Wacana Tentang Kemakhlukan al-Quran, Ada Apa di Baliknya?

Wacana Tentang Kemakhlukan al-Quran, Ada Apa di Baliknya

Pecihitam.org Kaum Mu’tazilah adalah pihak pertama yang melontarkan wacana tentang kemakhlukan al-Quran. Ada apa di balik pernyataan golongan itu?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Setiap muslim tentu merasakan hubungan emosional dengan al-Quran. Karena hubungan itu mereka melantunkannya, mendengarkan bacaannya dengan khidmat,  mencoba memahaminya, berargumen dengannya dan bahkan berdebat tentangnya.

Sepanjang sejarah perdebatan terhebat mengenai al-Quran terjadi di lingkungan teologi Islam. Perdebatan itu berkisar pada persoalan kedudukannya secara teologis. Tak ada yang menyangsikan bahwa al-Quran adalah kalam Allah (perkataan Allah).

Tapi apakah kalam itu qadim (tak berawal) atau hadits (berawal/ baharu/ dari tiada kepada ada)? Apakah al-Quran itu makhluq (diciptakan) atau ghairu makhluq (tidak diciptakan)?

Kaum Mu’tazilah adalah pihak pertama yang melontarkan wacana tentang kemakhlukan al-Quran dan memicu perdebatan. Ahmad Amin dalam Dhuha Islam (Jilid 3, 1936) menjelaskan kelompok rasionalis itu berpendapat bahwa al-Quran atau kalam Allah itu makhluq, sebab jika ia qadim maka ada yang qadim selain Allah, sehingga kepercayaan terhadap ke-qadim-an al-Quran membawa kepada syirik.

Kaum ini berargumen bahwa Allah disebut mutakallim, berarti yang berkata, yang berbicara. Yang berkata berarti melakukan perbuatan berkata. Melakukan perbuatan berkata berarti mewujudkan atau menciptakan perkataan (kalam). Ini berarti kalam itu diciptakan, sehingga al-Quran itu diciptakan (makhluq).

Argumen Mu’tazilah ini berhubungan dengan pendapat mereka sendiri tentang ketidakmungkinannya Allah memiliki sifat-sifat. Keterangan lebih lanjut mengenai sifat-sifat Allah akan sangat panjang dan bukan kapasitas tulisan ini.

Klaim kaum Mu’tazilah ini dibantah oleh kaum Asy’ariyyah yang mengatakan bahwa kalam Allah itu qadim atau tidak diciptakan. Pendapat mereka berlandaskan pada pengakuan akan adanya sifat-sifat bagi Allah.

Kaum Asy’ariyyah melalui pendirinya Abu Hasan al-Asy’ari dalam al-Ibanah fi Ushul al-Diyanah (tt: 9-10) berargumen menggunakan ayat al-Quran: “Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan perintah-Nya” (QS. ar-Rum: 25). Pada ayat ini Allah menyatakan bahwa langit dan bumi berdiri dengan perintah-Nya. Perintah itu ialah kalam-Nya.

Baca Juga:  Hubungan Intim Dihalalkan dengan Dasar Suka Sama Suka, Apa yang Akan Terjadi?

Kemudian untuk menjelaskan bahwa perintah Allah itu tidak diciptakan, ia mengemukakan lagi argumen berupa ayat al-Quran: “Ingatlah, bagi-Nya penciptaan dan perintah” (QS. al-A’raf: 54).

Pada ayat ini Tuhan memisahkan antara penciptaan dan perintah. Perintah dengan demikian terpisah dari penciptaan atau tidak termasuk penciptaan. Ini menunjukkan perintah Allah itu tidak diciptakan dan perintah Allah adalah kalam-Nya.

Persoalan apakah al-Quran qadim atau makhluq sepertinya berakibat pada ruang lingkup penafsirannya. Jika al-Quran qadim maka penafsirannya akan sedikit tertutup, sehingga penafsiran yang progresif cenderung dipandang negatif, sebab al-Quran adalah kalam Allah yang merupakan bagian dari sifat-sifat Allah, sehingga tingkat kesakralannya sangat tinggi.

Sebaliknya, jika al-Quran makhluq maka penafsiran akan cenderung lebih terbuka. tafsiran-tafsiran al-Quran bisa progresif dan sedikit bebas, sebab sebagai makhluk al-Quran terikat pada ruang dan waktu dimana ia diturunkan. Dalam hal ini, penggunaan akal atau rasio sangatlah diperlukan.

Asumsi tersebut kiranya dapat dimaklumi mengingat Asy’ariyah adalah golongan tradisional yang mendasarkan pemahaman kitab suci dengan tradisi atau sunnah Nabi, sehingga di kemudian hari golongan ini dikenal sebagai Ahlus Sunnah, sekalipun nama itu tidaklah benar-benar baru.

Sementara itu, Mu’tazilah adalah golongan yang menjunjung tinggi penggunaan akal dalam pemahaman al-Quran. Oleh karena akal menjadi instrumen utama maka penafsiran yang terbuka dan bebas sangatlah mungkin bagi mereka.

