Pecihitam.org<\/strong> – Jika kita rasakan dan cermati, percakapan ruang publik kita semakin lama dipenuhi oleh desakan aspirasi untuk memformalkan ajaran Islam kedalam peraturan kenegaraan. Dalam hal ini bisa berupa tuntutan untuk mengislamkan konstitusi negara maupun aksi sebagian ormas yang melakukan aksi sepihak dengan menjadi polisi moral di masyarakat.<\/p>\n\n\n\n Lalu lintas ruang publik kita yang semakin bising oleh aspirasi\nformalisme ajaran Islam ini sebelumnya sudah diperingatkan oleh antropolog\nBelanda yang sudah lama meneliti perkembangan Islam di Indonesia.<\/p>\n\n\n\n Antropolog tersebut, Martin Van Bruinessen (editor) dalam buku yang berjudul Contemporary Development in Indonesian Islam: Explainning \u201cConservative Turn\u201d (2013)<\/em> memberikan laporan bahwa situasi perkembangan Islam di Indonesia era reformasi adalah ditandai dengan menguatnya tren konservatisme<\/a>.<\/p>\n\n\n\n Terjadi terorisme di berbagai tempat di Indonesia. Kemudian terjadi banyak konflik horizontal di berbagai wilayah yang motifnya didorong oleh penafsiran akan Islam. <\/p>\n\n\n\n Ditambah lagi banyak fatwa dari MUI yang mendiskriminasi berbagai kelompok minoritas, misalnya Ahmadiyah dan Syi\u2019ah. Terlebih lagi FPI sering melakukan aksi sepihak yang melanggar hak asasi manusia.<\/p>\n\n\n\n Selayang Pandang Tentang Islam Sipil<\/strong><\/p>\n\n\n\n Dalam kondisi gaduhnya ruang publik akibat dari hembusan aspirasi\nkaum ekstrimis tersebut penting kiranya untuk menghadirkan kembali wacana Islam\nsipil yang sebelumnya digagas oleh Robert W. Hefner melalui bukunya Civil\nIslam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia (2001)<\/em>. <\/p>\n\n\n\n Apa itu wacana Islam sipil? Gagasan Islam sipil adalah bentuk kontekstualisasi dari konsep masyarakat sipil (civil society<\/em>). Konsep masyarakat sipil sendiri muncul setelah selesainya perang dingin pada tahun 1989-1990an. <\/p>\n\n\n\n Ketika negara Uni Soviet runtuh dan terpecah menjadi banyak negara, ada trend menguatnya kekuatan warga negara yang otonom dari negara dan kemudian mendorong gerakan demokratisasi pasca komunisme Soviet.<\/p>\n\n\n\n Pada masa itu kekuatan masyarakat sipildipercaya sebagai sebuah solusi untuk tatanan negara yang demokratis. Ketika masyarakat sipilnya kuat, mereka akan mendorong gerakan demokratisasi, kontrol kepada negara dan budaya kesetaraan dalam sebuah negara. <\/p>\n\n\n\n Wacana tersebut dipercaya menjadi solusi untuk perkembangan dunia yang sedang bertranformasi dari otoritarianisme menuju demokrasi.<\/p>\n\n\n\n Untuk konteks perkembangan Indonesia saat itu, di tahun-tahun menjelang tumbangnya kekuasaan otoriter Orde Baru, gerakan-gerakan yang mendorong upaya demokratisasi sebagian besarnya adalah kaum muslim. <\/p>\n\n\n\n Dari situlah kemudian antropolog W. Hefner menganggap bahwa warga negara yang beragama Islam menjadi agen yang berpotensi dapat mendorong kuatnya masyarakat sipil di Indonesia dan mendorong proses demokratisasi. Dari proses dan konteks itulah kemudian istilah Islam sipil muncul. <\/p>\n\n\n\n Dengan demikian yang dimaksudkan sebagai Islam sipil adalah sebuah aspirasi dan gerakan dari kaum muslim yang mendorong terbentuknya sebuah negara yang demokratis, dimana partisipasi masyarakatnya kuat dalam mengontrol negara. <\/p>\n\n\n\n Adapun sifat dari Islam sipil ini adalah mengambil jarak dari negara, ia lebih mendorong proses demokratisasi dari luar kekuasaan.<\/p>\n\n\n\n