Pecihitam.org<\/strong> – Sebagian ada yang menganggap bahwa jenggot identik dengan Islam dan merupakan sunnah Nabi yang harus diikuti. Sehingga timbul kesan bahwa tidak sempurna keislaman seseorang bila tidak berjenggot. Karena mereka meyakini bahwa Rasulullah SAW berjenggot dan kita harus menirunya. Lantas benarkah bahwa jenggot itu sunnah wajib ditiru?<\/p>\n\n\n\n

Mengenai jenggot ini terdapat dalam hadits yang bersumber dari Ibnu Umar, bahwa Nabi SAW bersabda:<\/p>\n\n\n\n

\u0623\u062d\u0641\u0648\u0627 \u0627\u0644\u0634\u0648\u0627\u0631\u0628 \u0648\u0623\u0639\u0641\u0648\u0627 \u0627\u0644\u0644\u062d\u0649 <\/strong><\/p>\n\n\n\n

Artinya, \u201cPotonglah kumismu dan biarkan jenggotmu panjang,\u201d (HR Muslim). <\/em><\/p>\n\n\n\n

Dalam hadits lain disebutkan:<\/p>\n\n\n\n

\u062e\u0627\u0644\u0641\u0648\u0627 \u0627\u0644\u0645\u0634\u0631\u0643\u064a\u0646 \u0623\u062d\u0641\u0648\u0627 \u0627\u0644\u0634\u0648\u0627\u0631\u0628 \u0648\u0623\u0648\u0641\u0648\u0627 \u0627\u0644\u0644\u062d\u0649 <\/strong><\/p>\n\n\n\n

Artinya, \u201cBerbedalah dengan orang musyrik, potong kumismu dan biarkan jenggotmu panjang\u201d (HR Muslim). <\/em><\/p>\n\n\n\n

Hadits pertama mengindikasikan kewajiban memotong kumis dan memanjangkan jenggot. Sementara hadis kedua juga menyiratkan hal yang sama, namun di sana terdapat \u2018illat atau alasan mengapa memanjangkan jenggot termasuk kesunahan. <\/p>\n\n\n\n

Memang sebagai umat Islam kita disuruh untuk melihat dan meniru kehidupan Nabi Muhammad SAW secara utuh, mulai dari kehidupan beragama, sosial, budaya, bahkan bentuk fisiknya. Namun pertanyaannya, apakah semua bentuk kehidupan Rasulullah SAW itu mesti kita amalkan? <\/p>\n\n\n\n

Dalam firman Allah, Al-Qur\u2019an surat al Hasyar ayat 7 disebutkan,<\/p>\n\n\n\n

\u201cApa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarang bagimu, maka tinggalkanlah\u201d<\/em><\/p>\n\n\n\n

Jika dilihat sekilas ayat tersebut cukup umum, itu artinya segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad Saw harus diamalkan, baik yang bersifat agama maupun duniawi.<\/p>\n\n\n\n

Namun, dalam kitab At-Turuqus Shahihah fi Fahmis Sunnatin Nabawiyah, Prof Dr. KH Ali Mustafa Yaqub<\/a><\/strong>, mengatakan bahwa ayat ini tidak berlaku umum. Karena ada hadits riwayat Imam Muslim yang mengkhususkan. Rasulullah SAW bersabda:<\/p>\n\n\n\n

\u0625\u0646\u0645\u0627 \u0623\u0646\u0627 \u0628\u0634\u0631\u060c \u0625\u0630\u0627 \u0623\u0645\u0631\u062a\u0643\u0645 \u0628\u0634\u064a\u0621 \u0645\u0646 \u062f\u064a\u0646\u0643\u0645 \u0641\u062e\u0630\u0648\u0647 \u0628\u0647\u060c \u0648\u0625\u0630\u0627 \u0623\u0645\u0631\u062a\u0643\u0645 \u0628\u0634\u064a\u0621 \u0645\u0646 \u0631\u0623\u064a\u064a \u0641\u0625\u0646\u0645\u0627 \u0623\u0646\u0627 \u0628\u0634\u0631 <\/strong><\/p>\n\n\n\n

Artinya, \u201cSesungguhnya aku seorang manusia. Bila aku memerintahkan sesuatu yang berkaitan dengan agama maka patuhilah, namun bila aku memerintahkan sesuatu yang berasal dari pendapatku, maka bagaimanapun aku juga seorang manusia,\u201d (HR Muslim). <\/em><\/p>\n\n\n\n

Berdasarkan hadits ini, Imam Muslim dalam kitab Shahih Muslimnya memberi judul salah satu babnya dengan redaksi:<\/p>\n\n\n\n

\u0628\u0627\u0628 \u0648\u062c\u0648\u0628 \u0627\u0645\u062a\u062b\u0627\u0644 \u0645\u0627 \u0642\u0627\u0644\u0647 \u0634\u0631\u0639\u0627 \u062f\u0648\u0646 \u0645\u0627 \u0630\u0643\u0631\u0647 \u0645\u0646 \u0645\u0639\u0627\u064a\u0634 \u0627\u0644\u062f\u0646\u064a\u0627 \u0639\u0644\u0649 \u0633\u0628\u064a\u0644 \u0627\u0644\u0631\u0623\u064a<\/strong><\/p>\n\n\n\n