Pada akhirnya wacana tentang kemakhlukan al-Quran merupakan bagian dari perdebatan dan persaingan panjang yang bahkan masih terjadi hingga hari ini mengenai sumber pengetahuan mana yang memiliki otoritas dalam pemahaman agama, akal ataukah wahyu.

Baca Juga:  Pentingnya Dakwah dan Peranan Santri di Era Digital

Meski begitu, perdebatan antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah itu harus dipandang sebagai “wacana”, yaitu kumpulan pernyataan yang dilingkupi dan dipengaruhi oleh apa yang disebut dengan “relasi kuasa”.

Suatu pernyataan, pendapat atau ungkapan tidaklah berdiri sendiri, melainkan dibangun, baik secara sadar maupun tidak, dalam ruang lingkup kekuasaan yang meliputi nalar si penuturnya.

Inilah dasar teoritis yang diilhami dari para filosof posmodernis Perancis dan melandasi pemikir muslim kontemporer, Muhammad Abid al-Jabiri (1935-2010), untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi di balik wacana tentang kemakhlukan al-Quran.

Sebagaimana dikutip oleh Mujiburrahman dalam Mengindonesiakan Islam: Representasi dan Ideologi (2008), al-Jabiri dalam al-Mutasqqafun fi al-Hadharat al-‘Arabiyyah: Minhat Ibn Hanbal wa Nukbat Ibn Rusyd mendedah bahwa awal mula hadirnya wacana tentang kemakhlukan al-Quran adalah konflik politik yang terjadi antara anak-anak Khalifah Harun al-Rasyid.

Menjelang kematiannya sang Khalifah Bani ‘Abbas itu membuat surat perjanjian bahwa tahtanya akan diwarisi ketiga putranya secara berurutan, yakni al-Amin, al-Ma’mun dan al-Mu’tamin. Ketika menggantikan ayahnya sebagai Khalifah, al-Amin melanggar perjanjian itu dengan mengangkat putranya sendiri, Musa al-Amin, sebagai putra mahkota.

Al-Ma’mun yang kesempatannya memimpin kekaisaran pupus tentu saja tidak terima melakukan perlawanan sehingga pecahlah perang antara kubu keduanya. Dalam peperangan itu al-Ma’mun tampil sebagai pemenang dan al-Amin tewas dibunuh.

Kepemimpinan al-Ma’mun yang berhasil merebut kekuasaan tidak berjalan mulus. Ia dinilai gagal dalam memerintah karena membiarkan kota Baghdad berada dalam kekacauan sampai-sampai tidak ada hukum dan pemerintahan yang berlaku selama enam tahun.

Baca Juga:  Peran Penting Labelisasi Halal di Indonesia

Dalam suasana yang kacau tampillah dua ulama besar yang dihormati masyarakat kala itu, Ahmad al-Khuza’i dan Ahmad ibn Hanbal. Kedua ulama Ahlus Sunnah itu berhasil memulihkan ketertiban tapi juga menjadi sumber inspirasi masyarakat untuk memberontak terhadap pemerintahan.

Al-Ma’mun yang mencium gelagat pemberontakan terhadap kekuasaanya berupaya melawan balik dengan memunculkan wacana tentang kemakhlukan al-Quran. Menariknya, pernyataan bahwa al-Quran adalah makhluk bukanlah bagian dari lima prinsip utama ajaran Mu’tazilah, yaitu (1) tauhid, (2) keadilan Tuhan, (3) nasib pelaku dosa besar, (4) janji surga dan neraka dan (5) menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang munkar.

Lalu mengapa al-Ma’mun yang menganut teologi Mu’tazilah dan menjadikannya sebagai ideologi negara malah memilih tema tersebut dan menjadikannya dasar untuk menghabisi para ulama Ahlus Sunnah?

Menurut al-Jabiri, tema itu dipilih karena kecerdikan al-Ma’mun dalam memanfaatkan agama untuk kepentingan politik. Jika yang diangkat adalah tema-tema dari lima ajaran pokok tadi, maka semua itu mudah dipatahkan oleh lawan-lawannya dan bisa menjadi senjata makan tuan baginya.

Namun jika mengangkat tema kemakhlukan al-Quran para ulama Ahlus Sunnah pasti akan menyanggahnya dengan menyatakan bahwa al-Quran itu qadim. Dengan itu, mudahlah bagi al-Ma’mun untuk mengklaim para ulama itu musyrik karena menetapkan ada dua yang qadim, yaitu Allah dan al-Quran.

Klaim musyrik tersebut memberi dasar bagi kekhalifahan al-Ma’mun untuk menghabisi para ulama menentangnya. Tragedi mihnah kemudian tak terhindarkan. Tragedi itu kemudian disertai dengan kebangkitan kelompok Ahlus Sunnah yang dianut oleh mayoritas (jama’ah) muslim.

Yunizar Ramadhani