Pecihitam.org<\/strong> – Istilah Neo-Sufisme berasal dari seorang tokoh dari India, Fazlur Rahman, yang berupaya untuk melakukan pembaruan sufisme dengan jalan mencoba mengikat serta menundukkan ajaran tasawuf di bawah kendali syariat, yakni Al-Qur\u2019an dan Sunnah. <\/p>\n\n\n\n Dalam tasawuf al-Ghazali<\/a><\/strong> misalnya, tasawuf atau ilmu hakikat dipandang lebih halus dan lebih tinggi dari syariat, dalam arti tasawuf diletakkan di atas syariat. Urutannya adalah syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. <\/p>\n\n\n\n Dalam\ncitra neo-sufisme justru yang terjadi sebaliknya, yakni sufisme harus\nditundukkan di bawah kendali syariat. Penganut paham neo-sufisme ini terbagi\nmenjadi dua cabang, satu cabang mencoba menolak penghayatan kasyfi<\/em> (makrifat) sebagai intisari atau\nhakikat sufisme. Di sini, mereka berusaha mengembalikan pada bentuk tasawuf\nseperti diamalkan para sahabat Nabi (ulama salaf). <\/p>\n\n\n\n Artinya,\nintisari yang menjadi tujuan tasawuf hendaknya hanya bertekun beribadah dan\nmenghindari kemewahan duniawi. Penghayatan kasyfi\n<\/em>yang kadang menyertai orang-orang yang tekun beribadah itu adalah godaan,\nyang apabila itu diutamakan berarti menyimpang dari tujuan semula (yang asli).<\/p>\n\n\n\n Sedangkan\ncabang yang kedua mengakui penghayatan kasyfi\n<\/em>yang merupakan inti dari ajaran tasawuf. Namun kebenarannya jangan\ndimutlakkan, artinya kebenaran dari pengalaman spiritual berbasis sufisme tidak\nboleh diabsolutkan. Kebenaran penghayatan kasyfi<\/em>\nharus diuji sesuai atau tidak dengan syariat. Kalau tidak sesuai, itu tanda wiswas syaithan<\/em> yang menyesatkan.<\/p>\n\n\n\n