Warning: Cannot modify header information - headers already sent by (output started at /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-content/plugins/post-pay-counter/post-pay-counter.php:1) in /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-includes/rest-api/class-wp-rest-server.php on line 1831

Warning: Cannot modify header information - headers already sent by (output started at /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-content/plugins/post-pay-counter/post-pay-counter.php:1) in /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-includes/rest-api/class-wp-rest-server.php on line 1831

Warning: Cannot modify header information - headers already sent by (output started at /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-content/plugins/post-pay-counter/post-pay-counter.php:1) in /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-includes/rest-api/class-wp-rest-server.php on line 1831

Warning: Cannot modify header information - headers already sent by (output started at /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-content/plugins/post-pay-counter/post-pay-counter.php:1) in /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-includes/rest-api/class-wp-rest-server.php on line 1831

Warning: Cannot modify header information - headers already sent by (output started at /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-content/plugins/post-pay-counter/post-pay-counter.php:1) in /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-includes/rest-api/class-wp-rest-server.php on line 1831

Warning: Cannot modify header information - headers already sent by (output started at /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-content/plugins/post-pay-counter/post-pay-counter.php:1) in /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-includes/rest-api/class-wp-rest-server.php on line 1831

Warning: Cannot modify header information - headers already sent by (output started at /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-content/plugins/post-pay-counter/post-pay-counter.php:1) in /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-includes/rest-api/class-wp-rest-server.php on line 1831

Warning: Cannot modify header information - headers already sent by (output started at /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-content/plugins/post-pay-counter/post-pay-counter.php:1) in /srv/users/blogpecihitam/apps/pecihitam/public/wp-includes/rest-api/class-wp-rest-server.php on line 1831
{"id":1777,"date":"2018-02-03T17:18:35","date_gmt":"2018-02-03T17:18:35","guid":{"rendered":"http:\/\/pecihitam.org\/?p=1777"},"modified":"2018-02-03T17:18:35","modified_gmt":"2018-02-03T17:18:35","slug":"begini-tabarruk-para-sahabat-dari-peninggalan-dan-tempat-shalat-nabi","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/pecihitam.org\/begini-tabarruk-para-sahabat-dari-peninggalan-dan-tempat-shalat-nabi\/","title":{"rendered":"Begini Tabarruk Para Sahabat dari Peninggalan dan Tempat Shalat Nabi"},"content":{"rendered":"

Pecihitam.org<\/strong> – Untuk lebih menguatkan akan argumentasi diperbolehkannya tabarruk dalam syariat Nabi Muhammad saw, maka di sini akan kita lanjutkan kajian kita pada telaah hadis-hadis yang menyebutkan bahwa para Salaf Saleh telah bertabarruk kepada peninggalan Rasul<\/strong>, pasca wafat beliau. Dimana semua itu selama ini dianggap sebagai bentuk kesyirikan oleh kaum yang mengaku-ngaku sebagai penghidup ajaran dan manhaj Salaf Saleh. Mari kita sama-sama perhatikan secara teliti uraian hadis-hadis di bawah ini:<\/p>\n

Baca juga<\/strong>: Begini Para Salaf As-Sholih Bertabarruk Terhadap Pribadi Rasulullah<\/a><\/p>\n

Tabarruk para Sahabat dari tongkat, baju, sandal, cincin dan mimbar Nabi<\/strong><\/p>\n

1. Diriwayatkan dari Muhammad bin Jabir, berkata: Aku mendengar ayahku berkisah tentang kakekku, bahwa beliau adalah delegasi pertama Nabi dari Bani hanafiyah. Suatu saat kudapati dia menyiram kepalanya dan berkata: \u201cDuduklah wahai saudara penghuni Yamamah, siramlah kepalamu!\u201d. Lantas kusiram kepalaku dengan air bekas siraman Rasulullah\u2026maka aku berkata: \u201cWahai Rasulullah, berilah aku potongan dari pakaianmu agar aku dapat merasakan ketentraman. Lantas beliau memberikannya kepadaku. Lantas berkata Muhammad bin Jabir: Ayahku berkata bahwa kami biasa menyiramkannya buat orang sakit untuk memohon kesembuhan\u201d. (Lihat: Al-Ishabah 2\/102 huruf Sin bagian pertama, tarjamah Sayawis Thalq al-Yamani nomer 3626)<\/p>\n

Jika apa yang dimiliki Rasul sama dengan milik kebanyakan orang, lantas kenapa dia meminta kain Rasul untuk mendapat ketentraman (isti\u2019nas)? Dan buat apa air bekas siraman kepala Rasul itu disimpan dan bahkan dijadikan sarana permohonan kesembuhan? Jika itu semua masuk ketegori syirik, maka dari sekarang, selayaknya kaum Salafy tidak lagi mengaku sebagai penghidup ajaran dan manhaj Salaf Saleh, tetapi penghidup ajaran Khalaf Thaleh (lawan Salaf Saleh).<\/p>\n