Artinya, \u201cKewajiban mengikuti perintah Rasul selama berkaitan dengan syariat, bukan sesuatu yang berkaitan dengan hal keduniawian yang berasal dari pendapat pribadi beliau.\u201d <\/em><\/p>\n\n\n\n

Dengan demikian dapat kita pahami, tidak segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad Saw mesti diamalkan. Sebab bagaimanapun Rasulullah juga seorang manusia, yang punya pandangan pribadi, tinggal di sebuah komunitas yang memiliki sistem sosial dan budaya tersendiri. Adapun jika kita memaksa untuk mengikuti semua perilaku dan cara kehidupan beliau niscaya tidak akan sanggub.<\/p>\n\n\n\n

Oleh sebab itu, KH Ali Musthafa Yakub menyimpulkan bahwa hadits yang mengandung unsur budaya tidaklah wajib untuk diamalkan. Kemudian KH Ali Mustafa, kembali menegaskan bahwa hadits tidak boleh dipahami sepotong-sepotong karena antara satu dan lainnya saling berkaitan.<\/p>\n\n\n\n

Kembali pada masalah jenggot. Dalam redaksi hadits diatas memanjangkan jenggot dan memotong kumis sangat terkait dengan anjuran mukhalafah lil musyrikin<\/em> (berbeda dengan orang musyrik). Namun KH Ali Mustahfa Yakub berpendapat, yang menjadi poin utama dalam hadits agar berbeda dengan orang kafir, bukan aturan memanjangkan jenggotnya. <\/p>\n\n\n\n

Sebab perintah Rasulullah SAW agar berbeda dengan orang kafir ini berkaitan dengan perperangan. Yang mana ketika itu agar bisa membedakan mana pasukan musuh dan umat Islam saat perang, sehingga perlu adanya simbol dan tanda pada masing-masing pasukan. Dan diantara tandanya yaitu jenggot. <\/p>\n\n\n\n

Oleh sebab itu, hadits ini tidak bisa dipaksakan pada masa sekarang, karena dalam dunia modern, jenggot tidak lagi menjadi simbol pembeda antara pasukan Muslim dan musuh. Kemudian banyak di berbagai Negara umat Islam hidup rukun berdampingan dengan non Muslim. Sehingga tidak diperlukan lagi pembeda antara satu dengan yang lainnya. Kiai Ali mengatakan:<\/p>\n\n\n\n

\u0648\u0645\u0639 \u0630\u0644\u0643 \u0646\u062d\u0646 \u0646\u0631\u0649 \u0628\u0623\u0646 \u0645\u0627 \u064a\u062a\u0639\u0644\u0642 \u0628\u0627\u0644\u0634\u0639\u0631 \u0645\u0646 \u0627\u0644\u0644\u062d\u064a\u0629 \u0648\u0627\u0644\u0634\u0627\u0631\u0628 \u0648\u0634\u0639\u0631 \u0627\u0644\u0631\u0623\u0633 \u0643\u0644 \u0630\u0644\u0643 \u0645\u0646 \u0628\u0627\u0628 \u0644\u062a\u0642\u0627\u0644\u064a\u062f \u0648\u0627\u0644\u0639\u0627\u062f\u0627\u062a \u0648\u0644\u064a\u0633 \u0645\u0646 \u0628\u0627\u0628 \u0627\u0644\u062f\u064a\u0646 \u0648\u0627\u0644\u0639\u0628\u0627\u062f\u0627\u062a <\/strong><\/p>\n\n\n\n

Artinya, \u201cMaka dari itu, kami berpendapat bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan rambut, baik jenggot, kumis, dan rambut bagian dari budaya dan adat, bukan agama dan ibadah.\u201d<\/em><\/p>\n\n\n\n

Maka dapat dipahami bahwa jenggot itu merupakan bagian dari budaya, bukan syariat agama atau sunnah. Selain itu, keimanan dan keislaman juga tidak dapat diukur dari berjenggot ataupun tidak. Silakan berjenggot, namun janganlah menganggap orang yang tidak berjenggot itu tidak mengikuti sunah Nabi. Wallahua\u2019lam bisshawab.<\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"

Pecihitam.org – Sebagian ada yang menganggap bahwa jenggot identik dengan Islam dan merupakan sunnah Nabi yang harus diikuti. Sehingga timbul kesan bahwa tidak sempurna keislaman seseorang bila tidak berjenggot. Karena mereka meyakini bahwa Rasulullah SAW berjenggot dan kita harus menirunya. Lantas benarkah bahwa jenggot itu sunnah wajib ditiru? Mengenai jenggot ini terdapat dalam hadits yang […]<\/p>\n","protected":false},"author":14,"featured_media":43434,"comment_status":"closed","ping_status":"closed","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":{"footnotes":""},"categories":[7],"tags":[10450],"yoast_head":"\n