PeciHitam.org<\/strong> \u2013 Sungkeman merupakan adat dan bentuk identitas dari orang jawa. Biasanya, sungkem (atau sungkeman) dilakukan pada saat lebaran atau berkunjung ke keluarga yang jauh. Nah, bagaimana Islam melihat tradisi ini? Bagaimanakah tradisi sungkeman menurut hukum Islam?<\/p>\n

Lebaran merupakan salah satu momen untuk saling memaafkan, bersilaturrahim dengan sanak famili, handai taulan, rekan-rekan dan segenap orang yang kita kenal. Salah satu tradisi yang tidak bisa dilepaskan saat mengisi hari-hari lebaran adalah sungkem.<\/p>\n

Tradisi ini biasanya dilakukan oleh anak ke hadapan orang tua atau keluarga yang lebih tua (pinisepuh) untuk menunjukkan tanda bakti dan rasa terima kasih atas bimbingan dari lahir sampai dewasa. Sungkem dilakukan dengan jongkok sambil cium tangan. Sebagian kalangan mengganggap bahwa tradisi tersebut dilarang dan tidak sejalan dengan ajaran Nabi. Benarkah anggapan demikian?<\/p>\n

Adapun dalam menghukumi sungkeman, setidaknya bisa ditinjau dari dua sisi. Pertama, hukum asal. Kedua, dari sudut pandang tradisi.<\/p>\n

Dilihat dari sudut pandang hukum asal (yang pertama), sungkeman sama sekali tidak bertentangan dengan syariat. Posisi jongkok sambil cium tangan merupakan ekspresi memuliakan orang yang lebih tua.<\/p>\n

Syariat tidak melarang mengagungkan manusia selama tidak dilakukan dengan gerakan (yang kedua yaitu sudut pandang tradisi) yang menyerupai bentuk takzim kepada Allah, seperti sujud dan ruku\u2019.<\/p>\n

Berkaitan dengan mencium tangan orang yang lebih tua, al-Imam al-Nawawi mengatakan:<\/p>\n

\u0648\u0644\u0627 \u064a\u0643\u0631\u0647 \u062a\u0642\u0628\u064a\u0644 \u0627\u0644\u064a\u062f \u0644\u0632\u0647\u062f \u0648\u0639\u0644\u0645 \u0648\u0643\u0628\u0631 \u0633\u0646<\/strong><\/p>\n

\u201cTidak makruh mencium tangan karena kezuhudan, keilmuan dan faktor usia yang lebih tua.\u201d (al-Imam al-Nawawi,\u00a0Raudlah al-Thalibin, juz 10, halaman 233)<\/p>\n

Bahkan, sebagian ekspresi takzim\u00a0 kepada orang yang lebih tua hukumnya sunah, seperti dilakukan dengan cara berdiri dengan tujuan memuliakan dan kebaktian. Syekh Zainuddin al-Malibari mengatakan:<\/p>\n

\u0648\u064a\u0633\u0646 \u0627\u0644\u0642\u064a\u0627\u0645 \u0644\u0645\u0646 \u0641\u064a\u0647 \u0641\u0636\u064a\u0644\u0629 \u0638\u0627\u0647\u0631\u0629 \u0645\u0646 \u0646\u062d\u0648 \u0635\u0644\u0627\u062d \u0623\u0648 \u0639\u0644\u0645 \u0623\u0648 \u0648\u0644\u0627\u062f\u0629 \u0623\u0648 \u0648\u0644\u0627\u064a\u0629 \u0645\u0635\u062d\u0648\u0628\u0629 \u0628\u0635\u064a\u0627\u0646\u0629<\/strong><\/p>\n

\u201cSunah bediri untuk orang yang memiliki keutamaan yang tampak, seperti kesalehan, keilmuan, hubungan melahirkan atau kekuasaan yang dibarengi dengan penjagaan diri.\u201d (Syekh Zainuddin al-Malibari,\u00a0Fath al-Mu\u2019in Hamisy I\u2019anah al-Thalibin, juz 4, halaman 219)<\/p>\n

