Pecihitam.org –<\/strong> Komitmen Gus Dur terhadap pluralisme diwujudkan dalam bentuk pembelaan terhadap kaum minoritas sebenarnya telah Gus Dur tunjukkan jauh sebelum ia menjadi presiden. <\/p>\n\n\n\n Di zaman Orde Baru tepatnya di tahun 1996, Gus Dur mengegerkan publik karena ia membela sepasang pengantin, bernama Budi Wijaya dan Lanny Guito yang beragama Konghucu. Pasangan tersebut mendapatkan kesulitan saat ingin mencatatkan pernikahannya di Kantor Catatan Sipil Surabaya. <\/p>\n\n\n\n Pegawai Catatan Sipil menolak mencatatkan pernikahan tersebut karena agama Konghucu dianggap bukan sebagai agama yang diakui di Indonesia. Pasangan pengantin tersebut akhirnya diminta untuk memilih salah satu dari lima agama yang diakui negara kala itu agar pernikahan mereka dapat dicatat dan diakui oleh negara.<\/p>\n\n\n\n Setelah Gus Dur berhasil menjadi presiden, ia mengembalikan harkat dan martabat warga keturunan Tionghoa yang selama ini dipasung oleh rezim Orde Baru. Gus Dur menunjukkan keberpihakannya dengan menghapus aturan Orde Baru dalam Inpres Nomor 14\/1967 yang melarang warga keturunan Tionghoa yang tinggal di Indonesia merayakan peringatan Imlek serta kegiatan keagamaan dan adat-istiadat Tionghoa secara terbuka. <\/p>\n\n\n\n Naiknya Gus Dur menjadi presiden tidak sepenuhnya ditandai dengan berbagai keberhasilan, sebaliknya era pemerintahannya ditandai dengan sejumlah catatan merah. Salah satunya adalah Gus Dur dianggap gagal meredam eskalasi konflik Islam-Kristen yang terjadi di Ambon ketika berkuasa, padahal selama ini ia dikenal sebagai tokoh yang konsen mempromosikan gagasan pluralisme dan juga aktif membangun dialog antara umat beragama.<\/p>\n\n\n\n