Pecihitam.org – Sebagian orang ada yang mempunyai kebiasaan ingin selalu dalam keadaan punya wudhu’ dalam setiap kondisi. Saat mau tidur pun, ia tetap ingin dalam keadaan punya wudhu’. Bagaimana kalau ini dilakukan oleh seorang wanita haid? Bolehkah wanita haid berwudhu’?
Wudhu’ memang suatu kebiasaan yang mesti didawamkan agar setiap saat kita selalu dalam keadaan suci. Karena keberadaan diri dalam kesucian dari hadas membuat hati lebih tentram dan pikiran tenang. Hanya saja tidak ada anjuran bagi wanita haid untuk melakukan wudhu’, bahkan salah-salah, hal itu bisa jadi haram baginya.
Dalam literatur Fiqh Madzhab Syafii, setidaknya terdapat tiga gambaran berkaitan dengan hukum wudhu’ yang dilakukan seorang wanita yang sedang haid.
Pertama, jika wudhu’nya dengan niat untuk menghilangkan hadas atau untuk ibadah, maka haram karena akan menimbulkan tanaqqud (fungsi wudhu bertentangan dengan keadaannya yang sedang hadats) dan menimbulkan ta’allub (mempermainkan ibadah sebab dia tahu wudhunya tidak bisa menghilangkan hadats berupa haidnya).
Tentang hal ini, dijelaskan oleh para ulama. Termasuk oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj berikut
وَمِمَّا يَحْرُمُ عَلَيْهَا الطَّهَارَةُ عَنْ الْحَدَثِ بِقَصْدِ التَّعَبُّدِ مَعَ عِلْمِهَا بِالْحُرْمَةِ لِتَلَاعُبِهَا
Termasuk perkara yang haram atas wanita haid adalah bersuci dari hadas dengan tujuan beribadah sedangkan dia tahu akan keharamannya. Hal itu karena dia ta’allub (mempermainkan ibadah). ( Tuhfatul Muhtaj Jilid I halaman 133)
Kedua, jika wudhu’nya dengan niat untuk menghilangkan hadats atau untuk ibadah setelah berhentinya darah walaupun belum mandi besar, maka hukumnya sunnah. Ini karena berfungsi sebagai taqlilul hadas (meringankan dan mengecilkan hadats) dan nasyat kok ghusli (untuk merangsang semangat agar segera mandi).
Syaikh Sulaiman bin Umar al-Jamal membahas tentang hal ini dalam salah satu kitabnya, Hasyiyah al-Jamal
وَيُنْدَبُ لِلْجُنُبِ رَجُلًا كَانَ أَوْ امْرَأَةً وَلِلْحَائِضِ بَعْدَ انْقِطَاعِ حَيْضِهَا الْوُضُوْءُ لِنَوْمٍ أَوْ أَكْلٍ أَوْ شَرْبٍ أَوْ جِمَاعٍ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ تَقْلِيْلًا لِلْحَدَثِ
Disunnahkan bagi orang junub baik laki-laki maupun perempuan, dan bagi wanita haid setelah berhenti haidnya untuk berwudhu ketika mau tidur, makan, minum, jima’ dan sebagainya dalam rangka untuk mengecilkan (mengurangi) hadats.(Hasyiyah al- Jamal Jilid II halaman 96)
قَوْلُهُ : [ وُضُوءٌ لِنَوْمٍ ] : فِي ( عب ) : مِثْلُهُ الْحَائِضُ بَعْدَ انْقِطَاعِ الدَّمِ لَا قَبْلَهُ وَهَذَا عَلَى أَنَّ الْعِلَّةَ رَجَاءُ نَشَاطِهِ لِلْغُسْلِ
Perkataan mushannif (mushannif kitab Syarh Shaghier/ Syeikh Ahmad ibn Muhammad Ad Dardiir): Dan wudhu’ untuk tidur , didalam ‘ain ba’`: seperti halnya orang jubub adalah wanita haid sesudah berhentinya darah, bukan sebelumnya. Hal ini karena illatnya adalah harapan agar semangat untuk mandi. (Hasyiyah ash-Shawi ‘ala Syarh ash-Shaghir Jilid I halaman 300)
Ketiga, jika wudhu’nya bukan untuk menghilangkan hadats atau ibadah melainkan wudhu yang tujuannya untuk kebiasaan seperti tabarrud (menyejukkan dirinya) dan nadzafah (kebersihan), maka hukumnya sunnah juga, sebagaimana gambaran yang kedua.
Karena fungsi raf’il hadats (menghilangkan hadats) atau taqliilul hadats (meringankan/mengecilkan hadats tidak terjadi dalam wudhu semacam ini dan tidak menimbulkan tanaaqud (fungsi wudhu bertentangan dengan keadaannya yang sedang hadas).
Tentang hal ini, dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam salah satu kitabnya utama karangan beliau, Majmu’ Syarh Muhaddzab berikut
وَأَمَّا الطَّهَارَةُ الْمَسْنُوْنَةُ لِلنَّظَافَةِ كَالْغُسْلِ لِلْإِحْرَامِ وَالْوُقُوْفِ وَرَمْيِ الْجَمْرَةِ فَمَسْنُوْنَةٌ لِلْحَائِضِ بِلَا خِلَافٍ
Adapun bersuci yang sunnah karena untuk kebersihan seperti mandi untuk Ihram, wuquf dan melempar jumrah maka hukumnya sunnah untuk wanita haid tanpa ada khilaf. (Majmu’ Syarh Muhaddzab Jilid II halaman 383)
Demikian penjelasan para ulama dalam kitab-kitab mereka mengenai wanita haid bolehkah berwudhu’ atau tidak? Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab!