Pecihitam.org<\/strong> – Hadis ke-5 dalam Kitab al-Adab mengetengahkan kisah orang-orang dahulu yang terjebak dalam goa dan berdoa melalui tawassul, berdoa kepada Allah dengan menggunakan perantara.<\/p>\n Pengertian doa dengan tawassul ada kalanya:<\/p>\n Baca juga<\/strong>:\u00a0Pahami Tawassul dan Hukumnya Agar Tidak Mudah Mensyirikkan Orang Lain, Ini Penjelasannya!<\/a><\/p>\n Bagian doa dengan tawassul ini penting diungkapkan karena di kalangan umat Islam telah diracuni faham wahhabi-salafi yang mengkamuflasekan ajaran-ajaran nabi dengan dianggap sebagai syirik dan perbuatan jahiliyah.<\/p>\n Dalam hadis ke-5 Kitab al-Adab mengandung pelajaran tentang berdoa melalui tawassul, dengan menggunakan amal-amal yang telah atau pernah dilakukan, demi hajat tertentu, dan dalam kasus hadits di atas, adalah agar bisa keluar dalam jebakan goa yang tertutup batu.<\/p>\n Merujuk pada hadits-hadits lain, berdoa kepada Allah dengan tawassul itu, juga mencakup bertawassul selain dengan amal-amal shaleh yang dilakukan seorang mukmin yang tidak disetujui oleh wahhabi-salafi. Dasar dari doa dengan menggunakan tawassul adalah ayat Al-Qur\u2019an pada surat al-M\u00e2\u2019idah ayat 35 dan QS. al-Baqoroh ayat 45:<\/p>\n \u201cHai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah perantara yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan\u201d (QS. Al-Ma\u2019idah [5]: 35); \u201cDan memintalah permohonan dengan sabar dan shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu\u2019 (QS. Al-Baqoroh [2]: 45).<\/p>\n QS. Al-Ma\u2019idah [5]: 35 adalah perintah umum, yang mendorong umat Islam dan orang beriman dalam mendekatkan diri kepada Allah, melalui perantara. Karena eksistensi doa oleh Kanjeng Nabi Muhammad dianggap sebagai ibadah, seperti telah dijelaskan di Ngaji ke-9, maka ibadah doa adalah upaya mendekatkan diri kepada Allah. Dengan sendirinya, berdoa melalui perantara, adalah bagian dari upaya mendekatkan diri kepada Allah yang tercakup dalam ayat itu.<\/p>\n Ayat yang berbunyi wabtagh\u00fb ilaihil was\u00eelah pada surat al-M\u00e2\u2019idah ayat 35 menurut para mufassir dimaknai sebagai berikut:<\/p>\n Penafsiran di atas menjelaskan bahwa untuk wujudnya hajat seseorang difahami lewat sebuah perantara yang bisa berupa: ketaatan dan amal-amal lain dan hajat itu sendiri mewujud dalam diri seseorang melalui perantara-perantara, misalnya soal rezki, sembuh dari sakit, atau yang lain, baik melalui malaikat, bacaan Al-Qur\u2019an, dokter, atau sejenisnya yang dikehendaki Allah.<\/p>\n Berdasarkan surat al-Baqoroh ayat 45, hal itu dicontohkan dengan perantara \u201cmemohonlah melalui kesabaran dan shalat\u201d. Dalam ayat lain agar kita berdoa melalui Asm\u00e2\u2019ul Husn\u00e2 sebagaimana dalam surat al-A\u2019r\u00f4f ayat 180.<\/p>\n Oleh karena itu, orang-orang yang meminta bantuan kepada orang sholeh atau orang tua dan meminta agar mereka mendoakan termasuk perbuatan ketaatan yang bisa mendekatkan diri kepada Allah. Apabila dilihat dari tiga jurusan: di sana ada amal untuk wata`\u00e2wan\u00fb `\u00e2lal birri wattaqw\u00e2 (QS. Al-M\u00e2\u2019idah [2]) atau saling tolong menolong dalam kebaikan; di situ ada amal menjalin silaturahmi kepada sesama muslim; dan doa termasuk pekerjaan ibadah. Kalau ditambah diamini jama`ah, maka bertambah satu lagi keutamannya yaitu mendapat keberkahan dalam \u201cdoa berjamaah\u201d.<\/p>\n Orang yang demikian, adalah orang yang berusaha mendekatkan diri kepada Allah melalui kedekatan dengan orang-orang yang dianggap dekat dengan Allah.<\/p>\n Dalam upaya mencari perantara ini, keyakinan orang yang berdoa di kalangan Ahlussunnah Waljama\u2019ah yang saya terima dan saya lihat dari guru-guru kita di pesantren dan tarekat sebagai berikut:<\/p>\n Pembelaaan tentang tawassul dan tabaruk telah dilakukan Sayyid Muhammad al-Maliki dalam kitabnya berjudul Maf\u00e2him Yajibu an Tushohhah dan para ulama lain seperti KH. Ali Maksum al-Jugjawi yang menulis Hujjah Ahlis Sunnah Waljam\u00e2`ah.