2. Diriwayatkan dari Isa bin Thahman, berkata: Anas menyuruh untuk mengeluarkan sepasang sandal yang memiliki dua tali, sedang kala itu aku berada di samping Anas. Lantas kudengar Tsabit al-Banani berkata: \u201cItu adalah sandal Rasul\u201d. (Lihat: Shohih Bukhari 7\/199, 4\/101, al-Bidayah wa an-Nihayah 6\/6 dan Thabaqoot karya Ibnu Sa\u2019ad 1\/478)<\/p>\n

Jika sandal Rasul sama dengan sandal-sandal manusia lain yang tidak layak disimpan dan ditabarruki, lantas buat apa sahabat menyimpannya? Apakah sahabat kurang pekerjaan sehingga menyimpan sandal yang sudah tidak dipakai, atau bahkan sudah rusak? Tentu ada hikmah dibalik penyimpanan tersebut, salah satunya adalah untuk mengambil berkah dari Rasul, melalui sandal beliau.<\/p>\n

3. Dalam sebuah riwayat, Rasul bersabda: \u201cBarangsiapa yang bersumpah di atas mimbarku dan dia berbohong walaupun terhadap selainnya maka selayaknya ia bersiap-siap mendapat tempat di neraka\u201d (Lihat: Musnad Ahmad bin Hambal 4\/357 hadis ke-14606 dan Fathul Bari 5\/210).<\/p>\n

Ini semua membuktikan bahwa betapa sakralnya mimbar Rasul, menurut lisan Rasul sendiri, dan para sahabatpun meyakini hal itu. Terbukti bahwa Zaid bin Tsabit takut untuk bersumpah di mimbar Rasul ketika menghukumi Marwan. (Lihat: Kanzul Ummal karya al-Muttaqi al-Hindi al-Hanafi 16\/697 hadis ke-46389).<\/p>\n

Bukan hanya itu, dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Yazid bin Abdullah bin Qoshith menjelaskan bahwa; \u201cAku melihat para sahabat Nabi sewaktu hendak meninggalkan masjid lantas mereka menyentuh pucuk mimbar yang menonjol yang (lantas dikemudian hari terletak) di sisi kanan kubur kemudian mereka menghadap kiblat dan berdoa\u201d (Lihat: at-Thabaqot al-Kubra 1\/254 tentang mimbar Rasul).<\/p>\n

Bahkan dalam riwayat Ibrahim bin Abdurrahman bin Abdul Qori menyebutkan bahwa; beliau melihat Umar meletakkan tangannya ke tempat duduk Nabi di atas mimbar, lantas mengusapkannya ke mukanya. (Lihat: at-Thabaqot al-Kubra 1\/254 tentang mimbar Rasul dan ats-Tsuqoot karya Ibnu Habban halaman 9).<\/p>\n

Jika kaum Wahaby (Salafy gadungan) selalu menyatakan syirik buat pengambil berkah \u2013dari para penziarah yang datang ke Masjid Nabawi di kota Madinah- dari mimbar Rasul, maka apakah layak kelompok yang berpegangan teguh kepada \u2018ajaran aneh sang pengkhianat\u2019, Muhammad bin Abdul Wahhab, untuk mengaku sebagai \u201cpenghidup Sunah menurut ajaran Salaf Saleh\u201d? Ataukah mereka lebih layak disebut sebagai \u201cpenghidup bid\u2019ah menurut ajaran Khalaf Thaleh (seperti Muhammad bin Abdul Wahab, Albani, Bin Baz, Utsaimin, Aali Syeikh dsb)\u201d?<\/p>\n

Guna mempersingkat tulisan maka kami hanya menyebutkan beberapa hadis saja. Namun, di sini akan kita singgung beberapa riwayat beserta rujukannya dengan harapan para pembaca yang budiman dapat merujuk kembali ke teks aslinya.<\/p>\n

Dalam beberapa riwayat dan hadis lain disebutkan bahwa, ada beberapa hadis seperti yang membahasa tentang Anas bin Malik yang dikubur dengan tongkat Rasul (Lihat: al-Bidayah wa an-Nihayah 6\/6), para sahabat mengambil berkah dari cincin Rasul dengan meniru bentuknya (Lihat: Shahih Bukhari 7\/55, Shohih Muslim 3\/1656, an-Nasa\u2019i 8\/196, Musnad Ahmad bin Hanbal 2\/96 hadis ke-472), para sahabat yang mengambil berkah dari sarung Rasul dengan memakainya secara bergilir dan dijadikannya kafan (Lihat: Shahih Bukhari 7\/189, 2\/98, 3\/80, 8\/16, Sunan Ibnu Majah 2\/1177 dan Musnad Ahmad bin Hambal 6\/456 hadis ke-22318, Fathul Bari 3\/144 tentang hadis 1277),<\/p>\n

