Pecihitam.org – <\/strong>Kita memang berhak atas klaim bahwa masyarakat Islam pernah mencatat sejarah kejayaan dalam ilmu pengetahuan, tapi kita juga perlu meninjau kembali kenangan kita terhadap sains di masa keemasan Islam.<\/p>\n\n\n\n Kaum muslimin begitu bangga akan masa lalunya yang penuh kejayaan, terlebih masa ketika masyarakat muslim menapaki puncak peradabannya dalam bidang ilmu pengetahuan selama rentang abad ke-2 hingga ke-8 hijriyah (abad 7-13 M). <\/p>\n\n\n\n Masa keemasan itu begitu populer di kalangan umat Islam hingga saat ini dan seringkali dikenang dalam ceramah-ceramah, tulisan-tulisan, kajian-kajian ilmiah, serta digaungkan kepada murid-murid muslim di sekolah-sekolah.<\/p>\n\n\n\n Kenangan tersebut sekaligus menjadi kampanye agar umat Islam menjunjung ilmu pengetahuan (sains). Kampanye yang dipengaruhi oleh emosi gerakan pembaharuan Islam itu membuahkan hasil, setelah kaum muslimin terpesona dan sadar bahwa Barat mampu menguasai dunia dengan sains dan produk-produk teknologinya yang dibawa melalui kolonialisme<\/a><\/strong> dalam misi \u201cpemberadabannya\u201d (civilizing<\/em>).<\/p>\n\n\n\n Kini pelajaran-pelajaran sains masuk dalam kurikulum sekolah-sekolah Islam dan ini bukanlah sesuatu yang asing, bahkan wajib dimasukkan. Bersamaan dengan itu para murid terus-menerus mendapatkan pelajaran kenangan terhadap tokoh-tokoh Islam yang berjaya memberikan sumbangsih bagi kemajuan sains di masa keemasan.<\/p>\n\n\n\n Hal itu bukan tanpa persoalan. Ketika kita\nmemandang sains Barat yang diyakini bahwa sains tersebut memiliki akar\nkonseptual yang dapat dirunut ke masa keemasan Islam, lalu tumbuh kesadaran\nakan pentingnya mempelajari sains bagi kaum muslim modern, kita perlu\nmempertanyakan: apakah sains yang kita fahami saat ini sama dengan sains yang\ndipelajari kaum muslim di masa lalu? Apakah yang dimaksud sains adalah apa yang\nkita saksikan dari Barat di zaman kita sekarang ini ataukah apa yang difahami\noleh para ilmuwan Islam zaman dulu?<\/p>\n\n\n\n Dalam Takwin al-\u2018Aql al-\u2018Arabi<\/em> (terjemahan\nIlham Khoiri, 2014) Muhammad Abid al-Jabiri menyinggung bahwa peradaban\nArab-Islam adalah peradaban Fiqih. Hal ini dijelaskannya dalam dua aspek:\nkuantitas dan kualitas.<\/p>\n\n\n\n Dari aspek kuantitas, produk-produk pemikiran\ndalam literatur-literatur dalam bidang Fiqih tak tertandingi jumlahnya, mulai\ndari literatur dengan kajian yang komprehensif (muthawwalat<\/em>) atau\nringkasan (mukhtashar<\/em>) maupun penjelasan (syarh<\/em>) terhadap\nliteratur terdahulu dan penjelasan terhadap penjelasan (syarh al-syarh<\/em>).<\/p>\n\n\n\n