Pecihitam.org<\/strong> – Seusai shalat Jum\u2019at, tepatnya tahun 1997, saya bersilaturahim ke rumah Anregurutta AGH Daud Ismail<\/strong> di Soppeng. Sembari menuruni anak tangga karena posisi jalan raya lebih tinggi dari rumah beliau, sesaat saya tiba-tiba terenyuh. Subhanallah, beliau berada di ruang tamu berpakaian lengkap baju putih dengan serban khas beliau. Saya langsung bersimpuh meraih tangan lembut beliau untuk bersalaman sembari menciumnya. Terasa wewangian semerbak menjadikan sosoknya yang kharismatik kian paripurna. <\/p>\n\n\n\n Saat itu, beliau didampingi istrinya, Gurutta belum beranjak dari duduknya seusai jumatan. Peristiwa itu tidak berlangsung lama, saya cukup minta didoakan sembari menyodorkan air kemasan, sebuah tradisi yang lazim di pesantren. <\/p>\n\n\n\n Ihwal keteladanan AGH Daud Ismail, sering diceritakan AGH. Muh. Harisah AS bahwa beliau dikenal ulama yang sangat lembut. Saat ditanya, apa resep panjang umur dan tetap sehat, beliau menyatakan \u201cjangan marah dan batasi makanan\u201d. Pernyataan itu diamini istrinya, bahwa selama berumah tangga, satu kalipun gurutta tidak pernah marah. <\/p>\n\n\n\n AGH Daud Ismail dikenal ulama mufassir. Beliau dilahirkan di Cenrana, Soppeng, 30 Desember 1908. Ayahnya bernama H. Ismail bin Baco Poso dan ibunya bernama Hj. Pompola binti Latalibe. H. Ismail dikenal sebagai tokoh agama, guru mengaji dan juga parewa sara’sehingga lebih akrab dengan panggilan Katte Maila. Beliau mendidik anaknya Daud dengan menanamkan nilai-nilai agama. Beliau menitipkan anaknya diajar mengaji oleh Maryam, termasuk mengirimkan ke Sengkang untuk mengaji Kitab Kuning kepada AGH. Muh. As\u2019ad di MAI. Atas jasa H. Ismail, ayahnya, maka Gurutta Daud sebagai anak bungsu dan satu-satunya laki-laki ditempa oleh kedua orang tuanya yang dikenal tokoh agama yang taat. <\/p>\n\n\n\n Demikian, AGH Daud Ismail mengaji hingga membantu AGH. Muh. As’ad membina MAI hingga mengantinya saat AGH. Muh. As\u2019ad wafat diusianya yang masih muda. Bahkan dalam kepemimpinannya, AGH Daud mengganti nama MAI menjadi Pesantren As’adiyah sebagai dedikasi atas jasa gurunya, AGH. Muh. As\u2019ad. <\/p>\n\n\n\n Anre Gurutta Daud Ismail mempersunting Hj. Marellung dan dikaruniai anak masing-masing; H. Ahmad Daud dan AGH. Basri Daud. Setelah istrinya wafat, beliau menikah lagi dengan Hj. Salehah, namun tidak dikaruniai anak. Kemudian beliau menikah untuk ketiga kalinya dengan Hj. Faridah yang turut mendampinginya hingga wafatnya, 21 Agustus 2006. <\/p>\n\n\n\n Dalam Buku Ulama Sulawesi Selatan terbitan MUI Sulsel, 2007, Susdiyanto menuliskan bahwa AGH Daud Ismail belajar dengan mengaji kitab kuning pada sejumlah ulama di Mekkah hingga tahun 1924 dan kembali ke tanah air. Kemudian melanjutkan pendidikan dengan mengaji kitab kuning dibawah bimbingan AGH. Muh. As’ad antara tahun 1930-1942 bersama-sama demgan AGH. Abdurrahman Ambo Dalle, AGH. Muh. Yunus Maratan, AGH. Abduh Pabbaja. <\/p>\n\n\n\n Sedikitnya, beliau berguru pada AGH. Muh. As’ad selama 12 tahun sehingga diyakini telah mewarisi keilmuan gurunya. <\/p>\n\n\n\n