Muawiyah bin Abi Sufyan yang bersikeras membeli selendang Rasul untuk dibawa mati dan menjadi kafannya (Lihat: Tarikh Islam karya adz-Dzahabi 2\/412, as-Sirah al-Halabiyah 3\/242 dan Tarikh Khulafa\u2019 karya as-Suyuthi hal:19), hadis Ummu Athiyah tentang kehadiran Rasul ketika anak putrinya meninggal dan mengambil berkah dari sarungnya (Lihat: Shohih Bukhari 2\/74 kitab Jana\u2019iz bab pemberian Kafur, Shohih Muslim 2\/647, Musnad Ahmad 7\/556 hadis ke-26752, Sunan an-Nasa\u2019i 4\/31 dan as-Sunan al-Kubra 3\/547 bab 34 hadis ke-6634 dan atau 4\/6 bab 72 halaman 6764), dan masih banyak lagi yang akan bisa kita dapati pada edisi lengkap tulisan ini. Nantikan.<\/p>\n

Tabarruk para Sahabat dari Tempat Shalat Nabi<\/strong><\/p>\n

1. Dari Musa bin Uqbah, beliau berkata: \u201cAku melihat Salim bin Abdullah bingung memilih tempat di jalanan untuk melaksanakan shalat. Dikatakan bahwa dahulu ayahnya pernah melaksanakan shalat di tempat itu. Dan ia pernah melihat bahwa Rasul juga pernah melaksanakan shalat di tempat itu\u201d. Nafi\u2019 berkata bahwa Ibnu Umar menjelaskan bahwa Rasulullah pernah melaksanakan shalat di tempat-tempat itu.<\/p>\n

Lantas kutanya kepada Salim karena aku tak pernah melihat Salim kecuali dia mengikuti Nafi\u2019 dalam (memanfaatkan) semua tempat-tempat yang ada, kecuali mereka berdua berbeda dalam pada tempat sujud (masjid) sebagaimana kemuliaan alat putar penggiling (riha\u2019). (Lihat: Shohih Bukhari 1\/130, Al-ishobah 2\/349 pada huruf \u2018Ain\u2019 pada bagian pertama, tarjamah Abdullah bin Umar, nomer 4834, Al-Bidayah wa an-Nihayah 5\/149 dan Kanzul Ummal karya Muttaqi al-Hindi al-Hanafi 6\/247)<\/p>\n

Dari hadis di atas itulah akhirnya Ibnu Hajar dalam mensyarahinya mengatakan; \u201cDari Shoni\u2019 bin Umar dapat diambil pelajaran tentang disunahkannya mengikuti peninggalan dan kesan Nabi untuk bertabarruk padanya\u201d. (Lihat: Fathul Bari 1\/469, dan menurut as-Shorim: 108 dinyatakan bahwa Imam Malik menfatwakan; \u201cSunnah melakukan shalat di tempat-tempat yang pernah dibuat shalat oleh Nabi. Pernyataan yang sama juga dapat di kitab al-Isti\u2019ab yang sebagai catatan kaki dari Al-Ishabah tentang Abullah bin Umar)<\/p>\n

Tetapi pada kenyataannya, kenapa para muthawwi\u2019 (rohaniawan Wahaby) berusaha menghalang-halangi para jamaah haji yang ingin bertabarruk dan melakukan shalat di Gua Hira\u2019 tempat menyendiri Rasul yang beliau pakai untuk beribadah, termasuk shalat di sana, dengan alasan Rasul dan Salaf Saleh tidak pernah memberi contoh hal tersebut?<\/p>\n

Baca juga<\/strong>: Betulkah Tabarruk Merupakan Perbuatan Bid\u2019ah atau Syirik, Seperti Tuduhan Minhum?<\/a><\/p>\n

2. Ibnu Atsir berkata bahwa, Ibnu Umar adalah pribadi yang seringnya selalu mengikuti kesan dan peninggalan Rasulullah saw. Sehingga nampak beliau berdiam di tempat (Rasul pernah berdiam di situ), dan melakukan shalat di tempat yang Rasul pernah melakukan shalat di situ, dan sampai pohon yang pernah disinggahi oleh Nabi (untuk berteduh) pun disinggahinya, bahkan beliau (Ibnu Umar) selalu menyiraminya agar tidak mati kekeringan. (Lihat: Usud al-Ghabah 3\/340, tarjamah Abdullah bin Umar, nomer 3080. Dan hal serupa \u2013dengan sedikit perbedaan redaksi- juga dapat dilihat dalam kitab Musnad Imam Ahmad bin Hambal 2\/269 hadis ke-5968, Shohih Bukhari 3\/140, Shohih Muslim 2\/1981)<\/p>\n