Mengomentari redaksi di atas, Syekh Abu Bakr bin Syata mengatakan:<\/p>\n

\u0642\u0648\u0644\u0647: \u0648\u064a\u0633\u0646 \u0627\u0644\u0642\u064a\u0627\u0645 \u0644\u0645\u0646 \u0641\u064a\u0647 \u0641\u0636\u064a\u0644\u0629 \u0638\u0627\u0647\u0631\u0629) \u0623\u064a \u0625\u0643\u0631\u0627\u0645\u0627 \u0648\u0628\u0631\u0627 \u0648\u0625\u062d\u062a\u0631\u0627\u0645\u0627 \u0644\u0647 \u0644\u0627 \u0631\u064a\u0627\u0621. (\u0648\u0642\u0648\u0644\u0647: \u0623\u0648 \u0648\u0644\u0627\u062f\u0629) \u0623\u064a \u0648\u064a\u0633\u0646 \u0627\u0644\u0642\u064a\u0627\u0645 \u0644\u0645\u0646 \u0644\u0647 \u0648\u0644\u0627\u062f\u0629: \u0643\u0623\u0628 \u0623\u0648 \u0623\u0645. (\u0648\u0642\u0648\u0644\u0647: \u0623\u0648 \u0648\u0644\u0627\u064a\u0629) \u0623\u064a \u0648\u0644\u0627\u064a\u0629 \u062d\u0643\u0645: \u0643\u0623\u0645\u064a\u0631 \u0648\u0642\u0627\u0636.<\/strong><\/p>\n

\u201cUngkapan \u2018Sunah bediri untuk orang yang memiliki keutamaan yang tampak\u2019\u2014maksudnya, dengan motivasi memuliakan dan bentuk kebaktian, bukan karena pamer. Ucapan \u2018atau hubungan melahirkan\u2019\u2014maksudnya, sunah berdiri kepada orang yang melahirkan seperti bapak atau ibu.\u201d (Syekh Abu Bakr bin Syatha,\u00a0I\u2019anah al-Thalibin, juz 4, halaman 219)<\/p>\n

Lebih dari itu, menurut sebagian ulama, memuliakan kerabat dengan cara berdiri, hukumnya bisa wajib ketika meninggalkannya dianggap memutus tali silaturahim.<\/p>\n

Syekh al-Qalyubi mengatakan:<\/p>\n

\u0648\u064a\u0646\u062f\u0628 \u062a\u0642\u0628\u064a\u0644 \u0637\u0641\u0644 \u0648\u0644\u0648 \u0644\u063a\u064a\u0631 \u0634\u0641\u0642\u0629 \u0648\u0648\u062c\u0647 \u0645\u064a\u062a \u0644\u0646\u062d\u0648 \u0635\u0644\u0627\u062d \u0648\u064a\u062f \u0646\u062d\u0648 \u0639\u0627\u0644\u0645 \u0648\u0635\u0627\u0644\u062d \u0648\u0635\u062f\u064a\u0642 \u0648\u0634\u0631\u064a\u0641 \u0644\u0623\u062c\u0644 \u063a\u0646\u0649 \u0648\u0646\u062d\u0648\u0647 \u0648\u0627\u0644\u0642\u064a\u0627\u0645 \u0644\u0647\u0645 \u0643\u0630\u0644\u0643 \u0648\u0628\u062d\u062b \u0628\u0639\u0636\u0647\u0645 \u0648\u062c\u0648\u0628 \u0630\u0644\u0643 \u0641\u064a \u0647\u0630\u0647 \u0627\u0644\u0623\u0632\u0645\u0646\u0629 \u061b \u0644\u0623\u0646 \u062a\u0631\u0643\u0647 \u0635\u0627\u0631 \u0642\u0637\u064a\u0639\u0629<\/strong><\/p>\n

\u201cSunah mencium anak kecil meski karena selain tujuan mengasihi, sunah pula mencium wajahnya mayit karena kesalehannya, sunah pula mencium tangan orang alim, orang shaleh, kerabat, orang mulia, bukan karena kekayaannya atau yang lain. Hukum sunah tersebut juga berlaku dalam permasalahan berdiri kepada mereka. Sebagian ulama berpendapat wajibnya berdiri (memuliakan) pada masa sekarang, karena meninggalkannya merupakan bentuk perbuatan yang memutus tali shilaturrahim.\u201d (Syekh Syihabuddin al-Qalyubi,\u00a0Hasyiyah al-Qalyubi \u2018ala al-Mahalli, juz 3, halaman 214)<\/p>\n

Bila melihat dari sudut pandang tradisi, sungkeman merupakan tradisi nenek moyang kita yang perlu dilesatarikan. Sebab, Islam mengajarkan untuk merawat tradisi selama tidak bertentangan dengan agama. Hal tersebut sebagai bentuk pengejawentahan dari sabda Nabi tentang berbudi pekerti yang baik kepada sesama. Nabi bersabda:<\/p>\n

