Perhatikan! Begini Cara Mentasharufkan Wasiat dalam Pembagian Waris

Perhatikan! Begini Cara Mentasharufkan Wasiat dalam Pembagian Waris

Pecihitam.org- Masalah pembagian waris merupakan salah satu masalah yang senantiasa menjadi objek pembicaraan di kalangan umat Islam. Hal ini disebabkan antara lain karena pembagian warisan merupakan masalah yang langsung bersentuhan dengan praktek kehidupan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Selain itu, hukum waris versi Islam selalu mendapat kritikan terutama dari aktifis kesetaraan Gender. Padahal para fuqaha (ahli hukum Islam) telah menetapkan bahwa ayat-ayat Alquran yang menjelaskan tentang bagian-bagian ahli waris merupakan ayat yang qath’i al-dilalah (penunjukkan hukumnya sudah pasti), sehingga tidak membuka peluang untuk berijtihad di dalamnya.

Dalam situasi tertentu, ada hal-hal yang dianggap kurang adil, menurut segelintir orang, dalam pembagian waris ini. Misalnya seorang anak laki-laki, yang dalam kebanyakan budaya masyarakat selalu mendapat pendidikan yang lebih tinggi dari anak perempuan.

Akan tetapi ketika pembagian waris, anak laki-laki ini justru mendapat dua kali bagian anak perempuan. Sebenarnya ada satu cara untuk menyelesaikan hal ini yaitu dengan wasiat. Akan tetapi, konsep wasiat dalam hal pembagian waris yang selama ini dipahami adalah bahwa wasiat tersebut tidak boleh melebihi 1/3 dari harta peninggalan.

Baca Juga:  Menangis dalam Shalat, Batalkah Shalatnya? Begini Penjelasan Ulama

Dan apabila wasiat tersebut ditujukan untuk ahli waris, maka harus mendapat persetujuan dari ahli waris yang lainnya. Di sinilah timbul permasalahan lain.

تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. An-Nisa’ ayat 13).

Wasiat secara etimologi adalah pesan atau janji seseorang kepada orang lain untuk melakukan suatu perbuatan, baik ketika orang yang berwasiat masih hidup maupun setelah wafat.

Wasiat merupakan salah satu bentuk sarana tolong-menolong antara sesama muslim baik yang bersifat materi maupun manfaat. Sedangkan secara terminologi, para ulama fiqh mendefinisikan wasiat sebagai penyerahan harta secara suka rela dari seseorang kepada pihak lain yang berlaku setelah orang tersebut wafat, baik harta itu berbentuk materi maupun berbentuk manfaat.

Baca Juga:  Keutamaan Shalat Rawatib, Salah Satunya Dibangunkan Rumah di Surga

Dari definisi ini terlihat perbedaan antara wasiat dan pemilikan harta lainnya seperti jual beli atau sewa menyewa, karena pemilikan dalam kedua bentuk akad yang terakhir ini bisa berlaku semasa yang bersangkutan masih hidup.

Sedangkan wasiat, sekalipun akadnya dibuat ketika orang yang berwasiat masih hidup, tetapi hukumnya baru berlaku setelah orang yang berwasiat itu wafat. Sebelum itu, akad wasiat tersebut tidak mempunyai efek apapun dari segi perpindahan hak milik kepada orang yang diberi wasiat.

Adapun masalah pembagian harta warisan dalam Islam telah diatur dalam ilmu faraid yaitu ilmu yang berkaitan dengan harta peninggalan, cara menghitung pembagiannya serta bagian masing-masing ahli waris.

Namun terkadang dalam masalah-masalah yang bersifat kasuistik, pembagian waris berdasarkan faraid ini menimbulkan beberapa pertanyaan. Seperti adanya kerabat dekat yang miskin tapi tidak termasuk dalam ashhab al-furudh, atau ashhab al-furudhnya termasuk orang-orang yang kaya.

Baca Juga:  Niat Mandi Wajib Setelah Haid dan Tatacara Mandi Wajibnya

Dalam kasus-kasus seperti ini, maka perlu ada solusi, yang salah satunya adalah dengan wasiat dalam pembagian waris orang yang meninggal. Berdasarkan atas pertimbangan kemaslahatan, seseorang dapat berwasiat tentang pembagian seluruh hartanya.

Akan tetapi hal ini bukan berarti tidak mempercayai masalah konsep pembagian waris dalam Islam, tetapi justru berusaha untuk menempatkan konsep pembagian waris ini secara proporsional, sebagaimana Umar bin Khatab RA yang tidak melakukan hukuman potong tangan terhadap pencuri karena adanya pertimbangan yang bersifat kasuistik.

Mochamad Ari Irawan