Apakah tabarruk Ibnu Umar tersebut tergolong syirik dan berlebih-lebihan (kultus) terhadap Rasul? Apakah mungkin pribadi mulia nan agung seperti Ibnu Umar melakukan perbuatan syirik yang dicela oleh Rasul? Jika ya, lantas kenapa para Salaf Saleh tidak pernah menegurnya, bukankah diamnya mereka berarti meridhoi hal yang sesat? Beranikah kaum Wahaby menyatakan bahwa itu adalah Syirik? Ataukah mereka terpaksa melegalkan perbuatan yang mereka anggap syirik itu?<\/p>\n

3. Suatu saat, datang Atban bin Malik -salah seorang sahabat Rasul dari Anshar yang mengikuti perang Badr bersama Rasul- kepada Rasul seraya berkata: \u201cWahai Rasulullah, telah lemah penglihatanku maka aku melakukan shalat bersama kaumku.<\/p>\n

Jika hujan turun dan menggenangi lembah yang membentang antara tempatku dengan tempat mereka sehingga aku tak dapat melakukan shalat bersama mereka di masjid mereka. Wahai Rasul, aku mengharap engkau datang mengunjungiku dan melaksanakan shalat di rumahku.\u201d Lantas Rasululah saw bersabda kepadanya: \u201cAku akan melaksanakannya, insya-Allah.\u201d Atban berkata: \u201cKeesokan harinya, di waktu siang, datanglah Rasul besama Abu Bakar.<\/p>\n

Kemudian Rasul meminta izin kepadaku dan akupun memberikannya izin. Beliau tidak duduk ketika memasuki rumah dan langsung bersabda; \u201cDi bagian manakah engkau ingin aku mengerjakan shalat di rumahmu?\u201d. Lantas aku tunjuk satu sudut yang berada di rumahku. Lantas Rasulullah berdiri dan bertakbir. Kamipun turut berdiri dan mengambil saf untuk melakukan shalat dua rakaat dan membaca salam\u201d. (Lihat: Shohih Bukhari 1\/115, 170 dan 175. Shohih Muslim 1\/445, 61 dan 62)<\/p>\n

Anehnya, dalam menetapkan pelarangan bertabarruk pada tempat-tempat dan benda-benda yang dianggap sakral (muqaddas), al-Ulyani dalam kitab \u201cat-Tabarruk al-Masyru\u2019 hal: 68-69\u201d berargumen dengan hadis Atban bin Malik yang disinyalir dalam kitab shohih Bukhari dan Shohih Muslim di atas (hadis ketiga) untuk menetapkan \u2018pengharaman tabarruk pada tempat dan benda\u2019.<\/p>\n

Dia dalam kitab itu menyatakan: \u201cHal itu (sebagaimana yang diceritakan dalam hadis di atas) bukan berarti menunjukkan bahwa Atban hendak bertabarruk (mencari berkah) dari tempat yang pernah dibuat shalat oleh Rasul. Akan tetapi ia hanya ingin menetapkan (iqrar) kepada Rasul untuk shalat berjamaah di rumahnya ketika dia tidak mampu untuk melakukan shalat jamaah, sewaktu terjadi genangan di lembah itu. Maka di saat itu ia hendak meresmika masjid di rumahnya dengan mengundang Rasul. Atas dasar itu akhirnya Bukhari memberikan judul dalam kumpulan hadis semacam ini dengan sebutan: \u201cBab Masjid-Masjid di Rumah\u201d (Babul Masajid fil Bayt).<\/p>\n

Dan sebagaimana yang dilakukan oleh al-Barra\u2019 bin \u2018Azib yang melakukan shalat di masjid yang berada di rumahnya \u2013ini adalah ajaran fikihnya- dimana yang dimaksudkan adalah, Rasul telah mensunahkan untuk melakukan shalat berjamaah di rumah ketika sewaktu terdapat hajat. Sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat lain yang bernama al-Barra\u2019 bin \u2018Azib yang melaksanakan shalat jamaah di rumahnya sedang (Rasul) tidak menkritisinya. Padahal dia hidup di zaman hidupnya Rasul (tasyri\u2019).<\/p>\n

Boleh jadi maksud Atban tadi adalah ingin menetapkan arah kiblat yang benar, karena Rasul tidak akan menetapkan kesalahan jika ia melaksanakan shalat menghadap bukan ke arah kiblat\u201d. Ini adalah kemungkinan interpretasi yang diberikan al-Ulyani dari hadis di atas tadi.<\/p>\n

Untuk mengkritisinya maka marilah kita perhatikan poin-poin di bawah ini:<\/p>\n