Pecihitam.org – <\/strong>\u201cHidup tanpa cinta bagai malam tak berbunga. Hai begitulah kata para pujangga.\u201d Demikian lirik lagu Kata Pujangga<\/em> yang ditulis oleh Rhoma Irama. Kita tentu membenarkan apa yang disampaikan sang raja dangdut, sehingga tak jarang kita mendendangkan lagu itu, lebih-lebih saat sedang jatuh cinta, tentunya sambil bergoyang.<\/p>\n\n\n\n Cinta adalah elemen dasar keberadaan dan kehidupan makhluk hidup. Cinta merupakan sepercik sifat Tuhan yang ditiupkan ke dalam jiwa makhluk-makhluk-Nya, sebagai dorongan bagi mereka untuk senantiasa menyembah-Nya sekaligus sebagai dorongan agar mereka berkembang biak. <\/p>\n\n\n\n Dengan berkembang biak, semakin banyak makhluk yang menghamba pada-Nya. Karena itu, rasa saling cinta antara perempuan dan laki-laki merupakan hal yang sangat manusiawi.<\/p>\n\n\n\n Sebagai suatu dorongan, cinta dalam diri manusia erat kaitannya dengan nafsu syahwat dan nafsu syahwat cenderung mengarah kepada keburukan (laammaratun bi al-su`<\/em>). <\/p>\n\n\n\n Untuk itulah, agama mengarahkan manusia agar cinta berunsur syahwat itu tetap pada jalurnya, yaitu agar manusia tetap menyembah-Nya. Agama pun menetapkan pernikahan sebagai lembaga percintaan yang sah dan melarang manusia mendekati zina, apalagi zinanya.<\/p>\n\n\n\n Namun manusia adalah makhluk yang tergesa-gesa, sehingga kadang\nia melanggar aturan dan keluar dari jalur yang ditetapkan Tuhan. Ia tidak sabar\nmenunggu pernikahan terjadi untuk menyalurkan nafsu syahwatnya. Dengan dalih\nkarena cinta, ia melakukan zina atau mendekatinya. Perbuatan mendekati zina\ninilah yang kerap diidentikkan dengan \u201cpacaran\u201d.<\/p>\n\n\n\n Pacaran paling banyak dilakukan oleh muda-mudi yang bukan\nmuhrim dan belum terikat pernikahan namun saling mencintai. Biasanya praktek\npacaran dilakukan dengan duduk berduaan, berpegangan tangan, berpelukan,\nberciuman dan saling meraba tubuh pacarnya. Di sinilah letak persoalan mengapa\npacaran difatwa haram.<\/p>\n\n\n\n Sebagian muslim sangat getol mengampanyekan keharamannya.\nMereka bahkan membuat gerakan \u201cIndonesia Tanpa Pacaran\u201d. Secara konsisten gerakan\nyang mulai digagas sejak 2015 itu memberikan penyuluhan, pelatihan dan menyeru\norang-orang agar meninggalkan pacaran, khususnya kepada generasi muda muslim\nyang rentan larut dalam budaya berpacaran.<\/p>\n\n\n\n Baru-baru ini gerakan yang dimotori generasi muda muslim urban itu beraksi pada malam perayaan tahun baru, momen yang memberi peluang orang berpacaran dan melakukan perbuatan-perbuatan yang mendekati zina. Mereka berkampanye dengan tajuk Aksi Putus Massal Sekaligus Deklarasi Indonesia Tanpa Pacaran<\/em>. Sebentar lagi akan ada perayaan Hari Valentine<\/a>, kita tunggu saja aksi apa lagi yang akan mengemuka.<\/p>\n\n\n\n Kita patut mengapresiasi usaha yang dilakukan Indonesia Tanpa Pacaran ini. Sebagaimana disinyalir oleh Mujiburrahman dalam Mengindonesiakan Islam: Representasi dan Ideologi <\/em>(2008), gerakan tersebut merupakan bagian dari gerakan fundamentalisme Islam<\/a> yang memang menyoroti kemorosotan akhlak masyarakat muslim modern dan memberikan alternatif cara berkehidupan sesuai ajaran al-Qur`an dan Sunnah.<\/p>\n\n\n\n Bagaimanapun gerakan ini mendasarkan sikap dan tindakannya\npada pola pikir hitam-putih, halal-haram. Perlu kiranya dipertimbangkan\nmemandang fenomena pacaran dari sudut pandang sosial.<\/p>\n\n\n\n Menurut Mujiburrahman di buku yang disebut sebelumnya,\npacaran adalah semacam pelarian bagi muda-mudi yang kesulitan menyalurkan\nsyahwatnya lewat pernikahan yang sah akibat tuntutan hidup kosmopolit yang\nsangat tinggi. Dengan demikian, pacaran bukan sekedar persoalan akhlak, tetapi\nmelibatkan persoalan-persoalan sosial yang sungguh rumit.<\/p>\n\n\n\n Tetapi baiklah apabila memang pacaran dihukumi haram, toh<\/em> nyatanya ajaran agama tidak melarang jatuh cinta. Sebagaimana disebut di awal tulisan ini, rasa cinta merupakan anugerah Tuhan kepada makhluk-makhluk-Nya. Rasa cinta yang berunsur syahwat kepada wanita (juga sebaliknya, wanita kepada laki-laki) bahkan merupakan perhiasan yang diperuntukkan bagi manusia, seperti dikonfirmasi QS. Ali Imran: 14.<\/p>\n\n\n\n Meskipun\u00a0 cinta bersyahwat dikatakan sebagai kesenangan hidup di dunia, namun hanya di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (husnu ma`ab<\/em>). Begitulah ayat tersebut menjelaskan. <\/p>\n\n\n\n Bagian akhir ayat ini mengindikasikan adanya aturan atau batasan dalam mengekspresikan cinta kepada sang kekasih. Pada titik inilah hukum fiqih yang menurut definisinya merupakan hasil ijtihad ulama memainkan perannya.<\/p>\n\n\n\n