PeciHitam.org<\/strong> – Sebelumnya telah dibahas bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama laksana sebuah taman yang dipenuhi aneka bunga dengan berbagai warna dan bentuk. Adapun 3 sebab perbedaan pendapat di kalangan ulama yakni perbedaan qira\u2019at (bacaan Al-Qur\u2019an), kuantitas hadits yang diketahui, dan keraguan atas kesahihan hadits.<\/p>\n Berikut ini adalah tiga sebab berikutnya yang (sebagaimana penjelasan terdahulu) juga kian menunjukkan kedalaman wawasan mereka, kuatnya argumentasi yang mereka bangun, dan karenanya perbedaan di antara mereka adalah hal yang sangat bisa dimaklumi.<\/p>\n Sebab keempat adalah, perbedaan dalam memahami dan menafsiri teks. Sebagaimana diketahui, teks Al-Qur\u2019an dan Hadits tidak disajikan dalam bentuk satu tipe saja, melainkan dalam banyak tipe. Ada teks yang qat\u2019iyyud dal\u00e2lah, dan ada teks yang dzanniyyud dal\u00e2lah.<\/p>\n Teks qat\u2019iyyud dal\u00e2lah yaitu teks yang ungkapan kata-katanya menunjukkan makna dan maksud tertentu dengan tegas dan jelas sehingga tidak mungkin difahami makna lain, seperti macam-macam ukuran dan takaran. Sedangkan teks dzanniyyud dal\u00e2lah adalah teks yang ungkapan kata-katanya memiliki banyak makna dan mengandung multi penafsiran. Akibatnya, ulama berbeda dalam menentukan makna yang paling tepat menurut keyakinan masing-masing. Perbedaan dalam menentukan makna yang tepat mengakibatkan perbedaan dalam hukum fiqih. (Hamad bin Hamdi Al-Sha\u2019idi, Asb\u00e2bu Ikhtilafil Fuqah\u00e2 fil Furu\u2019il Fiqhiyyah, Madinah: Universitas Islam Madinah Press, 2011, hal 82-83).<\/p>\n Dalam surat Al-Baqarah ayat 228, Allah subhanahu wata\u2018ala berfirman:<\/p>\n \u00a0\u0648\u064e\u0627\u0644\u0652\u0645\u064f\u0637\u064e\u0644\u0651\u064e\u0642\u064e\u0627\u062a\u064f \u064a\u064e\u062a\u064e\u0631\u064e\u0628\u0651\u064e\u0635\u0652\u0646\u064e \u0628\u0650\u0623\u064e\u0646\u0652\u0641\u064f\u0633\u0650\u0647\u0650\u0646\u0651\u064e \u062b\u064e\u0644\u064e\u0627\u062b\u064e\u0629\u064e \u0642\u064f\u0631\u064f\u0648\u0621\u064d<\/strong><\/p>\n \u201cWanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru\u2018\u201c.<\/p>\n Ayat tersebut menjelaskan bahwa iddah perempuan yang dicerai suaminya, dan masih dalam usia menstruasi adalah tiga quru\u2019. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami makna quru\u2019. Aisyah, Ibnu Umar, dan Zaid bin Tsabit mengartikannya suci, sedangkan Abu Bakar, Umar, Ali, Usman, dan mayoritas sahabat mengartikannya haid. Imam Syafi\u2019i, Malik, dan Ahmad (dalam satu riwayat) memilih pendapat pertama, yaitu quru\u2019 berarti suci. Sedangkan Abu Hanifah memilih pendapat kedua, yaitu quru\u2019 bermakna haid.<\/p>\n Perbedaan ini memiliki dampak yang cukup signifikan dalam hukum Islam, terutama dalam dua masalah, yaitu:<\/p>\n Pertama, waktu selesainya iddah. Berdasarkan pendapat pertama, perempuan yang dicerai akan habis masa iddahnya ketika ia memasuki masa haid ketiga. Sebab, ia telah melewati tiga kali masa suci, yaitu: masa suci di mana ia dicerai, masa suci antara haid pertama dan kedua, serta masa suci antara haid kedua dan ketiga. Sedangkan, berdasarkan pendapat kedua, masa iddahnya akan selesai ketika ia memasuki masa suci keempat. Kedua, kebolehan menikah. Berdasarkan pendapat pertama, perempuan yang dicerai boleh menikah dengan laki-laki lain saat ia memasuki masa haid ketiga. Sedangkan, berdasarkan pendapat kedua, ia baru boleh menikah setelah memasuki masa suci keempat.