Pecihitam.org<\/strong> – Muhammad Abduh (w. 1905) adalah salah satu tokoh pembaharu Islam dari Mesir. Ia memulai karir intelektual di negara asalnya, Mesir, yang merupakan pusat ilmu pengetahuan Islam yang paling berpengaruh saat itu. Abduh sangat dipengaruhi oleh Jamaluddin al-Afghani<\/a><\/strong>, pendiri gerakan PAN-Islam modern yang berusaha untuk menyatukan umat Muslim di bawah panji Islam.<\/p>\n\n\n\n

Tahun 1872, Muhammad Abduh dan Afghani bertemu di Al-Azhar Kairo dan menjalin hubungan yang terus berlanjut dalam waktu yang cukup lama, termasuk ketika ia menghabiskan waktu bersama di Paris dalam pengasingan. <\/p>\n\n\n\n

Tetapi\nakhirnya, Abduh keluar dari kelompok Afghani, meninggalkan pandangan radikal\nyang ia geluti pada tahun 1870-an dan 1880-an tersebut, dan mulai mengemukakan\npandangan-pandangan yang menjadi dasar modernisme mayoritas umat Islam di Mesir\npada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.<\/p>\n\n\n\n

Ia\nkemudian di angkat menjadi mufti (menteri agama) Mesir pada tahun 1899. Abduh\nmemanfaatkan posisinya itu untuk melakukan reformasi dalam bidang pendidikan\nIslam dan hukum. Meskipun demikian, pandangan-pandangannya banyak juga yang\nditentang oleh sejumlah ulama di Mesir.<\/p>\n\n\n\n

Menurut\nAbdullah Saeed (2014), Muhammad Abduh muncul ketika dua gelombang yang dipicu\noleh kebijakan Muhammad Ali di Mesir sudah tidak dapat direkonsiliasi lagi,\nyang satu mengadopsi modernisme dan westernisasi, dan yang lain menolaknya.\nAbduh memiliki pemikiran bahwa salah satu tugasnya adalah menjembatani jurang\nantara keduanya. <\/p>\n\n\n\n

Meskipun\nAbduh sendiri adalah seorang sarjana agama dari Al-Azhar, tapi ia\nmemperjuangkan ide perubahan atau pembaharuan Islam, dan belajar dari ide-ide\ndan insitusi-insitusi modern tanpa mengorbankan agama. <\/p>\n\n\n\n

Ia\nmemilih jalan tengah, yakni memperjuangkan perubahan di satu sisi, dan bahwa\nperubahan itu harus dibimbing oleh Islam di sisi yang lain. Gerakan\nwesternisasi secara total dengan mengorbankan Islam bukanlah pilihan yang\ntepat, justru dikhawatirkan malah akan terjerumus pada liberalisme.<\/p>\n\n\n\n

Sejalan\ndengan tokoh modernis lainnya, Abduh mengajak agar kembali ke Islam generasi\nmuslim awal (salaf<\/em>), Islam yang\nsederhana, seperti Islamnya Nabi Muhammad dan para sahabat yang murni dan tidak\nrumit, dan mengajak agar menggunakan ijtihad untuk memecahkan masalah-masalah\nkekinian.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu ajakan terpenting Muhammad Abduh adalah untuk menghindari taklid buta terhadap ulama-ulama terdahulu, agar kita mengetahui apa sesungguhnya Islam itu, dan untuk meminimalisir pembatasan-pembatasan yang tidak penting yang dibebankan oleh opini-opini para ulama zaman pra-modern.<\/p>\n\n\n\n

Dan,\nyang lebih penting lagi, mengingat Islam di masa awal itu relatif sederhana,\nmaka bila kita kembali ke sumber-sumber agama yang asli tersebut, kita akan\nmampu mengurangi konflik dan perbedaan sektarian yang banyak melanda umat Islam\npada waktu itu, bukan hanya di Mesir saja tetapi juga di tempat-tempat yang\nlain.<\/p>\n\n\n\n

Perbedaan\nsektarian itu, menurut Abduh, adalah akibat dari sikap taklid buta terhadap\nsatu madzhab hukum tertentu. Abduh juga mengajak untuk meminimalisir\nintoleransi antar sesama masyarakat Muslim dan menekankan persatuan dan\nkesatuan umat Islam.<\/p>\n\n\n\n

Salah\nsatu isu terpenting yang dikemukakan oleh Abduh adalah gagasan mengenai tidak\nadanya konflik atau pertentangan antara akal dan wahyu. Ia yakin bahwa\npenemuan-penemuan ilmiah di bidang ilmu pengetahuan sangat relevan dengan al-Qur\u2019an.\n<\/p>\n\n\n\n

Sejalan\ndengan penekanan pada akal ini, Abduh bahkan menafsirkan kemukjizatan al-Qur\u2019an\ndengan berbagai cara yang menjadikannya kompatibel dengan kejadian-kejadian alamiah,\ncontoh dari pemikiran ini adalah tentang penafsirannya terhadap jin sebagai \u2018mikroba\u2019.<\/p>\n\n\n\n

Selain itu, Muhammad Abduh juga menekankan pentingnya pengajaran disiplin ilmu pengetahuan modern. Ia menyatakan bahwa tokoh-tokoh awal seperti al-Ghazali<\/a><\/strong> juga mengajarkan disiplin ilmu tersebut, seperti logika dan disiplin-disiplin penting lainnya yang sangat perlu untuk dipelajari. <\/p>\n\n\n\n

Sejak\nawal tahun 1870an, Abduh sudah menyarankan, meski kurang berhasil sebagaimana\nyang ia harapkan, pengetahuan modern harus dimasukkan dalam kurikulum Al-Azhar.\n<\/p>\n\n\n\n

Dengan mensimplifikasi Islam, Abduh berharap mampu mengurangi perbedaan sektarian, khususnya selama masa kolonialisme, dan memurnikan agama dengan cara menghancurkan apa yang ia anggap sebagai biang yang menyebabkan rusaknya Islam pada abad pertengahan, serta membuka peluang bagi akal dan ilmu pengetahuan modern untuk berjalan berdampingan dengan sumber-sumber Islam yang otentik. <\/p>\n\n\n\n

Muhammad Abduh juga berpendapat bahwa Islam adalah agama fitrah, yang berarti bahwa ia tidak bisa dan tidak akan pernah bertentangan dengan alam, hukum alam, dan ilmu-ilmu yang muncul yang didasarkan pada studi terhadap alam. Jika toh <\/em>ada ketidaksesuaian, itu bukan karena Islamnya, tetapi karena penafsirannya yang keliru terhadap sumber-sumber primer Islam. <\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"

Pecihitam.org – Muhammad Abduh (w. 1905) adalah salah satu tokoh pembaharu Islam dari Mesir. Ia memulai karir intelektual di negara asalnya, Mesir, yang merupakan pusat ilmu pengetahuan Islam yang paling berpengaruh saat itu. Abduh sangat dipengaruhi oleh Jamaluddin al-Afghani, pendiri gerakan PAN-Islam modern yang berusaha untuk menyatukan umat Muslim di bawah panji Islam. Tahun 1872, […]<\/p>\n","protected":false},"author":13,"featured_media":18972,"comment_status":"open","ping_status":"closed","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":{"footnotes":""},"categories":[12],"tags":[6148,6149],"yoast_head":"\n