PeciHitam.org – <\/strong>Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi kemasyarakatan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sebagian besar bangsa Indonesia. Sebagai organisasi sosial keagamaan, Nahdlatul Ulama hadir di tengah perbedaan-perbedaan pandangan dengan organisasi sosial keagamaan lain. Namun pada dasarnya, NU tetap memegang teguh prinsip persaudaraan (al-ukhuwwah) dan toleransi (al-tasamuh).<\/p>\n Hingga sekarang ini NU mampu menjaga kebersamaan dan hidup berdampingan dengan sesama umat Islam maupun dengan sesama warganegara yang mempunyai keyakinan dan agama lain dalam rangka berama-sama mewujudkan cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh dan dinamis.<\/p>\n Keberadaan NU yang senantiasa menyatukan diri dengan perjuangan bangsa, menempatkan NU dan segenap warga untuk tetap aktif mengambil bagian dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat yang adil dan makmur. Sebagai jami\u2019iyah secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun. Hal ini mendasari bahwa setiap warga NU adalah warga negara yang mempunyai hak-hak politik yang dilindungi oleh undang-undang.<\/p>\n Hak politik digunakan secara baik dan bertanggung jawab, sehingga dengan demikian dapat menumbuhkan sikap hidup yang demokratis, konstitusional, taat hukum, dan mampu mengembangkan musyawarah dan mufakat dalam memecahkan permasalahan yang sedang dihadapi bersama. NU merupakan wadah bagi para ulama dan pengikut-pengikutnya yang didirikan pada 16 Rajab 13344H\/31 Januari 1926 dengan tujuan untuk memelihara, melestarikan, mengembangkan, dan mengambalikan ajaran Islam yang berhaluan Ahlus Sunnah Wal Jamaah.<\/p>\n Dalam berbagai macam kegiatannya NU melembagakan pola pikir Ahlus Sunnah Wal Jamaah yaitu sebuah paham dan pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (spirituralis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur\u2019an, Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan analisis akal sehat ditambah dengan realitas empirik.<\/p>\n Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu Hasan Al-Asy\u2019ari<\/a> dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi\u2019i, dan Hambali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.<\/p>\n