Pecihitam.org<\/strong> – Suatu fatwa atau pendapat tidak mesti lahir sebagai hasil pencarian intelektual murni, tapi bisa jadi karena pengaruh latar belakang yang melingkupinya. Salah satu contohnya bisa dilihat dari fatwa mimbar Guru Bakeri.<\/p>\n\n\n\n Suatu saat saya mengunjungi paman saya di Banjarmasin. Saat waktu shalat maghrib tiba paman mengajak saya shalat di masjid dekat rumah beliau. Setelah shalat qabliyah iqamah pun dilantunkan sang muadzin.<\/p>\n\n\n\n Selepas\niqamah tak ada satu pun warga sekitar masjid yang hadir maju untuk mengimami\nshalat. Meski tak ada ketentuannya dalam teks sumber agama, saya pikir ini tata\nmoral yang baik dalam menunjuk imam dengan mendahulukan warga sekitar masjid\nketika kita shalat di masjid yang bukan di lingkungan tempat tinggal kita.<\/p>\n\n\n\n Karena tak ada yang maju, paman meminta saya untuk menjadi imam. Namun sebelum memulai shalat ada satu hal mengganjal dalam pikiran saya: nanti jika sudah selesai shalat saya membaca wirid dengan keras apa tidak, ya? Tapi setelah melihat mimbar yang ada di masjid tersebut masalah saya pun terpecahkan. Adapun ceramah agama yang bukan termasuk ritual ibadah, baik ceramah rutin maupun ceramah di acara-acara besar Islam, sang penceramah atau pembicara tidaklah menyampaikan ceramahnya di mimbar khutbah, tetapi di podium kecil atau bahkan tanpa disediakan tempat khusus sama sekali.<\/p>\n\n\n\n Dalam fiqih, sejauh yang saya pelajari, bentuk detail mimbar tidak dijelaskan secara rinci, melainkan hanya disebut “tempat yang tinggi” agar para jama’ah dapat melihat sang khatib dan mendengar ucapannya dengan jelas. Salah satu tulisan yang cukup lengkap tentang bahasan ini dapat disimak di sini<\/strong><\/a><\/p>\n\n\n\n Bentuk-bentuk mimbar yang ada di kebanyakan masjid di daerah Kalimantan Selatan yang kelihatan sekali unsur budaya melayu-banjarnya (sebagian bercampur unsur Jawa) menegaskan tidak dirincikannya bentuk mimbar khutbah. Masyhur dengan panggilan akrab “Guru Bakeri”, beliau mengadakan pengajian rutin berisi materi fiqih, tauhid, hingga akhlak di masjid raya Sabilal Muhtadin, masjid kebanggaan masyarakat muslim Banjar dan ikon Kalimantan Selatan. Pengajian itu menjadi signifikan bagi keberadaan Guru Bakeri karena melalui pengajian inilah kemasyhuran beliau meningkat.<\/p>\n\n\n\n Pengajian rutin yang dilaksanakan setiap Jum’at malam antara Maghrib dan Isya itu selalu dihadiri ribuan jama’ah yang datang dari berbagai penjuru Kalimantan, bahkan dari luar pulau itu. <\/p>\n\n\n\n Guru Bakeri juga adalah pengasuh Pondok Pesantren Al-Mursyidul Amin di Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar yang berhasil menarik hati para pelajar dan orangtua untuk belajar Islam di pesantren tersebut seiring dengan populernya pengajian rutin beliau di masjid raya.<\/p>\n\n\n\n Pengajian beliau di Sabilal Muhtadin yang semakin besar membuat beliau sempat diangkat sebagai ketua ta’mir masjid terbesar di kota Banjarmasin itu. <\/p>\n\n\n\n
Mimbar adalah tempat khatib menyampaikan khutbah-khutbah yang termasuk ritual ibadah, seperti khutbah jum’at<\/a><\/strong>, khutbah idul fitri dan idul adha. <\/p>\n\n\n\n
Adalah seorang ulama kharismatik asal Gambut, Kalimantan Selatan, KH. Ahmad Bakeri (1956-2013), yang menyampaikan pernyataan menarik soal mimbar ini. <\/p>\n\n\n\n