Maka harga\nbarang yang harus dibayarkan konsumen ialah harga untuk barang sekaligus\nhadiahnya sehingga transaksi dilakukan untuk barang beserta hadiah.<\/p>\n\n\n\n

Dalam Tahdzib\nal-Furuq dijelaskan bahwa:<\/p>\n\n\n\n

\u0627\u0644\u0647\u0628\u0629 \u0627\u0644\u0645\u0642\u0627\u0631\u0646\u0629 \u0644\u0644\u0628\u064a\u0639 \u0625\u0646\u0645\u0627 \u0647\u064a \u0645\u062c\u0631\u062f \u062a\u0633\u0645\u064a\u0629\u060c \u0641\u0625\u0630\u0627 \u0642\u0627\u0644 \u0634\u062e\u0635 \u0644\u0622\u062e\u0631: \u0623\u0634\u062a\u0631\u064a\n\u0645\u0646\u0643 \u062f\u0627\u0631\u0643 \u0628\u0645\u0627\u0626\u0629 \u0639\u0644\u0649 \u0623\u0646 \u062a\u0647\u0628\u0646\u064a \u062b\u0648\u0628\u0643. \u0641\u0641\u0639\u0644\u060c \u0641\u0627\u0644\u062f\u0627\u0631 \u0648\u0627\u0644\u062b\u0648\u0628 \u0645\u0628\u064a\u0639\u0627\u0646 \u0645\u0639\u0627\u064b \u0628\u0645\u0627\u0626\u0629<\/strong><\/strong><\/p>\n\n\n\n

Artinya: \u201cHibah\nyang disatukan dengan transaksi jual beli, statusnya hanya nama saja, jika ada\norang mengatakan, \u2018Saya mau beli rumahmu seharga seratus dengan syarat, anda\nmenghibahkan baju anda kepada saya\u2019, dan itu disanggupi, maka rumah dan baju\nkeduanya merupakan barang dagangan yang harganya serratus.\u201d (Lihat: Tahdzib\nal-Furuq, 3:179)<\/p>\n\n\n\n

• Hadiah\nstatusnya sama dengan hibah tsawab.<\/li><\/ul>\n\n\n\n

  Hibah tsawab ialah\nhibah yang diserahkan ke orang lain dengan maksud mendapat ganti bayaran atas\npemberiannya. (Lihat: Syarh Hudud, Ibnu Arafah, 2:559)<\/p>\n\n\n\n

  Maka karena\ntujuan utama penjual ialah meningkatkan penjualan sehingga tambahan keuntungan\nsebagai nilai pengganti atas hadiah yang diberikan dan para ulama membolehkan\nbentuk hibah tersebut meski berbeda pendapat dalam memahami hibah tsawab yaitu\napakah termasuk hibah atau jual beli.<\/p>\n\n\n\n

  Pertama,\nmenurut pendapat Hanafiyah pada saat penyerahan statusnya hibah namun melihat akhir\nkonsekuensinya pemberian ini jual beli.<\/p>\n\n\n\n

  Kedua, menurut pendapat\nMalikiyah, Syafiiyah dan Hambali ialah hakekatnya transaksi jual beli dengan melihat\ndari penyerahan sampai akhir konsekuensinya. (Lihat: al-Hawafiz at-Tijariyah)<\/p>\n\n\n\n

  Tentang batasan\nhibah tsawab, hadiah untuk konsumen yang belanja banyak mungkin tidak tepat\njika disamakan dengan hibah tsawab karena tujuan memberi hadiah tersebut bukan\nuntuk diganti dengan bayaran namun untuk mengikat konsumen agar berbelanja\nlebih banyak lagi, sementara konsumen membeli banyak tujuannya bukan karena\nhadiah semata melainkan karena ingin mendapatkan barang dan layanan.<\/p>\n\n\n\n

  • Hadiah\ntersebut hukumnya dilarang.<\/li><\/ul>\n\n\n\n

    Menurut fatwa\nSyaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh, yang demikian dilarang karena\nmengantarkan manusia untuk memakan harta orang lain secara bathil serta hadiah\ntersebut jadi syarat jual beli, sehingga membahayakan pedagang yang lain, serta\nbeliau melarang bentuk-bentuk hadiah yang diberikan perusahaan untuk konsumen.\n(Lihat: Fatawa wa Rasail, Syekh Muhammad bin Ibrahim: 1580)<\/p>\n\n\n\n

    Jadi dari\nkeempat pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa:<\/p>\n\n\n\n

    • Hadiah\ntersebut termasuk hibah mutlak yang dijanjikan dan hibah baru mengikat ketika\nsudah diserah-terimakan sehingga tidak boleh ditarik kembali oleh pemberi hibah\nserta janji hibah memungkinkan untuk dibatalkan sebelum diserahkan.<\/li>
    • Hadiah\ntersebut termasuk bagian dari barang yang dijual sehingga nilainya harus jelas\ndan boleh dibatalkan jika pembeli membatalkan akad sebelum mencapai batas\ntarget yang dijanjikan.<\/li>
    • Hadiah\ntersebut sama halnya degan hibah tsawab yang tujuannya untuk diganti dengan\nbayaran sehingga nilai bayarannya harus jelas dan terukur serta bisa ditarik\nmeskipun tidak mempengaruhi keabsahan dari transaksi.<\/li>
    • Bahwa\nhadiah yang demikian statusnya terlarang karena memberi peluang untuk memakan\nhak orang lain tanpa ada alasan untuk membenarkan.<\/li><\/ul>\n\n\n\n

      Pendapat\npertama sampai ketiga para ulama membolehkannya meskipun masing-masing berbeda\ntentang konsekuensinya, dan pendekatan keempat termasuk lemah karena mereka\nmemberikan hibah itu dengan dasar saling ridha, tanpa ada paksaandan di sisi\nlain yang demikian saling mendapatkan keuntungan.<\/p>\n\n\n\n

      Masalah hibah dapat\nmerusak harga tidak mempengaruhi hukum karena penjual dibenarkan untuk\nmenurunkan harga barangnya di bawah harga pasar sebagaimana yang pernah menjadi\nkeputusan Umar bin Khatab, disamping konsumen juga memiliki hak khiyar sehingga\ndapat menimbang kelangsungan transaksi.<\/p>\n\n\n\n

      Jadi yang\ndemikianlah yang menjadi alasan bebrapa ulama membolehkan janji hadiah bagi\nkonsumen, maka dapat disimpulkan bahwa hadiah bagi konsumen statusnya janji\nhibah sebagaimana pendapat yang pertama. (Lihat: Al-Hawafiz At-Tijariyah)<\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"

      PeciHitam.org \u2013 Salah satu diantara hadiah bagi konsumen yang dijanjikan produsen ialah jika konsumen belanja sampai batas nilai tertentu, kemudian konsumen berhak menerima hadiah dan yang demikianlah kadang menimbulkan pertanyaan bagi sebagian pihak. Ulama berbeda pendapat dalam menghukumi hadiah yang demikian dan perbedaan tersebut didasari perbedaan dalam melakukan takhrij fiqh atau pendekatan fiqh untuk memahami […]<\/p>\n","protected":false},"author":40,"featured_media":16185,"comment_status":"open","ping_status":"closed","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":{"footnotes":""},"categories":[2215],"tags":[5556],"yoast_head":"\n