<\/p>\n Nabi Muhammad SAW sendiri mengafirmasi tawassul bukan hanya dengan amal-amal perbuatan. Hal ini terlihat dalam sebuah hadits yang bercerita tentang Nabi Adam ketika berdoa dan menjadikan Haqqnya Nabi Muhammad dalam bentuk nur. Hadits ini berasal dari sahabat Umar, Nabi Muhammad bersabda:<\/p>\n \u201cDi kala Nabi Adam melakukan kesalahan, dia berkata: \u201cWahai Tuhanku, as\u2019aluka bihaqqi Muhammadin, aku memohon kepada-Mu, dengan ampunan yang Engkau berikan kepadaku. Maka Allah berfirman: \u201cWahai Adam, bagaimana engkau mengenal Muhammad, padahal Aku belum menciptakannya?\u201d Adam menjawab: \u201cWahai tuhanku, dikarenakan ketika engkau menciptakanku melalui kekuasaan-Mu, dan Engkau tiupkan kepadaku Ruh-Mu, aku tengadahkan kepalaku, maka aku melihat pada tiang-tiang Arsy, tulisan La Il\u00e2ha Illall\u00f4h Muhammad Rasulull\u00f4h, maka aku tahu Engkau tidak menyandarkan asm\u00e2\u2019-Mu kecuali kepada makhluk yang paling Engkau cintai.\u201d Maka Allah berfirman: \u201cBenar engkau wahai Adam, dia adalah makhluk yang paling Aku cintai. Berdoalah dengan haqqnya \u2013ud`un\u00ee bihaqqihi- maka niscaya engkau benar-benar Aku ampuni. Seumpama tidak karena Muhammad, engkau tidak Aku ciptakan.\u201d<\/p>\n Menurut Sayyid Muhammad al-Mailiki, hadits tersebut diriwayatkan al-Hakim, dengan derajat shahih; juga diriwayatkan Imam as-Suyuthi yang juga menyebutnya shahih; diriwayatkan Baihaqi dan Imam al-Qostholani dan az-Zarqoni menyatakan shahih; diriwayatkan Imam as-Subki dan juga Imam Thobroni (Mafahim Yajibu an Tushohah, bagian tawassul). Tawassulnya Nabi Adam kepada haqq-nya Nabi Muhammad ketika masih belum diciptakan dalam wujud manusia menunjukkan bolehnya tawassul bi-haqqi-hi.<\/p>\n Baca juga<\/strong>:\u00a0Naudzubillah, Karena Benci Tawassul, Kitab Nahwu pun Diubah Oleh Wahabi<\/a><\/p>\n Sedangkan bertawassul ketika Nabi masih hidup, banyak dilakukan sahabaat Nabi, di antaranya diceritakan sahabat Ustman bin Hunaif. Ketika Nabi didatangi orang yang terkena sakit mata, orang itu kemudian diminta untuk wudhu, shalat dua rekaat, dan disuruh berdoa begini:<\/p>\n \u201cYa Allah, sesungguhnya aku memohon kepadamu dan menghadap-Mu dengan perantara Nabi-Mu Muhammad shollall\u00f4hu alai wasallam sebagai nabi rahmat. Ya Muhammad, sesungguhnya aku menghadapkan diriku dengan perantara dirimu, maka terangkanlah bagiku atas mataku. Ya Allah syafa`atilah dia dan aku untuk diriku.\u201d Berkata sahabat Utsman bin Hunaif: \u201cMaka demi Allah kami belum berpisah, dan belum lama percakapan kami hingga laki-laki itu masuk dan sepertinya dia tidak terkena kebutaaan\u201d (Menurut Sayyid Muhammad al-Maliki dalam Maf\u00e2him, tentang hadits itu, al-Hakim dan adz-Dzahabi menyatakan shahih, diriwayatkan juga Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Khuzaimah).<\/p>\n Sedangkan tawassul kepada Nabi ketika beliau sudah meninggal, adalah praktik ayang dicontohkan pula oleh sahabat Utsman bin Hunaif yang meniru Nabi Muhammad. Kejadiannya ketika ada orang yang meminta bantuan tentang penglihatannya. Setelah berulang-ulang datang kepada Sayyiduna Utsman bin Affan kemudian laki-laki itu bertemu dengan Utsman bin Hunaif. Lalu diminta oleh Utsman bin Hunaif agar melakukan seperti di atas. Padahal nabi saat itu telah wafat. Begitu dijelaskan Sayyid Muhamamd al-Maliki tentang tawassul melalui nabi.<\/p>\n Hal ini berbeda dengan wahabi-salafi yang tidak membolehkan tawassul dengan selain amal-amal yang telah dilakukan. Mereka menyatakan ada tawassul syirik dan bid\u2019ah dalam praktik tawassul dengan kanjeng Nabi Muhammad. Seperti dikutip di atas tawassul adalah praktik yang dilakukan sahabat dan yang diperintahkan Nabi sendiri (ketika ia masih hidup).<\/p>\n Para sahabat Nabi bahkan bertawassul dan mengambil berkah dari peninggalan-peninggalan Rasulullah. Diantaranya:<\/p>\n Sayyid Muhammad melanjutkan dan berkata: \u201cHadits-hadits tentang itu adalah shahih, telah tetap, sebagaimana yang kami sampaikan dalam bab tabarruk.\u201d<\/p>\n\n
\n
\n
Tawassul Kepada Nabi Ketika Hidup atau Wafat<\/strong><\/h2>\n
\n