Ukhuwah Akan Selalu Gagal Jika Agama Ditundukkan Kepentingan Politik

agama dan kepentingan politik

Pecihitam.org – Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat adalah yang paling berat cobaannya. Sebab kala itu ia harus memperjuangkan ukhuwah islamiyah di tengah fitnah yang melanda diantara umat pada masanya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Setelah wafatnya khalifah ketiga Ustman bin Affan, lalu digantikan Ali bin Abi Thalib. Baru saja memegang tampuk kekhalifahan sebagian sahabatnya diam-diam merencanakan perebutan kekuasaan terhadap Ali bin Abi Thalib.

Aisyah istri Rasulullah saw bersama Thalhah, Zubair menghimpun pasukan dan Ali yang menyadari rencana tersebut segera mengirim utusan, namun gagal. Ali mengirim Abdullah bin Abbas untuk menemui Aisyah, Thalhah dan Zubair agar menghindari peperangan demi kemaslahatan umat Islam tetapi itupun ditolak.

Ketika itu Ali berkata, “Siapa di antara kalian yang mau membawa mushaf (al-Qur’an) ini ke tengah-tengah musuh. Sampaikanlah pesan perdamaian atas nama al-Qur’an. Jika tangannya terpotong peganglah al-Qur’an ini dengan tangan yang lain dan jika tangan itupun terpotong maka gigitlah dengan gigi-giginya sampai dia terbunuh.”

Maka seorang pemuda di utus ke tengah pasukan Aisyah. Dia mengangkat al-Qur’an dengan kedua tangannya, mengajak mereka untuk memelihara ukhuwah. Teriakannya tidak didengar, dia disambut dengan tebasan pedang. Tangan kanannya terputus.

Baca Juga:  Ketika Fatwa Salafi Wahabi Bergandeng Mesra dengan Misi Zionis

Dia mengambil dengan tangan kirinya, tangan kirinya pun ditebas dengan pedang. Dia mengambil al-Qur’an  dengan gigi-giginya. Sorot matanya masih menyerukan perdamaian dan mengajak mereka untuk memelihara ukhuwah. Akhirnya orang pun menebas lehernya. [1]

Kisah di atas tentang perang Jamal antara pasukan Aisyah ra dengan pasukan Ali. Sejarah mencatat bahwa kemenangan di pihak Ali. Setelah perang Jamal, Mu’awiyah menghimpun pasukan untuk melakukan perlawanan terhadap Ali.

Perang pun terjadi dan pasukan Mu’awiyah terdesak dan kemenangan kembali berada di pihak Ali. Pasukan Mu’awiyah mengangkat al-Qur’an memohon perdamaian. Ali yang begitu mencintai perdamaian, lalu menghentikan peperangan. Dan seperti kita tahu bersama, Ali dikhianati oleh Mu’awiyah.

Mengapa Ali gagal?

Dalam ukuran politik modern, Ali gagal, kalah oleh lawan politiknya. Dari apapun yang terjadi dari sejarah perang jamal, perang shiffin dan perang Nahrawan, kita dapat mengambil pelajaran.

Pertama, cara apapun yang digunakan untuk membangun persaudaraan dikalangan kaum muslimin akan selalu gagal apabila kedua belah pihak tidak memiliki i’tikad baik untuk berdamai. Ali sangat mencintai perdamaian, utusan demi utusan dikirim untuk menciptakan perdamaian namun itu disambut dengan kelicikan.

Perdamaian akan gagal bila satu pihak dengan tulus ingin berdamai, tetapi pihak lain berusaha memanfaatkan kesempatan tersebut dengan licik. Seperti Mu’awiyah memanfaatkan ketulusan Ali dengan meraih kekuasaan.

Baca Juga:  Hukuman Mati bagi Koruptor, Yes or No?

Kedua, ukhuwah akan gagal bila kepentingan agama ditundukkan oleh kepentingan politik. Misalnya, menciptakan ukhuwah antara Yaman dengan Saudi yang saat ini berseteru akan sangat sulit, karena bukan karena agama, namun karena politik.

Kemudian isi perseteruan sunni-syiah yang selalu dibesar-besarkan oleh Wahabi bukan karena perbedaan mazhab tetapi lebih karena faktor politik. Politik itu dasarnya adalah kepentingan, maka siapa yang bisa memenuhi kepentingannya, maka ia akan lakukan.

Sebagaimana Mu’awiyah melakukan segala cara demi meraih kekuasaan. Agama sering kali diatasnamakan daripada demi kepentingan politik. Bagaimana gerakan 212 di Indonesia dikemas atas nama agama demi kepentingan politik kekuasaan. Agama menjadi alat jual beli yang murah untuk kepentingan politik.

Ketiga, pembangun jembatan ukhuwah umumnya tidak populer dan dianggap salah. Resiko memperjuangkan ukhuwah adalah persekusi, diskriminasi, kriminalisasi.

Sebagaimana Gus Dur dikecam dari berbagai kalangan sebab ia memilih jalan yang berbeda dari sahabat-sahabatnya. Kawan jadi lawan, musuh semakin memusuhinya. Butuh kesiapan mental untuk memilih jalan yang akan menimbulkan fitnah, caci maki, umpatan dan sumpah serapah dari orang-orang sekitar.  

Baca Juga:  Relasi Tafsir Al-Qur’an dalam Politik di Era Orde Baru

Hidup dengan keyakinan dan berjalan diatas keyakinan adalah kehidupan sesungguhya daripada hidup melimpah tetapi hati mengumpat dan mengecam adalah kematian yang nyata.

Kepada  Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh,  Fazlur Rahman, Hasan Hanafi, Gus Dur, Nur Chalis Majid, Jalaluddin Rakhmat, Buya Syafii Maarif, Habib Luthfi, Habib Quraish Shihab, kita belajar untuk berdiri di atas keyakinan dan berjuang atas keyakinan tersebut tanpa harus takut dicela oleh orang-orang yang tidak dewasa melihat perbedaan.

Damai itu indah walau untuk mencapainya perlu pengorbanan, mungkin karena itu pula dalam Islam pahala bagi pembangun jembatan perdamaian melebihi pahala ibadah shalat, puasa dan ibadah mahdah lainnya. Wallahu Muwaffiq Ila Aqwamit Thariq.


[1] Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual Refleksi Sosial Cendekiawan Muslim (Cet.XV; Bandung: Mizan, 2004), h.46.

Muhammad Tahir A.