Pecihitam.org <\/strong>– Narasi besar tentang Islam selalu mengaitkan konsep perdamaian yang seringkali digaungkan dalam ruang publik. Hal ini, sesuai dengan tujuan diturunkannya agama di dunia untuk memberikan pencerahan terhadap masyarakat muslim J<\/em>ahiliyyah<\/i> saat itu.<\/p>\n\n\n\n Hingga saat ini, Islam masih menjadi kokoh dan mengajarkan menerima perbedaan dengan membawa misi perdamaian. Jika kita melihat konteks ke Indonesiaan, cerminan Islam yang ada yakni lahir secara kultural dan banyak memasukkan nilai-nilai tradisi lokal. <\/p>\n\n\n\n Tak heran, jika kemunculan berbagai pandangan baru tentang cara berislam pun muncul dalam permukaan publik saat ini. Kemunculan tersebut, justru banyak dikacaukan oleh kelompok-kelompok yang tidak bertanggung jawab. <\/p>\n\n\n\n Sehingga yang terjadi adalah kasus intoleran menjadi isu yang sangat mudah untuk membenturkan misi dalam agama islam. Hal ini dapat menyulut dan memperburuk prasangka terhadap islam yang semakin kesini semakin tidak karuan rasanya. <\/p>\n\n\n\n Kemunculan narasi yang tidak sesuai dengan Islam pun, membuat pengaruh besar terhadap rona Islam itu sendiri. Munculnya beberapa kasus intoleransi, yang terjadi atas nama kelompok maupun individu ini selalu menyisakan pilu dalam benak kita. <\/p>\n\n\n\n Hal ini diawali dengan kemunculan beberapa kepentingan yang bersifat politis yang bersarang dan lahir dari dalam kelompok komunal yang berkepentingan. <\/p>\n\n\n\n Jika kita melihat rilis data Setara Institute<\/em> pada tahun (2016) mencatat 208 peristiwa tentang pelanggaran kebebasan beragama. Dan pada tahun 2017, tercatat sebanyak 201 kasus, dalam beberapa catatan kasus kebebasan beragama ini banyak aktor yang berperan, diantaranya negara, dan aktor non-negara atau kelompok warga. <\/p>\n\n\n\n Belum lama ini di awal tahun 2019 terhadi penyerangan gereja atau tempat ibadah yang terjadi di Sleman, Yogyakarta. Berbagai kasus penyerangan terhadap tempat ibadah ini tentu saja menghadirkan rasa kewaspadaan tersendiri bagi kita, terhadap kelompok luar. <\/p>\n\n\n\n Meminjam istilalah Aksin Wijaya (2018) dalam bukunya Dari Membela Tuhan, ke Membela Manusia ; Kritik Nalar Agamaisasi Kekerasan<\/em> tentang kehadiran kelompok-kelompok yang memiliki pemahaman yang paling benar dan hal ini cenderung melahirkan cara beragama yang tertutup. <\/p>\n\n\n\n Apalagi melihat cara berislam ala Indonesia yang selalu mengakomodir nilai-nilai keindonesiaan. Jika melihat situasi seperti yang ada di Indonesia saat ini bahwa dalam konteks pemikiran Islam, kelompok garis keras sering merepresentasikan pihak yang melakukan klaim terhadap dirinya sebagai yang paling autentik, paling benar, paling suci dan semacamnya. <\/p>\n\n\n\n Hal semacam ini seharusnya sangat kita hindari, karena berawal dari sinilah pemahaman yang bersifat tertutup terhadap perbedaan dan cenderung akan memunculkan perilaku intoleran. <\/p>\n\n\n\n