulama dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota.

Peran ayahnya sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, menjadikan Tuanku Imam Bonjol memperoleh beberapa gelar kehormatan. Beberapa gelar yang disandang beliau yakni Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam.

Naiknya nama beliau dalam struktur masyarakat adalah berkat  ditunjuk oleh Tuanku nan Renceh. Tuanku Nan Renceh adalah tokoh terpandang dan pimpinan sebuah gerakan Harimau Nan Salapan dari Kamang, Agam, Sumatera Barat.

Nama Tuanku Imam Bonjol dikenal sebagai pemuka agama Islam dengan pribadi yang santun. Sosok Tuanku Imam Bonjol hingga kini tidak bisa dilepaskan dari Kaum Paderi.

Kaum Paderi merupakan sebutan yang diberikan kepada sekelompok masyarakat pendukung utama penegakan syiar agama secara kaafah. Penegakan tersebut harus terwujud dalam masyarakat Minangkabau, yang mendapat ruang perjuangan dalam perang Padri.

Kisah Perang Padri 1803-1838

Perang Padri adalah perang yang bermula antara golongan Agama dengan Adat yang dibentengi Sultan Pagaruyung., Sultan Arifin Muningsyah. Perjuangan Imam Bonjol adalah membuat landasan Hukum berdasar Syariah Islam, pada tatanan kerajaan Pagaruyung (1347-1825).

Baca Juga:  Ini Penting Saya Utarakan! Sombongnya Gus Baha itu Berdasarkan Ilmu

Garis utama dari perjuangan kelompok  Harimau Nan Salapan adalah menginginkan pelaksanaan hukum Islam secara menyeluruh di Kerajaan Pagaruyung.

Keterlibatan Tuanku Imam Bonjol sendiri dalam Perang Padri bermula saat dirinya diminta menjadi pemimpin Kaum Paderi dalam Perang Padri setelah sebelumnya dia ditunjuk oleh Tuanku Nan Renceh sebagai Imam di Bonjol, Pasaman. Penunjukan ini secara de facto dan de jure menjadikan Tuanku Imam Bonjol sebagai garis depan panglima perang dari Golongan Padri.

Perlu diketahui bahwa golongan Padri adalah golongan Agama dari metamorfosis perguruan Harimau Nan Salapan. Pimpinan golongan ini adalah Tuanku Imam Bonjol yang sebelumnya Tuanku Nan Renceh.

Dengan ditunjuknya sebagai pemimpin, maka kini komando Kaum Paderi ada di tangan Tuanku Imam Bonjol. Sebagai pemimpin, Tuanku Imam Bonjol harus mewujudkan cita-cita yang diimpikan oleh pemimpin Kaum Paderi sebelumnya walaupun harus melalui peperangan.

Awal Perang Padri 1803

Latar belakang perang Padri sebagai buntut dari cita-cita Kaum Padri (Kaum Ulama) dalam menentang perbuatan-perbuatan maksiat yang marak saat itu dan dilindungi oleh para penguasa. Wilayah kekuasaan Bonjol adalah bagian dari Kerajaan Pagaruyung di bawah Sultan Arifin Muningsyah.

Beberapa musuh dan tuntutan utama Kaum Padri adalah memberangus kesyirikan dengan praktek mendatangi kuburan-kuburan keramat, perjudian, penyabungan ayam, penggunaan Narkoba, mabukan.dan pelonggaran pelaksanaan kewajiban ibadah agama Islam.

Jalan buntu antara Kaum Adat yang telah memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga menyeruaklah perang pada tahun 1803 M.

Awal berjalannya perang ini adalah murni sebuah gerakan yang menuntut adanya penerapan syariat Agama secara penuh dalam Kerajaan Pagaruyung. Sampai 1821 M, perang ini berubah menjadi perang Pribumi dengan Penjajah, Belanda.

Berjalannya Perang Padri

Kelanjutan Perang Padri yaitu tahun 1821, Kaum Adat pimpinan Sultan Arifin Munignsyah meminta bantuan kepada Belanda. Keadaan ini semakin rumit dalam peperangan.

Baca Juga:  Khalid bin Walid, Panglima dan Ahli Strategi Perang yang Bergelar Saifullah Al-Maslul

Sehingga pada tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri, walaupun Belanda pada akhirnya memenangkan perang dengan jangka waktu lama.

