Pecihitam.org<\/strong> – Banyak jalan bagi hati seseorang bertaut dengan orang lain. Ada yang \u201cjatuh cinta pada pandangan pertama\u201d, ada yang harus melalui bertahap-tahap kejadian hingga ia mengenal dan mencintai pujaannya, ada pula yang mengenal seseorang dengan terlebih dahulu mengenal seorang yang lain lagi. Dari Cak Nur ke Gus Dur, begitulah pengalaman saya mengenal sang guru bangsa.<\/p>\n\n\n\n Sebetulnya bisa dibilang saya terlambat mengenal dan mempelajari Gus Dur. Seharusnya saya sudah bergelut dengan pemikiran, kiprah dan keteladanan KH. Abdurrahman Wahid sejak 15 tahun yang lalu ketika saya memutuskan untuk berkuliah di Jurusan yang menyediakan alam pikiran orang-orang besar.<\/p>\n\n\n\n Mungkin\nkarena pada masa itu masih terbayang kiprah beliau sebagai Presiden Republik\nIndonesia yang kebijakannya seringkali kontroversial bagi anak muda awam (sekarang\nsudah tua) seperti saya, meskipun saya lahir dan tumbuh di kalangan Nahdhiyyin.<\/p>\n\n\n\n Penting kiranya untuk disinggung di sini bahwa kalangan NU Banjar tidak terlalu mengenal Gus Dur. Tokoh yang menjadi panutan dan haluan ke-NU-an mereka adalah KH. Idham Chalid<\/a> yang berasal dari Amuntai, Kalimantan Selatan. Kita mengetahui, salah satunya lewat tuturan Greg Barton dalam Biografi Gus Dur<\/a> (2002), bahwa KH. Idham Chalid dan Gus Dur pernah bersaing sengit dalam perebutan kursi tertinggi NU.<\/p>\n\n\n\n Irisan\nsemacam ini, hemat saya, penting untuk memahami orientasi ideologis yang\nrelatif berbeda antara NU Banjar dan NU Jawa, antara tradisionalisme-konservatif\ndan tradisionalisme-prograsif, antara kebiasaan mengenakan peci putih dan peci\nhitam.<\/p>\n\n\n\n Karena\nitulah, tak heran jika salah seorang senior saya waktu kuliah mengungkapkan\nkekesalannya karena skripsinya yang mengangkat pemikiran Gus Dur mendapat nilai\nakhir B, hanya karena ketua tim penguji skripsi tidak suka dengan Gus Dur dan\ngagasan-gagasannya. Namun justru kejadian itulah yang mulai menarik perhatian\nsaya terhadap sosok Gus Dur.<\/p>\n\n\n\n Meski demikian, hati saya sudah terlebih dahulu tertambat pada Nurcholis Madjid. Sejak duduk di kelas akhir di pesantren saya sudah menaruh perhatian pada ide-ide Cak Nur. <\/p>\n\n\n\n Perhatian itu meningkat menjadi suka ketika masuk kuliah. Saya pun rajin membaca artikel-artikel Cak Nur yang dimuat dalam berbagai buku dan majalah sampai akhirnya saya membeli buku Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (1987), salah satu karya terbaiknya.<\/p>\n\n\n\n Gagasan Cak\nNur yang paling memukau saya adalah yang terkenal dengan jargon \u201cIslam Yes,\npartai Islam No\u201d. Pada dasarnya ide tersebut, sejauh pemahaman saya, mengandung\npesan akan pentingnya memisahkan agama dari institusi agama, agama dari\nperadaban, agama dari simbol-simbolnya.<\/p>\n\n\n\n Yang satu\nadalah suatu bangunan spiritualitas yang kerangka-kerangkanya berasal dari\nTuhan, sedangkan yang lain adalah bentuk penghayatan spiritualitas tersebut\ndalam struktur sosial yang dibangun oleh manusia. Bagi seorang pemuda yang sedang\nbersemangat dan sedang mencari jati diri, ide semacam tentu sungguh memikat.<\/p>\n\n\n\n Pemikiran tersebut\nbertalian dengan gagasan sekularisasi Cak Nur yang baru saya fahami pada\nmasa-masa akhir kuliah. Penting untuk diketahui bahwa sekularisasi berbeda\ndengan sekularisme yang Cak Nur sendiri tolak.<\/p>\n\n\n\n Uniknya, ide sekularisasi mengundang penolakan dan kecaman dari berbagai pihak, khususnya dari kalangan agamawan, mungkin karena ada rentetan huruf \u201csekular\u201d pada istilah sekulariasi. <\/p>\n\n\n\n Akan tetapi, gagasan tersebut justru terasa semakin urgen untuk dihayati di masa sekarang ini, tatkala banyak terjadi kesilap-pahaman antara agama dengan institusi agama dan simbol-simbolnya dalam pola keberagamaan umat Islam.<\/p>\n\n\n\n Di masanya\nide-ide Cak Nur ditolak tapi justru bisa mendapatkan momentum di masa sekarang.\nKarena itulah, saya melihat sosok Cak Nur seakan-akan seperti manusia masa\ndepan yang naik mesin waktu dan hidup di masa lalu. Ia lebih maju dari\nmasyarakatnya kala itu. Ia memandang ke depan ketika orang-orang masih sibuk\nmengurusi masa kini mereka.<\/p>\n\n\n\n Di sini saya\nbelajar bahwa suatu gagasan ditolak tidak mesti karena memang salah, tapi\nkarena gagasan itu telalu maju di zamannya. Karena Gus Dur sezaman dengan Cak\nNur, yang muncul di pikiran saya adalah: jangan-jangan Gus Dur juga begitu!<\/p>\n\n\n\n