\u0648\u062e\u0627\u0644\u0642 \u0627\u0644\u0646\u0627\u0633 \u0628\u062e\u0644\u0642 \u062d\u0633\u0646<\/strong><\/p>\n

\u201cBerbudilah dengan akhlak yang baik kepada manusia.\u201d (HR. Al-Tirmidzi<\/a>)<\/p>\n

Saat ditanya apa yang dimaksud dengan etika yang baik, Sayyidina Ali mengatakan:<\/p>\n

\u0647\u0648 \u0645\u0648\u0627\u0641\u0642\u0629 \u0627\u0644\u0646\u0627\u0633 \u0641\u064a \u0643\u0644 \u0634\u064a\u0626 \u0645\u0627 \u0639\u062f\u0627 \u0627\u0644\u0645\u0639\u0627\u0635\u064a<\/strong><\/p>\n

\u201cBeretika yang baik adalah mengikuti tradisi dalam segala hal selama bukan kemaksiatan.\u201d (Syekh Nawawi al-Bantani,\u00a0Syarh Sullam al-Taufiq, halaman 61)<\/p>\n

Al-Imam al-Ghazali mengatakan:<\/p>\n

\u0648\u062d\u0633\u0646 \u0627\u0644\u062e\u0644\u0642 \u0645\u0639 \u0627\u0644\u0646\u0627\u0633 \u0623\u0644\u0627 \u062a\u062d\u0645\u0644 \u0627\u0644\u0646\u0627\u0633 \u0639\u0644\u0649 \u0645\u0631\u0627\u062f \u0646\u0641\u0633\u0643\u060c \u0628\u0644 \u062a\u062d\u0645\u0644 \u0646\u0641\u0633\u0643 \u0639\u0644\u0649 \u0645\u0631\u0627\u062f\u0647\u0645 \u0645\u0627 \u0644\u0645 \u064a\u062e\u0627\u0644\u0641\u0648\u0627 \u0627\u0644\u0634\u0631\u0639<\/strong><\/p>\n

\u201cBeretika yang baik dengan manusia adalah engkau tidak menuntut mereka sesuai kehendakmu, namun hendaknya engkau menyesuaikan dirimu sesuai kehendak mereka selama tidak bertentangan dengan syari\u2019at.\u201d (Imam al-Ghazali,\u00a0Ayyuhal Walad, halaman 12)<\/p>\n

Meninggalkan tradisi yang tidak haram merupakan akhlak yang tidak terpuji, sebagaimana penjelasan Syekh Ibnu Muflih berikut ini:<\/p>\n

\u0644\u0627 \u064a\u0646\u0628\u063a\u064a \u0627\u0644\u062e\u0631\u0648\u062c \u0645\u0646 \u0639\u0627\u062f\u0627\u062a \u0627\u0644\u0646\u0627\u0633 \u0625\u0644\u0627 \u0641\u064a \u0627\u0644\u062d\u0631\u0627\u0645<\/strong><\/p>\n

\u201cTidak sepantasnya keluar dari tradisi manusia kecuali dalam perkara haram.\u201d (Ibnu Muflih,\u00a0al-Adab al-Syar\u2019iyyah, juz 2, halaman 114)<\/p>\n

Simpulannya, sungkeman bukan merupakan tradisi yang haram, bahkan menjaga tradisi tersebut merupakan bentuk pengamalan dari sabda Nabi tentang anjuran beretika yang baik kepada sesama. Demikianlah semoga bermanfaat.\u00a0Wallahu a’lam.<\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"

PeciHitam.org \u2013 Sungkeman merupakan adat dan bentuk identitas dari orang jawa. Biasanya, sungkem (atau sungkeman) dilakukan pada saat lebaran atau berkunjung ke keluarga yang jauh. Nah, bagaimana Islam melihat tradisi ini? Bagaimanakah tradisi sungkeman menurut hukum Islam? Lebaran merupakan salah satu momen untuk saling memaafkan, bersilaturrahim dengan sanak famili, handai taulan, rekan-rekan dan segenap orang […]<\/p>\n","protected":false},"author":16,"featured_media":14017,"comment_status":"open","ping_status":"closed","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":{"footnotes":""},"categories":[1691],"tags":[5088],"yoast_head":"\n