Siasat Belanda untuk memberangus gerakan Padri terjadi pada Oktober 1837 M. Siasat tersebut menggunakan hal sama dengan Penaklukan Pangeran Diponegoro di Jawa. Imam Bonjol diundang Belanda ke Palupuh, Kabupaten Agam sekarang, guna berunding.

Siasat licik Belanda sama persis yang dilakukan dengan Pangeran Diponegoro, yaitu sesaat tiba di tempat, Imam Bonjol langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat.

Masa pembuangan selanjutnya yaitu Imam Bonjol dibuang ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Pada tempat terakhir inilah, Imam Bonjol meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864.

Dilihat dari masa pembuangan 1837 sampai kematian beliau 1864, berarti Imam Bonjol nyaris menghabiskan waktu 27 Tahun dalam pengasingan dan pembuangan sebagai penjahat perang. Imam Bonjol di makamkan di Minahasa dekat Manado.

Masa 27 tahun dalam pengsingan, menjadikan Imam Bonjol berpikir tentang perjuangan Golongan Padri. Perjuangan dengan jalan kekerasan yang akhirnya meluluh-lantakan kerajaan Pagaruyung (1825 M). Kerajaan ini hilang Legitiminasinya karena menandatangani Perjanjian dengan Belanda.

Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan kepahlawanannya dalam menentang penjajahan. Sebagai penghargaan dari pemerintah Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia pada umumnya, Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November 1973.

Gerakan Padri dalam Pandangan Modern

Gerakan Padri yang sering disematkan kepada Golongan Ulama di Sumatera Barat mempunyai cita-cita penerapan Syariat Islam secara penuh/ kaafah. Konsekuensi dari gerakan ini adalah penggunaan jalan perang untuk mencapai cita-cita tersebut.

Sejarahwan Gusti Asnan (Guru besar Sejarah Universitas Andalas) menilai, dalam memahami jalan perang dan Kisan Imam Bonjol jangan sampai hanya satu sudut sejarah.

Pandangan homogen akan menjadikan pengkerdilan terhadap jasa dan kontribusi Imam Bonjol pada perjuangan Rakyat Indonesia. Jika kita melihat gerakan Padri memang memiliki pola sama dengan gerakan modern ini. Gerakan yang menginisiasi adanya penerapan Syariat secara kaafah.

Saiq Aqil Siradj menerangkan, bahwa pola gerakan Padri dengan visi tersebut memang bisa dibilang fundamentalis. Akan tetapi musuh yang dihadapi adalah Belanda, yang mana tokoh sekaliber Pangeran Diponegoro juga melakukan Pemberontakan kepada Belanda.

Baca Juga:  Ki Hajar Dewantara; Biografi, Pemikiran dan Pandangannya Tentang Pendidikan

Jadi garis perjuangan Imam Bonjol dan Diponegoro hampir beririsan dalam menghadapi musuhnya, pun waktu perang Padri (1803-1837) dan Perang Jawa (1825-1830) juga dalam waktu bersamaan.

Artian Fundamentalis secara positif karena musuh yang dihadapi adalah kaum Kolonialis Penjajah, Belanda. Perjuangan untuk bisa menentukan nasib sendiri bagi sebuah bangsa.

Beberapa sejarawan juga mengemukakan bahwa gerakan Padri adalah radikalis Positif, demikian pendapat Mestika Zed. Beliau memaparkan bahwa perspektif dalam sejarah harus dipahami dalam konteks dan lintasan waktu serta tantangan para pejuang.

Keniscayaan gerakan Padri pada saat itu adalah untuk menentukan dakwah syariat Islam. Pengakuan Gusti Anam bahwa pada masanya, Padri adalah gerakan revolusi besar dalam menegakkan Al-Quran dan Hadits di Minangkabau. Konteks  praktik Syirik marak di Minangkabau, sehingga untuk memberantasnya perlu tindakan keras.

Garis perjuangan Ulama pada satu sisi akan menimbulkan hasil yang terkenang zaman, sebagaimana gerakan Perang Jawa (1825-1830) dengan pucuk pimpinan Pangeran Diponegoro.

Perjuangan Imam Bonjol harus diposisikan sebagai perjuangan dalam rangka penentuan Nasib Bangsa tanpa Penjajahan. Ash-Shawabu Minallah

Mohammad Mufid Muwaffaq