Pecihitam.org<\/strong> – Majelis Ulama Indonesia (MUI) didirikan di masa Orde Baru<\/a><\/strong> pada 26 Juli 1975 M di Jakarta. Sesuai dengan peran dan tugasnya, MUI membantu pemerintah dalam melakukan hal-hal yang berkaitan dengan kemaslahatan umat Islam. Misalnya seperti membuat fatwa, mengeluarkan sertifikat halal sebuah makanan, menentukan kebenaran sebuah aliran, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan umat Islam.<\/p>\n\n\n\n Sejatinya,\nMajelis Ulama Indonesia (MUI) adalah lembaga independen yang mewadahi para ulama\ndan cendekiawan Islam yang bertujuan untuk membina dan membimbing umat Islam.\nSegala sesuatu yang berkaitan dengan keislaman dan problematika umat, merupakan\nwewenang MUI untuk menyelesaikannya. <\/p>\n\n\n\n Dari\nsegi sejarah, cikal bakal berdirinya MUI ini tidak lepas dari pengaruh dari\nkebijakan Orde Baru. Tercatat, inisiatif pembentukan organisasi MUI bermula\ndari keinginan Suharto yang ingin memberi wadah bagi umat Islam di bawah suatu\nkepemimpinan para ulama yang resmi secara konstitusional.<\/p>\n\n\n\n Pak\nHarto berharap, ada wadah khusus bagi umat Islam yang dapat menjadi rujukan\nbagi berbagai problematika umat. Hal ini bukan berarti Pak Harto tidak\nmenghargai organisasi keislaman yang ketika itu sudah ada, misalnya seperti\nNahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, dan masih banyak lagi.<\/p>\n\n\n\n Menurut\nPak Harto, berbagai organisasi itu sifatnya sektarian dan tidak bisa menjadi\nrujukan secara umum bagi umat Islam Indonesia. Karena sifatnya sektarian, maka\norganisasi keislaman yang sudah ada kala itu lebih bertitik tolak pada keanggotaan.\nDan, apapun kebijakan yang dilahirkan oleh organisasi tersebut, otomatis hanya\nberlaku secara internal dan tidak berlaku bagi umat Islam secara luas.<\/p>\n\n\n\n Pada\ntitik ini, Pak Harto ingin ada payung yang dapat mewadahi umat Islam tanpa ada\nkecenderungan sektarian dalam wadah payung itu. Sehingga, dengan berbagai\npertimbangan dan nasihat dari para ulama dan cendekiawan Muslim, maka\nterbentuklah MUI yang secara keanggotaan, dapat diisi oleh berbagai latar\nbelakang oraganisasi, bisa diisi dari kalangan Muhammadiyah, Nahdatul Ulama,\ndan ormas-ormas lainnya.<\/p>\n\n\n\n Jadi, betapapun berdirinya MUI tidak lepas sama sekali dari pengaruh kekuasaan orde baru, tapi tak bisa dipungkiri bahwa peran ulama dan cendekiawan Muslim tidak bisa diabaikan. Merekalah yang merumuskan berbagai sistem dan ideologi yang menjadi landasan berpikir bagi MUI itu sendiri.<\/p>\n\n\n\n Tendensi Politik Orde Baru<\/strong><\/p>\n\n\n\n Meski begitu, kehadiran Majelis Ulama Indonesia sarat dengan nuansa tendensi politik dari kekuasaan Orde Baru. Dengan kata lain, ada semacam upaya yang ingin dilakukan oleh Pak Harto untuk menguasai suara umat Islam yang sebelumnya hanya di miliki oleh ormas-ormas Islam.<\/p>\n\n\n\n Pak Harto ingin bahwa aspirasi umat Islam di Indonesia juga berada di bawah kendalinya. Hal ini bisa dilihat dari kebijakan pak Harto soal program Keluarga Berencana (KB).<\/p>\n\n\n\n Memang, program KB sudah ada jauh sebelum MUI didirikan. Namun demikian, kehadiran program KB ini tidak mendapat dukungan dari umat Islam, malahan umat Islam banyak melakukan penolakan terhadap program ini. <\/p>\n\n\n\n Akibat penolakan itu, pemerintah akhirnya memanfaatkan MUI untuk melegitimasi kebijakan politik yang dianggap tidak pro terhadap Islam. <\/p>\n\n\n\n Dari\nsini, tampak jelas bahwa pak Harto memang betul-betul memanfaatkan MUI untuk\nkepentingan politiknya. Meskipun, harus diakui bahwa program KB ini mengalami\nkesuksesan yang luar biasa besar, karena mampu menekan jumlah penduduk yang\nawalnya tak mampu dikendalikan.<\/p>\n\n\n\n Sebagai\nproduk Orde Baru, MUI boleh dibilang sebagai sarana legitimasi politik umat\nIslam di bawah kendali pak Harto, yang juga sekaligus sebagai legitimasi\ndukungan rakyat. Sebab, mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam,\nsehingga pak Harto butuh legitimasi kekuasaan. <\/p>\n\n\n\n