PeciHitam.org<\/strong> \u2013 Beberapa waktu yang lalu, saya sudah membahas mengenai upaya pembaharuan fikih Kiai Sahal Mahfudh. Lalu, pada kesempatan ini, saya akan membahas hal lain yang bisa kita ambil pelajaran dari beliau adalah warisan kiai sahal dalam fikih sosial.<\/p>\n Sebelumnya, Pengasuh Pondok Maslakul Huda Pati ini juga dikenal sebagai ulama yang produktif menulis. Karya tulisnya lebih dari 100 judul artikel di berbagai media masa dan sebagian telah dibukukan, di antaranya berjudul\u00a0Nuansa Fiqih Sosial,\u00a0Ensiklopedia Ijma\u2019. Oleh karenanya wajar apabila Mbah Sahal mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa (DR. HC) dalam bidang ilmu fikih dan pemikiran keislaman dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2003.<\/p>\n Selain dalam bahasa Indonesia, Mbah Sahal juga menulis dalam bahasa Arab, atau di pesantren biasa dikenal dengan istilah kitab kuning. Salah satu karya fenomenal beliau adalah kitab Thariqatul Hushul ala Ghayatil Wushul, sebuah kitab yang menjadi penjelasan dari kitab Ghoyatul Wusul, karya Syekh Abu Zakariya Al-Anshori, salah seorang ulama Syafi\u2019iyyah yang hidup di abad ke-9 Hijriyah.<\/p>\n Ironisnya, kitab Thoriqotul Husul ini menjadi bahan kajian di Universitas Al-Azhar Mesir dan sejumlah perguruan tinggi di Yaman, namun malah belum banyak dikenal di pasca sarjana perguruan tinggi Islam di Indonesia.<\/p>\n Sebagai Rais \u2018Aam Syuriyah PBNU, Mbah Sahal memiliki sumbangan tersendiri bagi perkembangan organisasi. Ia meneruskan sumbangan-sumbangan pemikiran dan misi yang telah dibawa oleh para pendahulunya.<\/p>\n Seperti yang pernah dipaparkan Abdurrahman Wahid (1991), setiap Rais \u2018Aam membawa pemikiran dan misinya. Hadratussyaikh KH Hasyim Asy\u2019ari selaku Rais Akbar membawakan ketinggian derajat kompetensi ilmu keagamaan yang sangat tinggi ke dalam tubuh NU. KH Wahab Hasbullah membawakan kegigihan pluralitas politik, yang masih bertahan dalam tatanan politik kita saat ini.<\/p>\n