<\/p>\n Kelima, pertentangan antardalil. Dalam sebuah permasalahan, tidak jarang terdapat banyak dalil yang kadang terlihat saling bertentangan, seperti dalam masalah batalnya wudhu sebab menyentuh kemaluan (dzakar), di mana ada dua hadits yang saling bertentangan.<\/p>\n Hadits pertama adalah hadits riwayat Basrah binti Shafwan bahwa Nabi shalallahu \u2018alaihi wasallam bersabda:<\/p>\n \u00a0\u0645\u064e\u0646\u0652 \u0645\u064e\u0633\u0651\u064e \u0630\u064e\u0643\u064e\u0631\u064e\u0647\u064f \u0641\u064e\u0644\u064e\u0627 \u064a\u064f\u0635\u064e\u0644\u0651\u0650\u064a \u062d\u064e\u062a\u0651\u064e\u0649 \u064a\u064e\u062a\u064e\u0648\u064e\u0636\u0651\u064e\u0623\u064e<\/strong><\/p>\n \u201cBarangsiapa menyentuh kemaluannya maka dia tidak boleh melakukan shalat sampai dia berwudhu.\u201d (HR. Ahmad dan Tirmidzi).<\/p>\n Sedangkan hadits kedua adalah hadits riwayat Thalq bin Ali:<\/p>\n \u00a0\u0623\u064e\u0646\u0651\u064e \u0627\u0644\u0646\u0651\u064e\u0628\u0650\u064a\u0651\u064e \u0635\u064e\u0644\u0651\u064e\u0649 \u0627\u0644\u0644\u0647\u064f \u0639\u064e\u0644\u064e\u064a\u0652\u0647\u0650 \u0648\u064e\u0633\u064e\u0644\u0651\u064e\u0645\u064e \u0633\u064f\u0626\u0650\u0644\u064e \u0639\u064e\u0646\u0650 \u0627\u0644\u0631\u0651\u064e\u062c\u064f\u0644\u0650 \u064a\u064e\u0645\u064e\u0633\u0651\u064f \u0630\u064e\u0643\u064e\u0631\u064e\u0647\u064f \u0641\u0650\u064a \u0627\u0644\u0635\u0651\u064e\u0644\u064e\u0627\u0629\u0650 \u0641\u064e\u0642\u064e\u0627\u0644\u064e: \u0647\u064e\u0644\u0652 \u0647\u064f\u0648\u064e \u0625\u0650\u0644\u0651\u064e\u0627 \u0628\u0650\u0636\u0652\u0639\u064e\u0629\u064c \u0645\u0650\u0646\u0652\u0643\u064e<\/strong><\/p>\n \u201cBahwa Nabi shalallahu \u2018alaihi wasallam ditanya tentang hukum laki-laki yang menyentuh kemaluannya saat sedang shalat, lalu beliau menjawab: Bukankah ia hanya bagian dari tubuhmu.\u201d (HR. Tirmidzi, Abu Daud, dan Nasa\u2019i).<\/p>\n Ulama mazhab Syafi\u2019i, Hambali, dan Maliki memilih hadits pertama, sehingga mereka menyatakan bahwa menyentuh kemaluan dapat membatalkan wudhu. Sedangkan Abu Hanifah dan murid-muridnya berpegangan pada hadits kedua dan menegaskan ketidakbatalan wudhu karena menyentuh kemaluan.<\/p>\n Keenam, perbedaan kaidah istinbat hukum. Para ulama mazhab memiliki kaidah istinbat hukum masing-masing. Misalnya, mazhab Hanafi menggunakan metode Istihsan, sedangkan mazhab syafi\u2019i tidak menggunakannya. Mazhab Maliki mengadopsi tradisi penduduk Madinah (amalu ahlil Madinah), sementara mazhab lain tidak memakainya.<\/p>\n Perbedaan kaidah ini menyebabkan perbedaan pendapat mereka dalam hukum Islam. Contohnya, hukum jual beli mu\u2019athah. Jual beli Mua\u2019thah dilaksanakan dengan cara barteran antara penjual dan pembeli, di mana penjual memberikan barang kepada pembeli, dan pembeli memberikan uang kepada penjual, tanpa menyebutkan kata ijab dan qabul.<\/p>\n